Home CATATAN KAKI Citizen Journalism: Rawan Bias, Minim Etika

Citizen Journalism: Rawan Bias, Minim Etika

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Nabiel Mumtaz Zaydane*

Pelaporan berita punya satu masalah yang sulit untuk diselesaikan. Masalah tersebut adalah wartawan membutuhkan waktu untuk datang di lokasi kejadian. Hal tersebut tentu sebuah keniscayaan. Wartawan bukan robot atau superman yang dalam sekejap tiba di sebuah lokasi kejadian. Lantas bagaimana menyelesaikan masalah tersebut?

Jawabannya adalah menjadikan semua orang sebagai wartawan. Konsep menjadikan semua orang menjadi jurnalisme sering dikenal sebagai jurnalisme atau citizen journalism. Secara etimologis, jurnalisme warga diartikan sebagai jurnalisme oleh warga—didasarkan pada dua kata yang menyusun frasa tersebut. Secara terminologis, jurnalisme warga secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kegiatan jurnalisme yang dilakukan oleh warga. Adapun warga yang dimaksud adalah individu yang bukan merupakan jurnalis profesional. Maka dari itu, informasi yang disebarkan oleh jurnalis warga tidak disebarkan melalui media massa. Melainkan melalui blog, media sosial, ataupun saluran-saluran lainnya.

Jurnalisme warga memiliki kontribusi dalam persebaran informasi atau pelaporan sebuah kejadian. Sebab, sebuah kejadian atau fenomena yang terjadi dapat dengan cepat dilaporkan. Dengan konsepnya yang menjadikan siapapun sebagai wartawan sebuah fenomena dapat dilaporkan secara lebih cepat kepada khalayak. Jurnalisme warga juga berkontribusi terhadap keterbukaan informasi di masyarakat. Sebab, jurnalisme warga mampu memberikan informasi yang lebih transparan. Artinya, tidak ada informasi yang dibatasi dan disembunyikan oleh media.

Jurnalisme warga menawarkan kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh “jurnalis konvensional” atau media massa.  Salah satu kelebihan jurnalisme warga yang paling signifikan adalah kecepatan. Sebab, informasi yang berupa deskripsi, gambar, ataupun video dilaporkan secara langsung dari lokasi kejadian.

Ada dan berkembangnya jurnalisme warga sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama. Ketiga faktor tersebut ialah telepon genggam pintar (smartphone), internet, dan media sosial. Lebih lanjut, mudah dan murahnya akses terhadap tiga hal tersebut semakin mempercepat berkembangnya jurnalisme warga. Smartphone dengan kemampuannya memungkinkan setiap orang untuk menyebarkan sebuah informasi dengan lebih cepat dengan mengambil gambar atau bahkan video dengan resolusi tinggi. Tarif internet yang semakin terjangkau serta sinyal berkecepatan tinggi yang menjangkau area yang lebih luas memudahkan penyebaran informasi. Media sosial yang mudah sekali untuk digunakan menyediakan tempat untuk informasi tersebut untuk disebar.

Studi kasus sebuah pelaporan kejadian melalui jurnalisme warga kurang lebih seperti ini: pertama, sebuah kejadian atau fenomena terjadi misalkan kecelakaan, pohon tumbang, penemuan mayat, dan lain sebagainya. Kedua,warga atau siapapun yang berada di lokasi kejadian mengambil gambar di lokasi kejadian. Bisa berupa foto dan atau video. Ketiga, laporan tersebut disebarkan melalui media sosial. Terakhir, informasi tersebar kepada khalayak.

Dengan kelebihan tersebut, jurnalisme warga tetap tidak terlepas dari masalah, misalnya, umumnya seputar akuntabilitas, independensi, serta kredibilitas informasi.

Lebih lanjut, pelaporan jurnalisme warga seringkali tidak memenuhi kaidah jurnalistik. Hal ini seperti tidak dipenuhinya unsur keberimbangan, tanpa narasumber, dan lainnya.  Pertanyaannya, apakah konten atau unggahan seperti itu dapat dikatakan sebagai sebuah produk jurnalistik? mengingat konten tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah karya jurnalistik.

