Home - Belajar Tidak Keliru, dan Keliru jika Tidak Belajar

Belajar Tidak Keliru, dan Keliru jika Tidak Belajar

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, banyak kekeliruan dalam penggunaan istilah atau bahasa yang bisa kita temukan. Keliru merupakan kata yang tepat bagi ‘ketidaksesuaian’ penggunaan kata atau bahasa dibanding dengan kata ‘salah’ karena pada dasarnya, bahasa itu bentukan (konstruksi) yang kemudian ‘disepakati’ bersama dan digunakan bersama-sama pula. Oleh karena itu, siapapun bisa membuat konstruksi sendiri. Kalau ada yang dianggap keliru, itu karena ia melenceng dari ‘kesepakatan’ awal tersebut.

Sebagai contoh, di Indonesia ada buah yang kita sebut sebagai ‘apel’ yang merupakan ‘pinjaman’ kata dari ‘apple.’ Hal ini terjadi karena buah tersebut memang tidak berasal dari Indonesia. Menurut literatur, apel berasal dari Asia Tengah sebelum menyebar ke seluruh dunia, dan tumbuh subur terutama daerah dengan iklim dingin.

‘Apple’ adalah sebuah kesepakatan untuk merujuk pada buah berbentuk bulat berwarna hijau kekuningan hingga kuning kemerahan tersebut. Kalau ada yang tidak sepakat dan membuat kata lain, tentu itu bukan sebuah kesalahan. Orang Malaysia ‘sepakat’ menyebutnya ‘epal’ meski berasal dari akar kata yang sama. Tentu saja orang Indonesia dan Malaysia tidak salah, karena begitulah ‘kesepakatan’ yang terjadi. Jika kemudian buah itu disebut sebagai ‘durian’ barulah dikatakan ‘salah’ karena melenceng dari kesepakatan, dan ‘durian’ telah ‘disepakati’ untuk bentuk buah lain yang berkulit keras dan runcing menyerupai duri. Jika sejak awal ‘kesepakatan’ itu terbentuk, mungkin tidak akan ada kesalahan atau kekeliruan, sehingga orang Jawa tidak salah menyebut buah pisang dengan ‘gedhang’ padahal kata yang sama –gedang– dipakai orang Sunda untuk menyebut ‘pepaya.’

Jaya Suprana, pengusaha yang juga musisi –sekaligus pendiri Museum Rekor Indonesia—memperkenalkan sebuah istilah yang disebutnya ‘Kelirumologi’ atau ‘ilmu tentang kekeliruan.’ Istilah ini jelas bukan sebuah ilmu ‘serius’ seperti halnya ‘logi’ yang lain; sosiologi, psikologi, atau antropologi. Jaya Suprana menggunakannya untuk menyorot kekeliruan logika dalam penggunaan frase dan kata yang sudah terlalu sering dalam Bahasa Indonesia, sehingga kemudian dianggap benar.

Contoh kekeliruan itu misalnya, orang Indonesia menyebut ‘motor’ untuk sebuah kendaraan roda dua yang memakai mesin penggerak, untuk menyingkat kata ‘sepeda motor’ yang lebih jelas. ‘Motor’ sendiri berarti ‘mesin penggerak.’ Jika hanya menggunakan kata ‘motor’ mestinya tidak hanya untuk kendaraan roda dua, toh yang kita sebut dengan ‘mobil’ juga ada ‘motor’-nya.

Kekeliruan itu, bukan hanya milik kaum awam. Kaum terpelajar (akademisi) juga tak luput dari kekeliruan tersebut. Kata ‘jurnalistik’ untuk istilah yang merujuk pada kegiatan mencari dan menyampaikan berita –kemudian digunakan untuk menyebut salah satu program studi atau jurusan di perguruan tinggi, juga hasil dari kekeliruan. Konon, jurnalistik berasal dari istilah journalism yang kata asalnya adalah journal. Jika merujuk pada journalism, maka semestinya kata yang digunakan adalah jurnalisme, bukan jurnalistik. Jurusan atau mata kuliah jurnalisme, bukan jurnalistik. Jurnalistik itu bagian kecil dari jurnalisme.

