Home BUKU Ketika Ego Manusia Saling Bergelut

Ketika Ego Manusia Saling Bergelut

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Pagi hari yang dingin dan suara hujan yang merdu. Di kondisi rebahan-able itu memang yang paling nyaman bila mantra “Masih ada hari esok” kembali digaungkan, sembari Ghea Indrawari melantun lirik “Selama ini kau hebat hanya kau tak didengar” yang pasrah, yang cukup berguna memboyong air mata keluar dari tempatnya, dan melanjutkan lagi bermain HP.

Alibi. Sudah akui saja, pembenaran diri acap kali tidak sehat, apalagi keseringan. Mulai dari pejabat yang (tampaknya) suka sekali mondar-mandir keluar-masuk Close The Door buat klarifikasi, sampai di kalangan kita terlambat masuk kelas kemudian mencari-cari alasan, tidak pernah lepas dari ngeles yang kita namai pembenaran. Kita tahu hal ini seharusnya tidak wajar dilakukan.

Fenomena pembenaran diri tak jauh-jauh dari masalah ego yang nakal. Memang dasarnya manusia egois, segala kemungkinan akan dilakukan demi membuat diri nyaman. Ditambah acapkali sifat egois ini ternyata saling bentrok dengan orang lain. Gambaran situasi ini yang saya tangkap dari sindiran Anton Chekhov, legenda sastra klasik Rusia, dalam novelnya yang berjudul Duel.

Novel ini pada dasarnya bermaksud untuk menghibur, tidak muluk-muluk dan membingungkan seperti pertanyaan filsafat. Ya mungkin ada beberapa bahasan moralitas, tapi bukan sebagai poin utama, mungkin lebih tepatnya sebagai sindiran. Mempunyai plot yang pendek dan pas dibaca santai aja.

Dialog tokoh kerap kali menggunakan bahasa-bahasa intelektual yang menawan, sehingga alur terasa seru layaknya menonton pembicaraan cendekiawan terkenal, dibawakan mengalir dengan menyenangkan disertai selipan dagelan sederhana di momen-momen yang pas. Kurangnya, gaya penulisan novel ini agak membingungkan dibaca. Mungkin karena posisinya sebagai novel klasik dan terjemahan.

Tentang Sifat Egois Manusia

Alkisah terdapat seorang pemuda tampan dan pintar dengan latar belakang yang berprivilese, gambaran orang yang menjanjikan dari luar, namanya Laefsky. Tapi masalahnya orang ini punya sifat yang problematik. 

Laefsky digambarkan sebagai orang yang pandai merayu, parahnya sampai berani membawa lari istri orang atas dasar tetek bengek cinta. Namun, alih-alih gambaran bad boys yang visioner, ia sendiri tidak tahu masa depan apa yang akan dijalaninya, ia hidup tidak bertanggung jawab mengandalkan hutang dan melalaikan pekerjaan.

Inti cerita berawal ketika ia merasa bosan dan ingin meninggalkan masalahnya begitu saja, ditambah dengan sikap yang dramatis nan bodoh. Kemudian bertemulah ia dengan sahabatnya, Samoylenko, seorang mantan dokter militer. Bersendu-sendu Laefksy bercerita tentang konflik batin yang dialaminya kepada Samoylenko. 

“Aku tak bisa hidup bersama dia. Hal itu adalah sesuatu di luar yang aku bisa. Di sini aku bisa memfilosofiskannya dan tersenyum membahasnya, tapi di rumah hatiku rusuh bukan kepalang. Aku betul-betul menderita, sehingga jika dinasehati untuk bersama dia sebulan saja, aku bisa menembak kepalaku sendiri.” (hlm. 12)

Sikap Laefsky ini membuat saya merinding. Ia dapat dengan enteng denial terhadap masalah di depan muka. Laefsky mempresentasikan bagaimana manusia (mungkin juga kita sendiri) dapat mencari-cari alasan pada keburukan yang ia lakukan dengan cara-cara yang logis. Dan pada tahap yang kompleks malah menjadi bencana, sebagaimana yang terjadi pada perang, politik, dan hal ngeri lainnya.

