Home - “Memoar Kehilangan” dan Jogja

“Memoar Kehilangan” dan Jogja

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Menulis puisi membutuhkan konsentrasi yang luar biasa, tidak bisa dikerjakan sambil lalu. Karena memerlukan konsentrasi tinggi, ia mampu menerjemahkan sesuatu yang absurd menjadi sesuatu yang lebih rasional. Ia mencoba memberikan makna yang sangat besar sekali pada hal-hal kecil dan sederhana. Dan celaka betul kalau seorang penyair telah menerbitkan antologi karena tidak bisa berhenti.

Itulah kesan pertama Iman Budhi Santosa, sastrawan Jogja dalam acara bedah buku “Memoar kehilangan, buku sajak Sabiq Sarebesth” yang di selenggarakan di Gedung Teatrikal Dakwah UIN Sunan kalijaga pada Sabtu, 25 Februari 2012. Acara ini juga menghadirkan Hamdi Salad, Penyair Jogja. Hamdi menilai bahwa puisi tidak bisa disangkal karena merupakan perenungan pribadi. kita tidak bisa melepaskan puisi dari penulisnya karena apapun yang ditulis, pengarang mempunyai kaitan dengan pikiran, hati dan perasaan penulisnya.

“Kita tidak bisa memahami puisi Sabiq, jika kita melepaskan Sabiq sendiri. Karyanya lahir karena seseorang berdialog dengan dirinyan sendiri, dengan luka, cinta, derita dan kebahagian.” tambahnya. Puisi lanjutnya,  juga mengajak kita masuk kedalam ruangan individual metafisik yang disebut Tuhan “cinta”. Bahkan, puisi digunakanan sebagai cawan untuk alat pemberontakan.

Acara ini juga menampilkan performa art dari Masyarakat Bawah Pohon, Sanggar Nuun dan sanggar Eska dengan musik akustiknya. Menurut Waris, Lurah sanggar Eska UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,  puisi itu tidak seperti jamur yang tumbuh di musim peghujan artinya sangat jarang. Saya kira setiap penyair menulis berangkat dari kegelisan dan kesunyian tentang dirinya, lingkungannya dan lain sebagainya, maka akan sangat bagus ketika hal ini di budayakan. Saya ucapkan selamat untuk Sabiq Carebest, harapannya semoga tidak terjadi ejakulasi dini dalam penulisan selanjutnya karena biasanya yang terjadi setelah launching penulis menganggap usai.

“Saya sangat senang sekali acara ini telah usai apalagi bisa sekalian sebagai ajang reuni teman-teman angkatan ARENA. Saya kira keinginan semua penulis adalah untuk menciptakan karya yang baru. Apresiasi itu beragam tetapi saya tidak terlalu mempedulikan itu, saya hanya ingin terus berkarya”. Itulah jawaban singkat yang kami dapat ketika menanyakan bagaimana tanggapannya  sebagai penulis atas komentar dari para audien.

Dunia puisi, dunia kepenyairan ternyata masih mendapatkan tempat di hati  masyarakat, khususnya bagi para pecinta seni. Hal inilah yang mendorong Sabiq memilih Jogja sebagai tempat bedah buku meskipun dia sendiri bertempat tinggal di Jakarta. “menurutku Jogja masih sangat kondusif untuk dunia kepenyairan.” Tambahnya. [Khusnul Khotimah].