Home BUKU Sejarah Ditulis oleh Para Penulis Sejarah

Sejarah Ditulis oleh Para Penulis Sejarah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Ketika berbicara tentang sejarah, pasti kita tidak asing lagi dengan ungkapan “history is written by the victors” atau “sejarah ditulis oleh para pemenang,” yang kemungkinan dicetuskan oleh Winston Churchill, eks-Perdana Menteri Britania Raya. Namun, asal-usul siapa pencetus adagium tersebut sebenarnya masih buram. Ada yang bilang Hermann Göring, politikus Nazi, saat Partai Nazi sedang menguasai Jerman. Ada juga yang bilang kalau ungkapan tersebut dicomot dari artikel surat kabar atau majalah.

Dalam beberapa kasus, sejarah memang ditulis oleh para pemenang. Pemenang mendapat sumber daya dari pecundang (baca: yang kalah), sehingga mereka mampu memaksakan kehendak mereka kepada khalayak. Pemenang juga harus membersihkan nama mereka dalam sejarah agar tidak terjadi kebencian terhadap mereka. Sayangnya, sejarah yang ditulis oleh para pemenang cenderung bias dan tidak memihak pada kebenaran.

Menjadi pecundang bukan berarti tidak bisa menulis sejarah. Namun sayangnya (lagi), sejarah yang ditulis oleh pecundang bisa jadi melenceng dari makna sejarah karena dendam kesumat. Adapun biasanya, sejarah dari pecundang ini sangat rentan terhadap pergulatan dengan sejarah dari pemenang. Jadi, ungkapan “sejarah ditulis oleh para pemenang” sangat tertanam di dalam pikiran banyak manusia.

Sebenarnya, anggapan tersebut sudah lama mendapat pertentangan. Ibnu Khaldun (1332-1406 M) misalnya, sangat memerhatikan kesalahan dari “sejarah yang ditulis oleh para pemenang.” Ia mengkritik para sejarawan pada waktu itu yang hobi menukil tanpa melakukan tabayyun. Artinya, banyak yang menyebarkan berita tanpa mau mencari tahu kebenarannya.

Dalam buku “Penaklukan Muslim di Mata Bangsa Taklukan,” Hussam ‘Itani menyajikan banyak catatan sejarah dari sudut pandang sejarawan liyan yang hidup pada masa al-futuhat (pembukaan, ekspansi, penaklukan) kaum Muslim-Arab. Di samping itu, ‘Itani menegaskan bahwa tidak semua sejarah yang ia kutip belum sepenuhnya terverifikasi. Jadi, masih ada juga yang bias.

Berbagai sumber historis dari bangsa-bangsa taklukan tidak seragam tentang bagaimana asal-usul dari bangsa Arab. Ketidakseragaman ini nantinya terbawa sampai ke historiografi yang ditulis jauh setelah ekspansi Arab-Islam. Alhasil sebutan bagi bangsa Arab atau kaum Muslim menjadi sangat bervariasi, yang paling sering digunakan adalah Saracen, Tha’i, Hajari, Muhajir, dan Isma’ili.

Al-futuhat berlangsung ketika Kekaisaran Romawi-Bizantium dan Persia-Sassaniyah yang menjadi korban ekspansi pertama, baru saja keluar dari perang panjang yang melelahkan. Mereka berdua kemudian sama-sama menghadapi masalah pribadi yang mengganggu stabilitas internal mereka.

Sebelum ekspansi Islam, sebuah pagebluk yang melanda Bizantium dari ujung ke ujung dan sebagian wilayah Sassaniyah, memainkan peran penting dalam depopulasi yang nantinya menimbulkan guncangan terhadap kekuatan politik dan keagamaan. Wabah penyakit seperti pes awalnya muncul di al-Qurmah, Mesir pada 541 M. Pagebluk ini menyerang berbagai daerah sampai abad ke-7 M. Para sejarawan Arab mencatat bahwa beberapa sahabat Nabi yang turut serta dalam al-futuhat, wafat dalam apa yang mereka sebut dengan tha’un Amwas (wabah Amwas), Amwas merupakan sebuah tempat di Palestina pada 18 H/640 M.

Para duta Kisra II dari Persia datang menghadap Kaisar Maurice di Bizantium untuk mengadukan nasib syahansyah mereka yang digulingkan. Sejarawan Bizantium, Theophylact Simocatta yang mencatat peristiwa tersebut, menggarisbawahi bersatunya musuh abadi. Para utusan tersebut khawatir jika nanti ada lawan yang lebih sangar dari yang biasa mereka lawan. Mereka berkata “jadi, apa manfaat yang diperoleh Romawi jika kekuasaan Persia dilucuti dan kepemimpinannya beralih ke pihak lain?” Jawabannya tidak menunggu lama, tiga perempat ibukota Sassaniyah, Ctesiphon, jatuh ke tangan Arab-Islam pada tahun 637 M.