Pada sisi lain, Samoylenko digambarkan sebagai seorang yang loyal. Teman yang baik. Ia memang sering menerima cerita hidup dari pasiennya. Ia mendengarkan dengan penuh empati curhatan Laefsky. Samoylenko berusaha menjadi sahabat yang baik, namun berujung mengiyakan sikap buruk teman sendiri.

Memang benar kata-kata manis Laefsky benar-benar sehebat itu membenarkan keadaan yang seharusnya disalahkan. Namun, tetap saja sikap Samoylenko di sini tidak bisa dibenarkan. Ia adalah orang baik yang naif, dipinjami banyak hutang pun ia mau, meskipun di luar kemampuannya sendiri.

Namun apakah kebaikan selalu dibenarkan? Kenyataannya, Samoylenko hanyalah narsis. Seolah-olah sikap baik hatinya malah menjadikan orang lain sebagai objek, atau dalam kasus Laefsky bahkan korban atas pemenuhan egonya sendiri untuk menjadi apa yang ia idealkan sebagai “orang baik”. Cocok menjadi renungan.

Sekali lagi ego dan pembenaran yang tidak sehat dapat terjadi di mana-mana. Baik sekali Chekov dapat menyinggungnya dengan sederhana.

Dalam kondisi yang tambah parah tersebut kemudian datang lah Von Koren. Sang pahlawan kita, atau mungkin orang paling bener di antara tokoh yang ada. Von Koren dapat berpikir jernih melihat masalah itu dan bersikap dengan tegas menghadapi sikap kekanakan Laefsky. Ia merupakan seorang peneliti ahli satwa, tampaknya juga terobsesi oleh teori evolusi Darwin sampai pada dunia sosial. Von Koren gambaran sempurna penganut teori survival of fittest, gampangnya ia percaya orang yang lemah atau dalam kasus Lafesky adalah bermasalah, seharusnya segera menghilang untuk menciptakan masyarakat sempurna. 

Von Koren tegas dan berani menentang setiap sikap manja Laefsky. Mungkin seperti itu apa yang digambarkan dalam novel, ia menjadi sosok antagonis sempurna dalam perkembangan karakter sang protagonist kita. Namun sikapnya ini yang terlampau idealis. Jika latar belakangnya sebagai peneliti mengharuskan untuk setia bersikap kritis, masih kurang tepat bila ia petantang-petenteng memaksa moral idealisnya. Merecoki kepada setiap orang yang dia anggap salah. 

Gelembung-gelembung ego manusia ini kemudian saling beradu dalam dialog-dialog yang penuh emosi. Dan memuncak pada duel yang sesungguhnya. Mungkin seperti ini hemat saya memberikan gambaran umum pelajaran dalam novel ini. Sungguh pengalaman membaca kisah yang berkesan.

Mengerikan memang mengatahui sisi buruk kemanusian. Parahnya lagi pembenaran diri ini dapat secara kreatif dibuat dan tersebar di lahan-lahan yang tidak sadari. Yah, mungkin tidak sedalam itu, tapi setidaknya menyadarkan diri kita bahwa pada level tertentu adalah seorang penjahat. Bukan melulu merasa menjadi korban.

“Dan orang yang mencari selamat dengan berpindah-pindah tempat layaknya burung yang bermigrasi, tak akan menemukan apa pun di mana pun, karena seluruh dunia akan serupa baginya.” (hlm. 160)

Judul Duel | Penulis Anton Chekhov | Penerjemah Lantai Hutan | Penerbit BASABASI | Cetakan September 2020 | Tebal 192 halaman | Peresensi Ghulam Ribath Ma’arif 

Editor Selo Rasyd Suyudi