Papua kembali bergejolak, banyak pihak yang memberi masukan bahwa harus segera dilakukan “dialog” yang manusiawi dan beradab antara pemerintah pusat dan rakyat Papua.
Lima puluh tahun lalu Papua lepas dari kekuasaan Belanda, kemudian dalam proses cukup lama yang berakhir dengan suatu “jajak pendapat” masuk ke dalam Republik Indonesia. Akan tetapi sampai sekarang tanah Papua tetap tidak tenang, sampai saat ini kontroversi permasalahan ibarat api dalam sekam. Permasalahan-permasalahan yang ada di Papua serta pemecahan yang positif damai melalui kata “dialog” ditulis oleh Neles Kebadabi Tebay seorang warga asli Papua yang juga wartawan The Jakarta Post.
Dalam bukunya yang berjudul Angkat Pena Demi Dialog Papua berisikan opini-opini Neles dan berbagai tokoh lain yang simpati terhadap permasalahan Papua. Buku ini menjadi diskusi menarik yang dilaksanakan pada (21/06) di Teatrikal Dakwah bersama 4 panelis ternama, yaitu Syafii Maarif (Mantan ketua umum Muhammadiyah), PM Laksono (Budayawan dan Antropolog), Adriana Elizabeth (Aktivis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan juga Said Agil Siraj yang digantikan Oleh Imam Azis (Ketua NU kota Yogyakarta)
Dalam diskusi tersebut, Buya, begitu panggilan akrab Syafii mengatakan, permasalahan di Papua yang sampai saat ini tidak terselesaikan adalah masalah ketidakadilan terhadap kehidupan masyarakat Papua dalam hal pemerataan baik pembangunan, ekonomi, hak asasi dan perlindungan hukum. Laksono, selaku Antropolog menjelaskan bahwa saat ini rakyat Papua dianggap separatis oleh pemerintah dan pemerintah telah dicap sebagai pembohong oleh rakyat Papua. Laksono mengatakan, permasalahan Papua ini bukan hanya tugas pemerintah, namun juga tugas bagi kita. “Marilah kita hadir disana, sama-sama sebagai rakyat yang mendambakan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa atribut-atribut struktural apapun untuk melupakan masa lalu,” ujar Laksono.
Hal senada juga diungkapkan oleh Elizabeth bahwa permasalahan Papua dapat diklasifikasikan melalui empat masalah utama. “Yang pertama masalah marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua, yang kedua masalah pelanggaran HAM yang sampai saat ini tidak diselesaikan secara adil, yang ketiga masalah sejarah dan status politik Papua dan yang terakhir adalah kegagalan pembangunan berkaitan dengan UU Otsus (Otonomi Khusus) Papua,” terang Elizabeth.
Permasalahan-permasalahan ini dapat diselesaikan dengan cara dialog antara pemerintah pusat “Politik Jakarta ” dengan masyarakat Papua. Dialog digunakan sebagai media atau forum yang disediakan untuk memulai kebuntuan komunikasi politik antara Jakarta dan Papua, Komunikasi yang intens dalam rangka mengatasi ketegangan, saling curiga dan saling tidak percaya antara Jakarta dan Papua. Saran konkrit dari Elizabeth adalah pemerintah harus membentuk Tim Dialog, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) juga memiliki kapasitas untuk mengadakan dialog atau dalam bahasa lain adalah komunikasi konstruktif. “Selain itu, pendekatan secara dialogis harus dilakukan, bukan hanya pendekatan fisik semata,” tutur Elizabeth. “Sebab, dengan diadakannya dialog maka akan menciptakan ownership dalam hal politik, pelibatan ini akan menumbuhkan kepemilikan politik masyarakat,” lanjutnya.
Dalam diskusi ini juga dihadiri Sri Sultan Hamengkubowono X, dalam keynote speechnya ia berkata bahwa syarat dialog harus meliputi kesetaraan, keterbukaan, saling menghargai, dialog harus menyelesaikan akar persoalan kekerasan di Papua mencakup pembebasan tahanan politik dan narapidana, dialog juga harus dipersiapkan oleh semua pihak berkaitan dengan format dialog dan dialog harus berdasarkan keputusan politik pemerintah Indonesia yang resmi. “Saya selaku wakil Jogja, siap menjadikan Jogja sebagai fasilitas perdamaian antara Jakarta-Papua, Jakarta-Jawa,” tambah Sultan.[Indah/Ayu]