Bangsa-bangsa taklukan hampir sepakat kalau ekspansi Arab-Islam merupakan sebuah azab dari Tuhan atas dosa-dosa mereka. Sebagian terkait dengan perselisihan internal tentang keimanan dan konflik antar-gereja yang membuat Tuhan murka dan muak terhadap keburukan moral dan dosa-dosa mereka. Sebagian yang lain menganggap kalau ekspansi Arab-Islam adalah perwujudan dari berbagai ramalan kuno.

Meskipun orang-orang Romawi (lalu Bizantium) sudah ratusan tahun berinteraksi dengan orang-orang Arab, Kekaisaran Bizantium sepertinya kaget dengan ekspansi yang mendadak. Sejak abad ke-3 M, orang-orang Arab sudah menduduki posisi penting dalam sistem pertahanan Bizantium. Kaisar Yustinianus juga berusaha memperkuat peran bangsa Arab ketika bentrokan dengan Sassaniyah melalui Bani Ghassan.

Seiring gerak maju pasukan Muslimin di Palestina, Suriah, dan Mesir, sebagian penduduk yang terdampak perang melakukan eksodus ke wilayah inti Bizantium, termasuk Konstantinopel itu sendiri. Hal ini menimbulkan kepadatan penduduk, meningkatkan gesekan antara warga lokal dengan warga pendatang, dan menciptakan ketegangan dengan berbagai dampak yang harus ditangani oleh penguasa.

Bangsa Arab dipandang oleh tetangga mereka sebagai kelompok penggembala dan tak pernah terbesit di pikiran mereka untuk menantang dua imperium besar. Jelas ada yang memprovokasi mereka untuk menyerang negeri-negeri di sekitar Jazirah Arab dan memberi sandaran keagamaan dan ideologis bagi gerakan mereka. Kira-kira begitulah pemikiran tokoh-tokoh di wilayah yang menjadi sasaran ekspansi Arab-Muslim.

Provokasi untuk melakukan invasi dan serangan terhadap simbol-simbol keagamaan tidak mungkin muncul. Kecuali dari kelompok yang sudah berpengalaman dalam hal pembelotan, terutama di dalam Kekaisaran Bizantium. Terduga yang paling cocok dengan gambaran tersebut adalah umat Yahudi, yang merupakan musuh umat Kristen.

Tuduhan kalau bangsa Yahudi yang mengompori penaklukan Arab-Muslim itu diperkuat oleh berbagai kekacauan yang dialami oleh kota-kota di Timur Tengah seperti Iskandariyah dan Antakya. Ketika orang-orang Kristen dan Yahudi saling membantai, juga dukungan orang Yahudi terhadap serangan Persia pada 614 M dan tepuk tangan mereka ketika melihat pertahanan Yerusalem ditembus. Orang-orang Yahudi bahkan membantu para penyerang dalam menumpas sisa-sisa kekuatan Bizantium, seperti menghancurkan gereja.

Tindakan tersebut sudah bisa dibilang sebagai sebuah tindakan perlawanan terbuka terhadap Konstantinopel. Bizantium membalas dengan mencap bangsa Yahudi sebagai musuh dalam selimut yang dicurigai akan melakukan kejadian luar biasa untuk meruntuhkan fondasi Kerajaan Suci Bizantium. Bizantium juga memaksakan kristenisasi kepada mereka, sehingga dimulailah periode awal dari penindasan dan kekerasan.

Berbagai persoalan awal mengenai Islam, muncul dalam konteks reaksi langsung terhadap penaklukan Arab yang menghidupkan kembali berbagai gambaran stereotipikal yang memenuhi pikiran tetangga. Orang-orang Barat hanya bisa menukil, menerjemahkan, dan mengembangkan tesis-tesis anti-Islam yang datang dari timur. Dengan demikian, sudah tidak bisa dihindari kalau citra Muslim menjadi satu dengan citra penyerbu.

Judul  Penaklukan Muslim di Mata Bangsa Taklukan | Penulis  Hussam ‘Itani | Penerjemah  Indi Aunullah | Penerbit Alvabet | Cetakan Oktober 2019 | Tebal 344 hlm | Peresensi Aliefian Damarizky

Editor Selo Rasyd Suyudi