Ada yang menarik perhatian saya ketika duduk di lantai satu fakulktas SAINTEK. Di pojokan atap ruangan ada kamera mungil tersembul. Saya berfikir Mengapa harus ada kamera di lantai dasar fakultas. Layaknya hotel, mall, atau apakah kampus ini sebenarnya. Kamera kecil itu mengawasi terus menerus. Jika kamera itu mengawasi terus menerus maka ada yang diawasi terus menerus pula.
Michael Foucault pernah menjelaskan tentang konsep panopticon. Konsep itu menjelaskan tentang relasi antara yang diawasi dan mengawasi, orang yang mengontrol dan dikontrol, orang yang merehabilitasi dan direhabilitasi, orang yang abnormal dan menormalkan dalam sebuah ruang kekuasaan.
Efek utama dari mekanisme panopticon ini adalah menimbulkan kesadaran untuk diawasi, dilihat, secara terus menerus pada diri seseorang . sebuah  kesadaran yang mengisaratkan bahwa segala tindak tanduk  dan gerak gerik mereka ada yang mengontrol dan mengawasi.
Tentunya kesadaran diawasi dan dikontrol ini menimbulkan efek kepatuhan bahkan ketakutan. Tidak hanya cctv, peraturan, kode etik juga bisa memerankan mekanisme panopticon. Mekanisme ini terbukti ampuh menjinakkan mahasiswa. Kuliah wajib memakai sepatu, presensi 75%, ketua organisasi kampus IPK diatas tiga. Apa yang terjadi jika hal itu semua dilanggar. Hukuman itu jawabannya.
Mahasiswa larut dalam mekanisme  panopticon. Mahasiswa menjadi sibuk seperti manusia modern yang selalu banyak pekerjaan dan masalah, tapi sebenarnya semua itu tak bermakna dan kosong jiwanya. Mungkin inilah salah satu mekanisme yang mengikis daya kritis mahasiswa. Padahal daya kritis inilah yang mendorong lahirnya kreativitas. Dua hal ini begitu penting, tapi terabaikan.
Kampus yang telah mengontrol dengan ketat mahsiswanya melalui berbagai mekanisme hanya menjadi sebuah institusi yang total. Layaknya Hitler yang melakukan indoktrinasi untuk memproduksi kebesaran mitos Nazi. Birokrat dan dosen juga melakukan indoktrinasi kepada mahasiswa. SOSPEMÂ bak penataran P4 di zaman Soeharto merupakan contoh mekanisme indoktrinasi yang mutakhir di kampus.
Pendidikan memang telah menjalin hubungan yang mesra dengan kekuasaan. Baik kekuasaan politik ataupun ekonomi. Relasi kekuasaan inilah yang membuat kampus dikomersilkan dan dibuat menjadi sebuah komoditas. Pendidikan adalah komoditas yang sangat laku untuk diperdagangkan. Mekanisme seperti panopticon inipun dijalankan demi stabilitas. Bak Negara yang membutuhkan stabilitas politik untuk mendukung investasi perekonomian, pun demikian yang diterapkan di universitas.
Relasi pendidikan dengan kekuasaan inilah mungkin yang menyebabkan mengapa pemberian nama universitas memakai nama para raja, patih bukan nama ilmuan. Misalnya  Universitas Gadjah Mada, Brawijaya, bahkan yang menggelikan seperti di UIN Malang, gedung gedung kampusnya diberi nama presiden Indonesia dan hanya Soeharto yang belum dipakai untuk menamai gedungnya. Kampus kita sendiri dari awal pendirianya saja sudah diwarnai unsur politis. Sejarah mencatat perkembangan kampus ini di awal awal periode terseok seok karena godaan kepentingan politik. [Anik Aveuz]