Berbicara mengenai Tenaga Kerja Indoenesia (TKI) tidak akan pernah habis. Gegap-gempita perjalanan mereka dari pra-pemberangkatan, saat-pemberangkatan dan pasca-pemberangkatan selalu dirundung masalah. Baik TKI legal maupun ilegal. Konsekuensi dari Pemerintah pun dinilai nihil. Hal ini tidak terlepas dari sejarah antusias TKI yang berbondong-bondong mengadu nasib dinegeri orang.
Berawal dari goyahnya kepemimpinan Orde Baru sekitar tahun 1997, ditandai dengan aksi amuk massa akibat goncangnya perekonomian nasional. Bahkan merembet pada sektor lain yang lebih luas. Peluang kesempatan kerja dalam negeri pun semakin tipis, tidak sebanding dengan pengangguran yang tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Kemudian membuat negara angkat tangan kemiskinan yang semakin merajarela, akibat tuntutan hidup yang tak tertahankan. Melihat kondisi riilseperti itu menyulut pemerintah mengambil kebijakan untuk mengirim TKI keluar negeri (imigrasi) sebagai solusi akhir terkait dengan penanggulangan pengangguran dari keterbatasan lapangan pekerjaan dalam negeri.
Dalam analisis lain, Muslan Abdurrahman, Pengantar buku ini, menambahkan bahwa gelombang TKI meledak setelah adanya kebijakan pertanian yang didalamnya terkandung kebijakan “revolusi hijau” yang dicanangkan Orde Baru. Revolusi hijau ini mengakibatkan terjadinya deferensi sosial antara pemilik modal (pihak kapital) dengan kaum buruh tani. Dari sini muncullah tabiat kaum tani yang termarjinalkan oleh sistem sentralistik untuk berputar 180 derajat, dari petani menjadi TKI. Namun, mobilisasi ini tidak dibarengi dengan perlindungan kongkrit dan maksimal dari pemerintah. Bahkan kebijakan hukum secara normatif maupun sosial seolah-olah buta. Padahal keselamatan TKI dinegeri orang sangat rentan dengan pemasungan Hak Asasi Manusia dan tindakan-tindakan pelecehan.
Perdagangan manusia atau trafficking,penipuan, pengibirian, kasus kematian, pemerkosaan, pelecehan, penelantaran, upah tidak dibayar hingga masalah pemulangan kembali atau deportasi sudah menjadi “lagu lama” yang dianggap lumrah. Akan tetapi lucunya dinegeri ini, meminjam istilah Bona Paputungan- tidak menyurutkan minat masyarakat menjadi TKI untuk ikhtiar mengubah nasib diluar negeri.
Masih segar ingatan kita dengan kasus yang dialami Nirmala Bonat, tenaga kerja perempuan asal Kupang, yang mencoba mengadu nasib di Malaysia, berharap mendapat keberuntungan, tetapi justru kata “naas” yang menghampiri. Pada Mei 2004, ia menunjukkan fotonya dengan tubuh terbakar dan memar. Ia merupakan korban penganiayaan brutal majikannya sejak pertama kali bekerja pada bulan September 2003. Akibatnya, Nirmala mengalami luka parah disekujur tubuh, termasuk dada dan punggung lengkap dengan luka bakar dan siraman air panas.
Tidak kalah menarik, dipenghujung tahun 2010 kemarin dan awal 2011, TKI kita mendapat perlakukan tidak manusiawi oleh majikannya. TKI asal Dompu Nusa Tenggara Barat (NTB), bernama Sumiati kembali menjadi obyek pemberitaan media gara-gara kasus kasus sama, ia dipukul, disiksa, distrika punggungnya, digunting bibirnya bahkan ia sempat terbaring tak berdaya akibat kekejaman sang majikan di Saudi Arbia.
Belum kering air mata Ibu Periwi, kita dihentakkan kembali oleh TKI Kikim Komalasari asal Ciganjur, Jawa Barat yang tewas disikat oleh majikannya dinegara yang sama pula. Kikim diduga di gorok dibagian leher dan kemudian jasadnya dibuang didekat kota Jeddah. Bonat, Sumiati dan Kikim hanya salah satu contoh pemasungan hak asasi TKI diluar negeri, masih banyat Bonat, Sumiati dan Kikim lain yang tidak terlacak oleh media. Sungguh ironis TKI Kita.
Fakta tanpa perikemanusiaan terhadap TKI ditengah-tengah kehidupan bernegara dan berhukum seolah-olah dibiarkan tumbuh subur. Meskipun dinegeri ini telah gonta-ganti penguasa, ternyata tidak diikuti pergantian paradigma pengelolaan TKI yang lebih profesional. Perlindungan hukum dan hak asasi mereka hanya sebatas retorika belaka dan terselip dikertas kebijakan-kebijakan penguasa yang telah usang.
Buku bertajuk“Menghakimi TKI; Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI,” sebagai respon atas kemandulan negara memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap TKI yang ada di luar negeri. Padahal, dengan jelas dan tegas UUD 45 pasal 27 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dan diperkuat dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan maupun Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (UU PPTKILN). Ditambah dengan Konvensi Internasional PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri (UN Convention On Protection On Migrant Workers And Their Families 1990).
Menariknya buku ini, pada analisis penulis yang menghadirkan fakta pelanggaran HAM terhadap TKI secara ilmiah. Yang akhirnya penulis menemukan bahwa penempatan TKI lebih dominan dari pada perlindungannya sendiri. Sehingga TKI terkesan sebagai barang komoditas yang sewaktu-waktu siap di ekspor dengan konsekuesi ikhlas menghadapi penyiksaan majikannya. Oleh karena itu, penulis merasa perlu melakukan pembaharuan sebuah konseptualisasi normatif yang mencoba melakukan revisi dan reformasi hukum perlindungan TKI, dengan cara mengadopsi nilai-nilai filosofis hidup serta mentransformasikan nilai-nilai universal Undang-Undang penempatan dan perlindungan TKI secara komprehensif.
Sebagai buah karya penelitian, buku ini tergolong sebagai buku ilmiah “mudah dipahami”, tetapi, kekurangannya dalam bab-bab tertentu terdapat sebuah kesamaan pembahasan yang terkadang menjadikan pembaca merasa bosan. Namun demikian, buku ini sangat layak dibaca untuk menambah khazanah pengetahuan dan emosional pembaca dalam rangka memperjuangkan Hak Asasi Manusia terutama Hak TKI.