Home BUKU Memahami Konflik Perampasan Ruang Hidup Masyarakat dari Novel

Memahami Konflik Perampasan Ruang Hidup Masyarakat dari Novel

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Siddharta Sarma menulis novel berjudul Tahun Penuh Gulma. Novel itu mendapatkan penghargaan neev book awards 2019 kategori young book adults. Jika dilihat dari esensi buku, memang pantaslah predikat tersebut dicanangkan.

Sebagai novel yang diperuntukkan bagi pembaca muda, kita dibawa untuk melihat berbagai fenomena yang sering kita jumpai di sekitar: konflik agraria, berikut permasalahan masyarakat yang termarjinalkan dan dirampas ruang hidupnya. Novel itu ditulis dengan pembawaan narasi yang cenderung mudah diterima dan tak berkesan menggurui pembaca.

Novel itu menceritakan Suku Gondi yang menjadi korban keberingasan tangan kotor perusahaan dan pemerintah. Perbukitan Devi, bukit yang dianggap dewi oleh Suku Gondi, sekaligus tempat diletakkannya hanal kot (wadah roh leluhur yang telah mati bersemayam), akan dijadikan pertambangan. Perusahaan menggali tambang dan mengeruk logamnya, sementara pemerintah mencarikan tanah penduduk serta bertanggung jawab mengusir mereka (hlm 48). Tanah yang telah mereka diami untuk beranak-pinak dan identitas yang telah mereka miliki selama puluhan tahun, harus ditanggalkan secara cuma-cuma. Miris.

Tidak sampai situ saja. Manusia yang menyebut dirinya aparat keamanan bagi masyarakat, yang semestinya bertugas untuk menjaga ketertiban dan mengayomi masyarakat, justru bertindak sama busuknya dengan pemerintahan yang ada di atasnya. Suku Gondi seringkali mendapatkan intimidasi dan berbagai tuduhan yang tidak terbukti sama sekali.

Di balik penderitaan yang dirasakan Suku Gondi, terdapat berbagai kalangan yang “memancing di air keruh”, dengan mengambil keuntungan pribadi dari kondisi dan kesusahan yang Suku Gondi alami. Para politisi, seperti pada umumnya di tahun-tahun politik, sering menampakkan diri dan berkunjung ke pelosok-pelosok. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mencari simpatisan Suku Gondi untuk mendukungnya dalam pergulatan politik dan mencari muka dengan berbagai media. Dengan berlagak “sok peduli”, mereka datang untuk melihat penderitaan Suku Gondi di balik “topeng tebal” wajah mereka.

Di sisi yang berseberangan, terdapat kelompok Maois, sekelompok manusia yang berdiri gagah untuk menantang pemerintahan dan bergerak atas nama rakyat yang tertindas, yang hanya menjadikan penderitaan suku Gondi sebagai alat untuk melawan dan menjatuhkan elite penguasa. 

Tokoh utama novel ini adalah anak kecil dari Suku Gondi bernama Korok. Ia menjadi simbol perlawanan Suku Gondi. Dengan kesengsaraan hidup yang ia rasakan, pemikiran Korok dipaksa dewasa dan kematangannya melebihi anak seumurannya.

Ayah Korok salah satu dari sekian banyak orang Suku Gondi yang ditahan aparat keamanan. Ia dituduh mencuri kayu, dan telah mendekam di penjara selama 15 bulan tanpa ada bukti di persidangan. Hal tersebut membuat Korok harus menggantikan ayahnya untuk bekerja sebagai tukang kebun di rumah pejabat kehutanan.

Dengan pekerjaan tersebut, Korok sudah terbiasa membasmi gulma-gulma yang mengganggu kehidupan tanamannya. Tetapi, untuk kali ini, ia dihadapkan dengan gulma yang bukan saja mengganggu tanamannya, tetapi juga mengganggu orang-orang di sekitarnya, bahkan ruang hidupnya. Baginya, perusahaan-perusahaan itu, juga pemerintahnya, tampak seperti gulma. “Kita tidak bisa menghentikannya kalau mereka mau mengambil alih, mereka kompak, penuh tekad, sangat kuat, dan punya banyak uang,” kata Anchita, anak perempuan majikan Korok (hlm 49).

Bagi Korok, sebagian gulma memang bisa dicabut. Sebagian lagi begitu licik sehingga akar-akar mereka melilitkan diri ke akar-akar tanaman lain, dan mereka tidak dicabut begitu saja. Dan sebagian gulma bersaing dengan gulma lainnya. Maka tukang kebun yang cerdas kadang-kadang harus menunggu gulma yang kuat memakan semua gulma yang lebih lemah, baru mencabuti yang tersisa (hlm 238).

Perlawanan Suku Gondi kepada pemerintah tidaklah mudah. Dan pada dasarnya siapa saja bisa melawan pemerintah kalau mau, namun tidak akan ada yang menang (hlm 136). Meski demikian, melalui sebuah cara yang terkesan mustahil, Siddharta Sarma seperti ingin mengisyaratkan kepada kita bahwa harapan untuk menang melawan pemerintah masih ada dan bisa dilakukan.

Korok yang digambarkan hanya seorang anak kecil putus sekolah, memiliki ide yang cukup brilian: pemungutan suara–ide yang bahkan tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Dengan dibantu oleh Jadob, satu-satunya pemuda yang mendapatkan pendidikan layak, idenya tersebut dapat direalisasikan, meskipun harus melewati berbagai polemik terlebih dahulu. Diawasi oleh para pakar dan pengamat yang telah diberi mandat oleh mahkamah agung, suku Gondi memberikan suara mereka dengan jawaban antara “ya” atau “tidak” atas dua pertanyaan yang akan menentukan nasib mereka kedepannya. Pertanyaan pertama berisi tentang kesediaan untuk meninggalkan tempat tinggal mereka, pertanyaan kedua berisi terkait pemerintah yang diberikan izin untuk memberikan tanah kepada perusahaan (hlm 244). Semua masyarakat Gondi memberikan suara “tidak” terhadap dua pertanyaan tersebut.

Hasil yang didapat pun berbuah manis, mahkamah agung mengesahkan hasil pemungutan suara tersebut. Masyarakat Gondi berhasil mempertahankan ruang hidupnya dan memperjuangkan keadilan yang telah lama hilang dari mereka.

Di luar kemenangan tersebut, pada akhirnya semua hanya melihat keuntungan dari Suku Gondi. Polisi melihat Suku Gondi sebagai orang-orang yang bisa ditahan untuk kejahatan yang tidak mereka lakukan. Perusahaan melihat logam di bawah tanah mereka. Pemerintah melihat uang. Politisi melihat kesempatan tampil di berita. Bahkan kelompok Maois melihat kesempatan untuk memerangi pemerintah dan mendorong rakyat mengangkat senjata (hlm 216).

Terlepas dari perlawanan Suku Gondi yang berhasil dilakukan, Korok selalu mengingatkan kepada dirinya sendiri bahwa pemerintah, perusahaan, juga kelompok Maois, suatu hari nanti pasti akan kembali, layaknya gulma yang tidak akan pernah berhenti untuk muncul lagi (hlm 246).

Judul  Tahun Penuh Gulma | Penulis Siddartha Sarma | Penerjemah Barokah Ruziati | Penerbit Marjin Kiri | Cetakan Oktober 2019 | Tebal vi + 248 hlm | Peresensi M. Zilman Nadhif

Editor Mas Ahmad Zamzama N.