Tanggal 6 Januari 2011, Prof. Dr. Musa As’ari resmi menjadi rektor defenitif Uni versitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta. Besar harapan pada rektor baru ini yang digantungkan oleh masyarakat UIN SUKA, untuk membawa kampus ini pada arah yang lebih baik.
Tentunya kita tidak menutup mata terhadap capaian yang dihasilkan oleh rektor sebelumnya. Kampus yang dulunya dikenal dengan kampus putih disulap bak hotel yang mewah. Ruang kuliah yang dulunya sumpek dirubah jadi nyaman, dengan kipas angin, proyektor bahkan air conditioner sebagai temannya. Konsep kelimuan-pun diubah. Sematan kampus dakwah, tukang baca doa’, normatif dan ekslusif dibawa kekonsep keilmuan integratif, interkonektif, inklusif dan entah apa lagi namanya.
Tentunya kita tidak boleh juga terperangah atau jengah dengan perubahan secara fisik, simbolik dan retorik ini. Masih banyak permasalahan yang ditinggalkan. Persoalan konsep kelimuan yang ditawarkan sewaktu konversi, terhenti pada tataran konsep. Sebagian dosen bahkan mendekati keseluruhan masih kebingungan menerapkannya secara praktik.
Pandangan miris terhadap birokrasi yang tidak bisa meninggalkan kultur lamanya masih banyak dilontarkan. Sok beretika, bertindak formalistik yang njelimet, tidak transparan, tidak ramah dan jarang senyum ketika berhadapan mahasiswa merupakan gambaran umum birokrasi UIN saat ini.
Metode pendidikan banyak dikritik sebagian kalangan. Mahasiswa dijadikan bak robot yang setiap saat siap mentaati perintah dosen. Harus memenuhi absensi 75%, tugas resume, dan makalah. Itulah gambaran rutinitas mahasiswa yang merasa dibebani. Intelektual dan keberhasilan mahasiswa dalam akademik diukur oleh hitungan matematis dan statistik yang harus dipenuhi.
Padahal, sejatinya pendidikan adalah memanusiakan manusia. Mengenalkan mahasiswa pada realitas sosialnya untuk kemudian menjadi problem solver. Bukan malahan menjauhkan mahasiswa dari lingkungan sekitarnya dengan mengecambahnya terapan aturan. Mungkin orientasi akademik memang penting. Tapi alangkah lebih—malahan sebaiknya—kecerdasan akademik dipadukan dengan kecerdasan sosial.
Dan paling penting selama ini dihujamkan, bagaimana pembuatan kesemua aturan itu. Sebutan birokrasi rektorat otoriter sudah menjadi perbincangan sehari-hari masyarakat UIN SUKA. Bahkan setiap ada demonstrasi mahasiswa—walaupun dari elemen berbeda-beda— kritikan dan tuntutannya sama. “libatkan mahasiswa dalam pembuatan kebijakan kampus. Jangan anggap kami tidak ada di kampus ini,” itulah tuntutan yang selalu didengungkan mahasiswa.
Mungkin paparan diatas merupakan sekelumit permasalahan yang ada di UIN SUKA. Dan yang paling penting adalah poin terahir, libatkan mahasiswa dalam pembuatan kebijakan kampus. Hal itulah yang harus diperhatikan oleh rektor yang baru sekarang. Harapan kedepan, jangan menjadikan mahasiswa sebagai objek saja. Sudah seharusnya menjadikan mahasiswa sebagai subjek dan sekaligus objek.
Sebab, cita-cita luhur akan terjadi jika melibatkan objek dalam pembuatan kebijakan. Jika tidak, jangan harapkan terjadi. Selalu akan terjadi salah paham antara pembuat kebijakan dan yang menerapkan kebijakan, alias resistensi objek. Seharusnya kesadaran birokrasi akan posisi mahasiswa sudah semakin maju dan terbuka. Tanpa dikomunikasikan dengan mahasiswa, program kegiatan apapun untuk memajukan UIN SUKA ke depan tidak akan tercipta.
Kemajuan dunia tanpa melibatkan manusia adalah ilusi. Keinginan memajukan kampus tanpa melibatkan mahasiswa ibarat mimpi disiang bolong. Tapi ini tidak mustahil dan belum terlambat untuk membenahinya, lalu melakukan bersama. Dan semua itu diharapkan pada rektor yang baru. Rektor yang komunikatif dan inklusif sama mahasiswanya sendiri[