Home KANCAH Bayangan Ketidakpastian Nasib

Bayangan Ketidakpastian Nasib

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“ Perlawanan ini bukan perlawanan yang melanggar hukum, tetapi justru menjalankan mandat konstutusi kita. Kebebasan  untuk memilih jalan hidup telah jelas mendapat pengesahan dan perlindungan oleh undang-undang.”

Begitulah ujar Nashih Luthfi salah satu Staf pengajar STPN  Yogyakarta dalam orasi yang disampaikan pada acara panen raya yang diselenggarakan di ladang pesisir desa Garungan, Panjatan Kab.Kulon Progo (3/06). Bertani adalah warisan turun temurun masyarakat pesisir Kulon Progo. Tanah yang sekarang ini digarap oleh mereka adalah tanah warisan yang sedari dahulu telah ditempati oleh pendahulunya. Selama ini dari hasil pertanianlah masyarakat setempat menggantungkan hidup. Sehingga ketika mulai gencar wacana pembangunan tambang memanas sejak tahun 2006 hingga kini masyarakat pesisir Kulon Progo dihantui oleh ketidakpastian nasib dan masa depan mereka.

Konflik kian kompleks dengan masuknya beberapa pihak yang saling membawa kepentingan pribadi. Contoh nyata adalah penggunaan jasa-jasa preman bayaran yang membakar posko-posko petani beberapa tahun silam dan memicu upaya kriminalisasi sewenang-wenang terhadap petani pesisir Kulon progo, seperti dalam kasus Tukijo yang hingga kini masih mendekam dibalik jeruji besi.( http://persma.com/2011/06/29)

Masalah utama yang menjadi sengketa adalah status tanah dari pantai pesisir Kulon Progo. Banyak silang pendapat terkait status tanah ini secara hukum antara apakah tanah ini milik kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ataukah hak milik masyarakat setempat. Bila menilik aspek sejarah, dahulunya wilayah ini adalah daerah kekuasaan kerajaan Mataram. Tetapi berdasarkan perjanjian Giyanti dengan VOC tahun 1755 yang didalamnya dengan jelas menyebutkan bahwa independensi kerajaan Mataram tidak lagi diakui.

Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan. Sehingga secara hitam diatas putih VOC mempunyai legitimasi hukum atas kekuasaanya di wilayah mataram (http://id.wikipedia.org). Dan seiring perjalanan sejarah VOC bangkrut dan kepemilikan berpindah kepada pemerintah Kolonial Belanda, kerajaan Inggris, jepang dan akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari Indonesia pasca kemerdekaan.

Apabila mengacu pada  UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) sebagai tonggak unifikasi hukum agraria di indonesia telah jelas menyatakan bahwa bagi rakyat asli hukum warisan penjajah tidak menjamin kepastian hukum. Sehingga apabila ada kalimat yang menyatakan tanah tersebut dengan Sultanaat Ground (Rijksblad Kasultanan No 16 Tahun 1918) atau Pakualamanaat Ground (Rijksblad No 18 Tahun 1918) tentunya tidak relevan lagi karena status hukumnya telah dihapuskan oleh Perda No 5 Tahun 1954 dan diundangkannya UUPA.

Aji Kusumo menyatakan bahwa apabila ada pihak yang tidak mengakui status kepemilikan tanah petani pesisir pantai, berarti secara tidak langsung adalah penghianatan terhadap HB IX dan HB VIII. Karena Sultan Hamengkunuono IX sendiri pernah menetapkan bahwa orang yogyakarta yang mempunyai tanah warisan maka otomatis menjadi hak miliknya.

Keadaan kini semakin memojokkan petani pesisir Kulon Progo setelah berbagai usaha yang diupayakan pupus ditengah jalan tatkala berbenturan dengan kekuasaan.“ Konflik struktural seperti ini memang sangt sulit penyelesainnya secara hukum dan kemungkinan menangnya pun sangat kecil”  tutur Johan perwakilan dari LBH yang turut andil dalam pembentukan PPLP Kulon Progo. Ia juga menyadari kesempatan yang semakin mengecil dengan ditolaknya gugatan PPLP-KP atas Rencana Tata Ruang Wilayah(RTRW) Kulon Progo oleh MA.

Untuk penyelsaian konflik struktural seperti ini memang dibutuhkan kesediaan dari berbagai pihak untuk duduk bersama dan mencari jalan penyelesaian. Akan tetapi hingga saat ini seolah Pemerintah Daerah ataupun Pemerintah Pusat terkesan acuh terhadap protes dan suara dari masyarakat petani pesisir pantai kulon Progo.“ Sudah dari dulu kita sering demo mas, tapi gak pernah ditanggapi. Malah menghambiskan duit saja mas. ” Tutur sumar, pemuda setempat yang pernah merantau di Malaysia. [Jamal]