Jika dirunut lebih jauh lagi, journalism yang berasal dari kata dasar journal itu juga keliru. Apalagi jika pengertiannya adalah catatan sehari-hari –penekanannya pada kata catatan, sehingga buku catatan sering disebut sebagai journal. Padahal, journal itu merujuk pada kata diurna dari bahasa Latin yang artinya adalah ‘harian.’ Kekeliruan terjadi karena dalam sejarah jurnalisme, cikal bakal suratkabar modern berasal dari Acta Diurna yang secara harfiah artinya ‘catatan harian.’ Catatannya sendiri berasal dari ‘acta’ yang kemudian kita pakai sebagai kata ‘akte’ atau ‘akta’ misalnya akte kelahiran, akte jual beli, dan lain-lain. Mestinya yang menjadi kata ‘jurnalism’ itu harusnya ‘actaism’ jika rujukannya pada ‘catatan’ buka periodisasinya. Jika merujuk pada ‘harian’ baru bisa digunakan istilah ‘journalism.’ ‘Journalism’ menjadi tidak keliru jika disandingkan dengan kata ‘daily’ yang dalam bahasa Inggris artinya ‘harian’ yang asal katanya adalah ‘day’ hasil adopsi dari kata ‘di’ dalam bahasa Latin.

Orang-orang perbankan juga melakukan banyak kekeliruan yang malah terlihat lebih ‘lucu’. Bagaimana kemudian sebuah bank harus menggunakan kata ‘bank’ dua kali. Misalnya Bank BPD, padahal BPD sendiri kepanjangannya adalah Bank Bank Pembangunan Daerah. Mestinya kita juga menyebut Bank PD saja, bukan Bank BPD yang jelas mengulang kata ‘bank.’

Makin keliru jika kemudian ada istilah baru yang menambahkan kata ‘syariah’ di belakang nama bank tersebut, misalnya BRI Syariah. Makna yang diinginkan dari penggunaan kata tersebut sebetulnya, Bank Rakyat Indonesia yang berdasarkan ‘syariah Islam’ atau hukum Islam. Di sini ada penyederhanaan kata ‘syariah’ seolah ‘syariah’ itu adalah ‘hukum Islam’ hanya karena ‘syariah’ itu berasal dari bahasa Arab yang kemudian diidentikkan dengan Islam. Semestinya kata ‘Islam’ tidak ditanggalkan untuk menjelaskan ‘syariah’ yang mana yang digunakan.

Hal yang sama berlaku pada istilah ‘ekonomi syariah’ yang seolah-olah ‘ekonomi yang berdasarkan hukum Islam. Padahal jika diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia, artinya menjadi ‘ekonomi hukum’ yang malah membahas sisi ekonomi dari tatanan hukum! Jika kemudian ada fakultas atau jurusan Hukum dan Syariah atau Syariah dan Hukum, sesungguhnya keduanya sama saja, atau mengulang kata saja. Jika niatnya untuk membedakan antara hukum Islam dan negara, mestinya kata ‘Islam’ dan ‘Negara’ harus disertakan. Begitu pula dengan kata ‘dakwah’ dan ‘komunikasi’ atau ‘tarbiyah’ dan ‘keguruan/pendidikan’ yang sesungguhnya berasal dari akar kata dengan makna yang sama.

Sekali lagi, ini soal kekeliruan, bukan soal salah-benar. Jika kita sepakat untuk sebuah istilah yang sebetulnya keliru, tentu tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi, tentu saja akan lebih baik jika istilah-istilah yang kita gunakan berasal dari sesuatu yang tidak keliru. Keliru itu manusiawi. Akan tetapi, tidak manusiawi juga jika terus-menerus keliru. Dan, karena ini soal kekeliruan, bisa jadi artikel ini juga memuat sesuatu yang keliru. Jadi mohon maaf jika keliru, dan mohon untuk diluruskan agar tidak terus keliru!.[Alip Yog Kunandar, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan kalijaga]