“Kami ingin hidup layak dengan mendapat upah dan kerja yang layak,”
Hal itu diungkapkan oleh Ririn, salah seorang pembantu rumah tangga dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia saat diskusi publik Hari PRT Internasional di Pendopo Kartapustaka Yogyakarta, Sabtu (16/6).
Pembantu Rumah Tangga (PRT) sudah selayaknya mendapat jaminan perlindungan melalui Undang-Undang. Agar terbentuk UU PRT, maka kita semua perlu mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 mengenai kerja layak PRT.
Hal itu menjadi pembahasan dalam diskusi yang diadakan oleh Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT). Mereka menuntut agar pemerintah juga ikut serta dalam perlindungan ketenagakerjaan yang nantinya juga akan memberikan perlindungan kepada PRT.
Dr. Sari Murti., SH.M.Hum, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY) mengatakan, untuk membentuk UU Perlindungan PRT, maka kita harus mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi tersebut. Ratifikasi Konvensi ini nantinya yang akan mendorong lahirnya RUU PRT sehingga akan melindungi PRT. “Kita perlu mendorong ratifikasi konvensi tersebut, agar PRT hak-haknya terlindungi,” ujar Sari.
Sementara itu, Drs. Nuryanto, perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY mengatakan, pemerintah DIY telah membuat Pergub yang mengatur mengenai hubungan kerja antara PRT dengan pengguna jasa. “Setidaknya kita sudah mengawali dan berkomitmen kepada PRT dengan membuat Pergub mengenai upah dan kerja layak bagi PRT di Yogyakarta,” kata Nuryanto.
Namun, Sri Murtini salah seorang pekerja rumah tangga mengungkapkan, meskipun telah lahir Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Walikota (Perwal), ia merasa belum puas karena pihaknya tidak pernah diajak melakukan pembahasan mengenai hal tersebut. “Jangan lupakan kami PRT yang turut berjuang bagi bangsa ini dengan segenap kemampuan kami,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Sari Murti menambahkan, dengan adanya Undang-undang tentang pekerja rumah tangga, bukan berarti semua permasalahan dianggap sudah selesai. Namun, ia berharap agar semua pihak juga ikut mengawali jalannya UU yang nantinya bisa diimplementasikan di lapangan.
Sebenarnya, lanjut Sari, alasan PRT sering tidak mendapat upah layak, karena budaya jawa yang masih menganggap PRT sebagai pembantu semata. “Selama ini, yang terjadi adalah, PRT hanya sekedar dimintain tolong oleh majikan tanpa diberi upah, atau tidak dihitung sebagai uang lemburan. Budaya seperti ini yang harus kita hilangkan, karena hal ini tidak akan mengubah nasib PRT menjadi lebih baik,” imbuhnya.
Dalam diskusi tersebut tercapai beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah, mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi ILO no.189 dan selanjutnya membentuk RUU PRT. Sementara itu, di tingkat lokal, perlu diadakan sosialisasi Pergub no.31 tahun 2010 sehingga praktek implementasinya bisa sampai ke tataran grass root. Selain itu, jangan sampai terjebak hanya pada persoalan hukum semata, namun harus kita kawal juga praktek implementasinya di lapangan. [Anik Susiyani]