Jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahu adalah awal dan dasarnya. Seperti sebuah batu pertama yang berlanjut menjadi fondasi sebuah lorong. Setelah itu jurnalisme menempuhnya dalam keadaan ruwet dan licin, yang membutuhkan bukan saja keterampilan dan kecerdikan tapi juga kesediaan dan kemampuan untuk menjadi polisi lalu lintas, kemudian jadi jaksa dan hakim terhadap diri sendiri, yang awas terhadap pelanggaran. Terdakwa pertama memang bukan orang orang lain. Setelah berita ditulis dan dimuat status terdakwa itu belum tentu selesai. (Bill Kovach, 1989).
Berbagai pemberitaan di media menyangkut persoalan dunia telah mewarnai berbagai asumsi dan cara pandang baru bagi manusia, tapi hal ini belum tentu menjadi perubahan baru yang selama ini diidamkan oleh kebanyakan orang.
Seseorang pernah tertawa pahit membaca sebuah berita di media. “Saya tak tahu lagi, di mana diri saya sebenarnya dan bagaimana harus berhadapan dengan masa depan”, katanya sedih ketika menghadapi realita yang dilihatnya itu.
Tapi itu tahun yang lalu. Kini ia tak merasa sedih lagi, ketika bersama ribuan orang muda setanah airnya, ia berjuang memerdekakan rakyatnya denga menulis. “Tak sendiri, anak-anak yang berjuang itu”, tulisnya, “kini telah menemukan kembali siapa dirinya dan untuk apa dia hidup”.
“Dengan begitu, mungkin mereka telah menemukan keberanian untuk berharap lagi”. Di hatinya, dengan mata yang berkaca-kaca ia mengatakan, “Setidaknya di tahun ini, jutaan orang Indonesia ternyata tak bodoh”.
Pasca ini mereka mungkin tengah merintis sebuah zaman baru, –zaman yang bisa menyambut momen, yang 100% bisa dinikmati semua orang dengan merdeka dan kebahagiaan, keberuntungan pada semua kalangan tak terkecuali– tapi yang percaya bahwa pada sesuatu lain yang bisa menggugah, mungkin memaknai semua itu lebih berbeda. Seperti keimanan yang lahir dari jiwa yang bernyanyi.
Keimanan membuat sebuah bangsa bersama-sama melepaskan rasa saling curiga dan benci yang tumbuh di dalam paranoia dan kegalauan. Juga keimanan yang bangga kepada ibu pertiwi yang bisa membawa damai di dunia.
Tapi mungkinkah? Perasaan was-was, kegalauan dan kecewa akan itu akan usai?
Justru yang terjadi malah sebaliknya, yang tertinggal kini paranoia. Paranoia adalah keimanan yang gelap dan ke-galau-an. Lalu siapa orang yang bisa memberikan jawaban atas semua kecemasan ini dengan tepat?
Terhitung detik setelah itu, tuan presiden menemukan apa yang mungkin tak pernah ia sadari sebelumnya, sebuah persoalan baru yang membelot, padahal setelah semua itu berjalan atas dasar petunjuknya. Mungkin ia baru menyadari kalau kita tak punya arah yang tegas dan satu lagi.
Keimanan, apalagi yang gelap, punya gairah dan daya tersendiri untuk mengukuhkan kekuasaan yang brutal. Yang tadinya menjadi momen untuk berperang melawan diri sendiri dari nista, bukannya perang mengakhiri “kenakalan”, melainkan malah menyambutnya.
Memang tak ada yang terbunuh, tapi membunuh setengah kebahagiaan. “Apapun yang kita ketahui dari apa yang kita alami. Ini sebuah pengingat akan ujian eksistensi “keimanaan” yang terus menghadang ke-diri-an kita”. Kita cemas dan galau memandang kita sendiri.
Pada akhirnya, menulis atau menyampaikan berita adalah laku moral (Goenawan Mohammad 2006). Dan kemudian apa yang jadi ukuran moral dalam pergerakan mahasiswa adalah rakyat yang menjadi titik tolak utamanya dimana semua upaya gerakan harus didasarkan pada perjuangan demi terbebasnya rakyat dari penindasan, penghisapan ketakutan kelaparan dan kematian. Titik tolak kedua adalah Negara. Segala aksi juang pergerakan membawa makna demokratisasi dan hak asasi.
Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam. Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” malah ditiadakan. (Caping Goenawan Mohammad 7 Februari 2011).
Dan mungkinkah revolusi baru akan terlahir kembali dari apa yang kita tulis? [Mia W Asgar, Wartawan]