Oleh: Ahmad Fauzi*
Selamat ulang tahun yang first untuk Gedung Kuliah Terpadu (GKT). Sebagai anak bungsu, sudah sepatutnya hari ulang tahunnya dirayakan dengan meriah dan penuh suka cita. Jangan lupakan pula jasa “saudara-saudaramu” yang lebih tua, yang mengorbankan badannya hancur berantakan demi menghidupimu.
Belakangan, UIN Suka terlalu optimistik untuk dicap sebagai kampus yang bagus, brilian, unggul dan mendunia. Alih-alih menyelesaikan problematika dalam fakultas-fakultas yang sudah berdiri sejak ibu bapak kita berkuliah di UIN (dulu IAIN), rektorat justru membangun GKT–sebuah langkah yang menurutnya “inovatif dan solutif” dalam menghadirkan kenyamanan infrastruktur.
Dalam salah satu pemberitaan humasnya, dengan bangga ia menyatakan bahwa pembangunan GKT ini sampai menghabiskan 32 miliar rupiah. Sebuah angka yang sangat memusingkan kepala, dan memicu pembaca yang teliti akan kondisi sekitarnya untuk bertanya tanya, “kenapa tidak digunakan untuk merenovasi infrastruktur yang rusak di tempat-tempat lain?”
Sebagai mahasiswa kampus timur, saya prihatin dengan pembangunan GKT (di kampus barat) yang menggelontorkan dana besar tanpa melihat lebih dalam kondisi kampus timur, selain FEBI. FEBI ga di ajak, soalnya ada I love FEBI-nya. Terlebih saya sangat minim probabilitas untuk menggunakan GKT. “Ah… malangnya nasibku.”
Dalam sebuah kesempatan, saya mendatangi GKT untuk suatu liputan di ARENA. Saya menemukan keanehan di dalamnya. Ketika saya masuk, suasana ushuluddin yang seperti pasar kumuh tidak saya temui di GKT. Sejenak saya berpikir, “hmm… memang barat selalu lebih unggul jika dibandingkan dengan timur”.
Saya mendapati perbedaan 180 derajat antara kedua tempat tersebut. Terlebih ada lift yang dapat digunakan sebagai sarana operasional, kesenjangan di antara saya dan GKT semakin jauh. Tidak lama saya berada dalam gedung tersebut, perasaan tidak enak menyambangi saya dan memaksa keluar dari gedung secepatnya karena kesenjangan tersebut menggerogoti mental ushuluddin-ku (baca: miskin). Saya introvert, btw.
Dalam berita ARENA pada 22 November lalu, fakultas ushuluddin mengalami banyak kedisabilitasan (tidak sopan untuk menyebutnya cacat) yang sebetulnya telah menjadi rahasia umum, seperti AC, kipas, dan lampu yang sering sekali mati (dan lambat ditangani). Ada pula cat-cat tembok yang sudah membutuhkan repaint sejak tahun-tahun sebelumnya karena warnanya sukar untuk dilihat. Serta keberadaan mushola di bawah tangga yang kurang etis bagi yang sedang sholat maupun yang berjalan di depannya. Belum lagi posisi mushola di depan toilet yang baunya tidak kalah menarik.
Saya pernah mengalami kejadian yang membuat geram sampai 3 hari mendatang. Dalam sebuah siang yang panasnya seperti pergolakan pemilu hari ini, perkuliahan berjalan dengan begitu menyesakkan. Bau keringat teman-teman yang merebak hingga ke ujung ruangan dikarenakan AC yang mati, menjadikan perkuliahan seperti per-kulian. Tidak sampai sana, bak sebuah festival komedi, kelucuan tidak henti-hentinya berdatangan. Kipas angin yang seharusnya menjadi penyelamat siang itu, menggeleng-gelengkan kepala tanpa memutarkan baling-balingnya, seakan menyiratkan, “saya tidak kuat lagi di ushuluddin yang tua bangka dan bau tanah ini.”
Sedihnya kalian-kalian yang merantau jauh dari pelosok negeri ini hanya untuk menjadi mahasiswa ushuluddin.
Berita ARENA yang lain menilik lebih jauh mengenai kampus inklusif. Dalam tulisan tersebut terdapat testimoni salah satu mahasiswa difabel netra yang merasa kesulitan dengan guiding block yang tidak bisa menjadi guide bagi penggunanya. Alih-alih memudahkan, guiding block justru ada yang berpotensi mencederai. Karena terdapat guiding block yang mengarah pada papan besi di kampus barat. Sejenak kita akan berfikir, “apakah UIN secara sengaja menaruh papan besi pada guiding block dan ingin mencelakakan mahasiswanya?” Jahat sekali bila memang seperti itu.
