Home EDITORIAL May Day: Tidak Perlu Tiga Naga Daenerys Targeryen untuk Revolusi

May Day: Tidak Perlu Tiga Naga Daenerys Targeryen untuk Revolusi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on May 1, 2019

 

Sehari saja kawan

Kalau kita mogok kerja

Dan menyanyi dalam satu barisan

Sehari saja kawan, kapitalis pasti kelabakan!!

(Wiji Thukul)

Sejarah telah memberi banyak bukti tentang makna krusial dari kerja sama, entah sekala besar maupun kecil. Siapa yang mampu bekerja sama lebih baik, dia yang mampu bertahan hidup. Romawi menaklukkan Yunani bukan karena Romawi mempunyai tiga naga dewasa seperti Daenerys Targaryen dalam serial Games Of Thrones, melainkan Romawi mampu bekerja sama secara lebih efektif. Memang terlihat moralis, tapi begitulah kehidupan.

Elite-elite Indonesia tahu bagaimana bekerja sama dalam membela kepentingan bersama, sedangkan 264 juta rakyat biasa tak mampu melakukan mengorganisir kelompoknya secara efektif. Dengan demikian, banyak upaya elite difokuskan pada rakyat di bawah agar mereka tidak pernah belajar untuk bekerja sama.

Memang dalam revolusi, jumlah tidak pernah cukup. Revolusi bisa dikatakan sebagai titik temu jaringan kecil agitator dan massa. Dalam persinggunganya, kita akan menemukan kolaborasi secara efektif pernah dilakukan dalam sebuah momentum. Revolusi Rusia meletus bukan hanya karena 180 juta petani bangkit melawan Tsar, tapi juga ketika segelintir orang komunis menempatkan diri di tempat yang tepat pada saat yang tepat.

Lebih se-abad lalu, waktu kerja selama 19 sampai 20 jam adalah sesuatu yang biasa, sampai saat McGuire dan 100.000 pekerja melakukan aksi mogok untuk menuntut pengurangan jam kerja. Hingga saat ini jam kerja menjadi 8 jam kerja. Itulah kenapa May Day ada, sebagai tragedi sekaligus bukti bahwa sampai kapan pun buruh mempunyai peran sentral dalam sejarah, entah sebagai martir maupun tumbal.

Ketika berbicara soal perburuhan di Indonesia umumnya, dan Jogja khususnya, upah murah masih menjadi makhluk menakutkan bagi buruh. Kita tahu, perihal upah menentukan bagaimana menjalani kehidupan. Indonesia dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) tertinggi sebesar Rp3.940.973 menjadikan negara di ASEAN dengan gaji terendah nomor tiga, diatas Vietnam dan Laos. Sementara UMP terendah sebesar Rp1.570.922, yakni Provinsi DI Yogyakarta.

Yogyakarta, dengan gaji terendah se Indonesia tentu mengakibatkan buruh mesti menghadapi banyak sekali masalah. Misal soal tempat tinggal, salah satu kebutuhan primer manusia modern. Harga tanah di Jogja termasuk salah satu yang tertinggi, menempati urutan ke 3 tertinggi setelah Bali dan Jakarta. Kita tahu, tanah sangat erat hubunganya dengan properti sementara gaji buruh di Jogja tak berbanding lurus dengan kenaikan harga tanah yang mencapai 5 juta per meter persegi.

Sebagian kita mungkin memiliki teman warga Jogja, ia memiliki lima saudara. Sebelum meninggal, kakeknya mewariskan tanah seluas 20 meter persegi. Ayah dan ibunya tentu akan berpikir keras bagaimana agar kelima anaknya mempunyai rumah di masa depan, sedangkan sehemat yang ia mampu gaji buruh tak akan mampu membeli tanah—di samping memikirkan sekolah anak-anaknya. Memang ironis, tapi begitulah nasib buruh Jogja.

Sebenarnya kekhawatiran buruh Jogja soal rumah dapat teratasi dengan catatan, Sultan mau membuka mata dan menyedikan perumahan murah untuk buruh dengan menyedikan 1/3 saja luas tanah Sultan Ground (SG) dan Paku Alaman Ground (PAG). Luas SG/PAG mencapai 34.882 hektar atau 10,67 persen luas DI Yogyakarta, artinya 11.627 Hektar bisa menjadi perumahan buruh. Dan banyak dari orang tua di Jogja tidak akan terlalu mengkhawatirkan tempat tinggal anaknya kelak.

Selain upah rendah, minimnya lapangan kerja yang membuat perusahaan berani bertindak sewenang-wenang terhadap buruh. Seperti, PHK sepihak, pelarangan berserikat, dan sistem kerja outsourcing. Dilihat dari sisi manapun outsourcing sangat merugikan buruh. Misalnya, beban kerja yang tak sesuai dengan upah, tidak ada jaminan jenjang karir kerja, tidak jelasnya keberlangsungan kerja, dan lemahnya perlindungan hukum. Sebab, dalam sistem outsourcing buruh dipandang sebagai komoditi, bukan sebagai bagian perusahan.

Persolan di atas sebenarnya adalah persoalan lawas, yang disetiap May Day selalu diteriakkan oleh kaum buruh, baik formal maupun informal. Namun, pemerintah dan penguasa tetap lah bebal, tak berbicara untuk kita, untuk kaum buruh.

Jika sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas, maka May Day menjadi salah satu dari banyak momen untuk menuntut hak, merefleksikan perjuangan, serta menghimpun ulang kekuatan. Perjuangan kita, kaum buruh tak cukup pada upah layak, buruh musti mempunyai saham di pabrik-pabrik, akses pada kebijakan perusahaan sebagaimana pemilik. Kita tentu masih ingat, di tahun 2010 buruh garmen di Pabrik PT Istana Magnoliatama mengakusisi pabrik dan mengelola secara bersama-sama dengan tanpa bos. Sampai titik ini, jika buruh bersatu, kesejahteraan, kebebasan, dan kebahagiaan adalah hal nyata bagi buruh.

Wajib bagi kita, buruh-buruh, untuk berjuang melawan setiap penindasan, penghisapan, dan ketidakadilan. Karena, dengan perjunganlah bangsa kita dilahirkan. Serikat-serikat buruh menjadi hal yang sangat penting. Melalui itu, kerja sama kolektif yang menemukan kepentingan-kepentingan buruh dapat tercapai. Hingga revolusi kaum buruh benar-benar nyata. Saya menyakini itu, seyakin kematian akan menjemput.

May Day, May Day, May Day…

Hidup rakyat…

Hidup buruh…

Panjang umur perjungan…

 

 

Penulis: Ajid FM

Editor: Syakirun Ni’am