Jurnalisme warga sejatinya merupakan jawaban dari defisiensi wartawan. Seperti yang sudah disebutkan diawal, wartawan memiliki keterbatasan. Wartawan membutuhkan waktu untuk mencapai lokasi kejadian. Sedangkan, hampir selalu ada warga yang berada disekitar lokasi kejadian.  Warga berperan sebagai jurnalis dengan menyebarkan informasi yang mereka ketahui atau dapatkan. Baik disebarkan secara langsung, melalui media pemberitaan, atau dengan melakukan tagging kepada akun-akun media sosial tertentu.

Sayangnya, saat ini informasi-informasi tersebut seringkali justru diunggah ulang oleh sebuah akun “informasi” di media sosial. Akun tersebut bukan milik sebuah perusahaan pers dan tidak berbadan hukum.

Akun-akun ini menerima informasi dari warga lantas mengunggah ulang informasi tersebut. Lantas bagaimana cara mereka mendapatkan informasi tersebut? Biasanya, seseorang yang mengunggah informasi di media sosial mereka akan melakukan tag terhadap akun-akun ini. Setelah itu, akun-akun ini mengunggah ulang informasi yang diberikan. 

Akun-akun tersebut dapat dikatakan berperan sebagai agregator informasi. Hal ini dengan meneruskan informasi yang dikirimkan oleh seseorang kepada khalayak yang lebih luas.  Sayangnya, akun-akun tersebut ‘hanya meneruskan’ informasi saja dan tidak melakukan filtrasi terhadap informasi tersebut. Hal tersebut tentunya kurang ideal. Akun-akun tersebut tidak dimiliki oleh perusahaan pers. Jadi, dapat diasumsikan bahwa tidak terjadi proses filtrasi terhadap informasi tersebut. Informasi yang diterima langsung diunggah tanpa proses verifikasi terlebih dahulu.

Hal ini tentunya kurang ideal dalam persebaran informasi. Sebab, informasi yang diteruskan berulang kali lebih memungkinkan untuk menjadi semakin bias. Imbasnya tentu adalah misinformasi yang terbesar. Hal ini tentunya tidak ideal.

Lantas bagaimana informasi dari para jurnalis warga ini idealnya disebarkan? Idealnya, informasi tentang sebuah fenomena atau kejadian dikirimkan kepada perusahaan pers. Hal ini karena perusahaan pers memiliki kemampuan untuk mengolah informasi-informasi tersebut menjadi sebuah berita. Perusahaan pers juga dapat melakukan verifikasi serta pengecekan fakta terhadap informasi yang diterima untuk memastikan kebenarannya.

Informasi yang disebarkan juga acap dilakukan tanpa memenuhi etika-etika jurnalistik, terutama memenuhi etika foto jurnalistik.

Etika pewarta foto diatur dalam kode etik pewarta foto Indonesia. Dalam pasal 7 kode etik tersebut disebutkan bahwa “Pewarta foto menghindari visualisasi yang menggambarkan atau mengarah pada sadisme, dan cabul.” Penjelasan dari sadisme dalam pasal tersebut adalah perilaku kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Sedangkan penjelasan dari definisi cabul dalam pasal tersebut ialah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Sedangkan Sadis adalah perilaku kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

Melihat apa yang dilakukan oleh akun-akun tersebut. Sulit rasanya untuk menganggap bahwa kabar-kabar yang disebarkan layak untuk dijadikan sumber utama informasi. Terlebih, jika proses penyebarannya rawan untuk bias dan tidak didasari oleh pemahaman atas etika atau kaidah jurnalistik.

*Penulis adalah pemuda Jogja yang nggak Jogja-jogja amat

Editor Selo Rasyd Suyudi | Ilustrator Nabil Ghazy Hamdun

Referensi

Irawan, R. E. (2014). Aplikasi Citizen Journalism di Era Konvergensi Media. Humaniora, 5(2), Article 2. https://doi.org/10.21512/humaniora.v5i2.3137