Kurangnya guiding block juga membatasi aktivitas yang dapat dijangkau teman-teman netra yang lain. Sampai saat ini belum ada guiding block yang mengarah pada Student Center, markas bagi UKM untuk melakukan aktivitas. Apakah kampus ingin membatasi teman-teman ini beraktivitas? Sepertinya asumsi tersebut salah. Karena di fakultas-fakultas dan ruang kelas pun tidak tersedia guiding block. Sangat inklusif sekali bukan?
Belum lagi, banyak orang-orang yang (katanya) berpendidikan justru suka-suka memarkirkan kendaraannya di guiding block dan menutupi bidang miring. Apakah mereka tidak merasa bersalah karena keras hati, atau justru mereka tidak berpendidikan untuk menjadikan UIN Sunan Kalijaga tercinta ini sebagai “kampus inklusif”? Sangat berbanding terbalik dengan celotehan-celotehan yang keluar dari mulut-mulut bau mereka ketika berbicara tentang kampus inklusif.
Sepertinya masalah perparkiran kendaraan pada guiding block juga menjadi isu kurangnya lahan parkir. Pada 8 Desember lalu ARENA memberitakan hal ini. Dinyatakan bahwa kenaikan jumlah mahasiswa tidak selaras dengan ketersediaan lahan parkir. Sehingga menjadikan jiwa-jiwa muda mahasiswa yang dihadapkan dengan absensi dosen killer ini bertindak semaunya, dengan memarkirkan kendaraannya secara brutal. Ada yang memarkirkan di guiding block, ada pula yang memarkirkan tepat di depan plang “dilarang parkir,” seperti seorang penantang sok jagoan yang menghadapi polisi-polisi lalu lintas dengan berkendara tanpa helm.
Tidak kalah lucu lagi jawaban yang dilontarkan Kasubag Tata Usaha dan Rumah Tangga. Alih-alih menawarkan solusi yang bermanfaat, beliau justru melontarkan punch line comedy: menanggapi kurangnya lahan parkir di FITK dan FSH, mahasiswa hendaknya menggunakan kantong parkir di sport center.
Positif thinking saja, mungkin beliau sedang bergurau agar mahasiswa berolahraga sebelum masuk kelas. Mengingat jarak antara sport center dengan FSH ataupun FITK berjarak kurang lebih 650 meter atau setara dengan 10 menit berjalan kaki, belum lagi bagi mereka yang mendapatkan kelas di lantai 3 dan 4 waktu siang hari. Wah sangat sporty sekali.
Permasalahan infrastruktur ini telah mengakar, bahkan menjamur kuat dalam benak mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Seperti karat yang tak kunjung hilang setelah disikat dengan paksa oleh pembangunan gedung-gedung baru yang mewah, entah sebagai pemanis atau pencapaian rektorat untuk caper pada orang-orang di luar.
Jika mengingat biaya pembangunan GKT yang dipaparkan dengan percaya diri di awal, renovasi dan revitalisasi fakultas dan tempat-tempat lucu lainnya yang sudah seperti rumah usang setelah ditinggalkan pemiliknya selama bertahun-tahun tentu lebih masuk akal (jika dipikir menggunakan otak). Bukan malah memanggil arsitek dan mandor-mandor proyek untuk menyelesaikan pembangunan GKT dengan sistem kebut 4 bulan, kemudian memperkenalkan kepada mahasiswa dengan bangga bahwa GKT merupakan pencapaian besar yang perlu diberi applause karena menyelesaikan masalah.
Pada akhirnya, fakultas-fakultas yang umurnya lebih tua ditinggalkan. Rektorat terlihat hanya memedulikan tempat-tempat yang dapat dilihat dari pinggir jalan, seperti FEBI, GKT, dan MP yang baru beberapa minggu terakhir mengalami renovasi pada pintu masuk. Sungguh pencitraan yang jelek.
Jika teman-teman mahasiswa dan rektorat (kayaknya gak baca juga) memberikan kritik personal terhadap saya dengan mengatakan “kamu hanya iri saja”, maka saya dengan tegas menjawab: iya saya iri, karena saya mahasiswa UIN juga. Mengapa kalian mendapatkan ruang nyaman sedangkan saya mendapatkan gubuk kumuh dengan hiasan AC mati? Lantas perbedaan kita di mana selain nasib yang ditentukan UIN? Kita akan masuk di kelas yang mana?
*Penulis adalah mahasiswa Ushuluddin yang suka misuh-misuh ngeliat stand up comedy-nya rektorat
Editor Mas Ahmad Zamzama N.