Identitas merupakan hal pokok yang menjadi tolok ukur untuk keberadaan seseorang atau golongan tertentu. Banyak cara yang dilakukan untuk dapat mengidentitaskan diri, salah satunya lewat musik. Musik dangdut ternyata telah menjadi salah satu sarana yang secara tak sadar menampilkan identitas dan budaya Indonesia.
Dangdut sebagai musik yang selalu digadang-gadang sebagai budaya asli Indonesia, ternyata mengalami berbagai problematika terkait bagaimana sebenarnya rakyat Indonesia mengidentitaskan dirinya. Fakta yang harus dihadapi adalah, ternyata sebagian masyarakat, khususnya kawula muda, merasa malu atau minder jika harus mengakui dirinya sebagai penggemar musik dangdut. Di satu sisi, musik dangdut kerap dipilih untuk ditampilkan dalam acara-acara besar, seperti misalnya kampanye, resepsi pernikahan, dan pesta-pesta rakyat lainnya. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan dalam benak setiap orang, kenapa masyarakat Indonesia bisa berperilaku begitu naif dalam mengidentitaskan dirinya.
Andrew N. Weintraub dalam bukunya, Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia, mencoba mengulas lebih dalam mengenai permasalahan ini. Andrew berangkat pada persoalan di mana suatu budaya termarjinalkan dalam negaranya sendiri. Namun, dalam buku ini, Andrew mencoba menyajikan kepada pembaca tentang bagaimana masyarakat Indonesia sebenarnya sangat mencintai musik dangdut. Siapa pun kenal musik dangdut. Mulai dari anak kecil, hingga orang dewasa. Dan siapa pun pantas menikmati dangdut. Bahkan, seorang anak yang belum cukup umur pun pantas menikmati dangdut. Juga orang yang sudah lanjut usia.
Ada beberapa poin penting yang ingin penulis sampaikan dalam bukunya. Pertama, ia ingin menyampaikan bahwa musik dangdut, pada hakikatnya, sangat dekat dengan masyarakat Indonesia. Kedua, musik dangdut mulai mengalami berbagai pergeseran dalam perjalanannya dari waktu ke waktu. Pergeseran ini tidak hanya pada ranah publikasi, namun juga mulai bergeser ke arah persepsi buruk masyarakat tentang dangdut. Dangdut, saat ini, identik dengan seksualitas, glamor, dan kekerasan. Ketiga, dangdut mulai menarik minat para politisi untuk memainkan sekaligus mengendalikan masyarakat. Pada awal-awal bab, penulis mengatakan bahwa musik dangdut telah meninabobokan rakyat Indonesia dari kepedulian terhadap masalah sosial yang nyata.
Keempat, penekanan lebih kepada bagaimana sebenarnya masyarakat Indonesia mengidentitaskan dirinya pada musik dangdut. Dangdut menciptakan sistem kelas, etnisitas, dan gender dalam tataran masyarakat Indonesia. Menurut Andrew, dangdut adalah musik kelas menengah ke bawah. Mengapa? Andrew memandang bahwa selama ini dangdut hanya dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah. Dangdut harus merelakan kenyataan bahwa kelas menengah ke atas umumnya lebih menyukai jenis musik lain, seperti pop, rock, rege, dan yang lainnya. Isu gender pun kerap kali timbul pada persoalan musik dangdut. Saat ini, kebanyakan penyanyi dangdut adalah seorang wanita, sebagai bentuk eksistensi yang selama ini dianggap termarjinalkan dari kaum pria.
Pada bab satu, isi buku ini menjelaskan tentang dangdut dan genre. Dangdut, saat ini telah dijadikan sebagai produksi dan sirkulasi makna terhadap kondisi sosial dan budaya. Sehingga berdampak pada relasi sosial yang ada di Indonesia. Pada bab-bab selanjutnya, penulis lebih memfokuskan pada sejarah musik melayu, sebagai induk dari musik dangdut. Juga menjelaskan tentang karier pedangdut Rhoma Irama sebagai pencipta dan pelopor musik dangdut, cerita-cerita yang terkandung dalam musik dangdut, serta tentang pengelolaan media terhadap musik dangdut.
Pada dasarnya, dangdut menampilkan bagaimana sesungguhnya menjadi seorang warga negara yang baik. Opini publik perlahan diarahkan lewat nada dan syair yang sopan, memotivasi, dan mengajarkan akhlak yang baik. Kita mengenal Rhoma Irama sebagai raja dangdut. Dalam lagunya, Rhoma menyampaikan pesan-pesan moral yang baik. Begitupun dengan penyanyi dangdut lain, yang menyajikan bagaimana kisah percintaan, cita-cita, serta perjuangan hidup yang pantas untuk dijadikan pelajaran. Penampilan dan gaya yang ditampilkan oleh penyanyi dangdut juga pada dasarnya mencerminkan suatu tontonan yang layak untuk semua umur, karena hakikat dangdut adalah nada dan musik, bukan goyangan dan penampilan yang seksi dan glamor.
Namun apa yang terjadi dengan dangdut saat ini? Mengapa nuansa negatif seperti telanjur tertanam dalam benak masyarakat Indonesia? Ditambah lagi dengan kehadiran beberapa artis dangdut nyentrik seperti Inul Daratista, Nita Thalia, dan Anisa Bahar, yang kontroversial dalam penampilannya. Tak ayal, hal seperti ini semakin memperjelas kerangka anggapan tentang dangdut sebagai musik yang tak layak untuk dinikmati.
Andrew ingin membongkar semua itu dalam bukunya. Musik, identitas, dan budaya Indonesia menjadi pandangan umum yang ingin dikaji oleh Andrew. Menggunakan perpaduan pendekatan etnomusikologi, antropologi media, dan kajian budaya, Andrew mulai membahas banyak hal. Sejarah, politik, kontroversi, bahkan kajian tentang hubungan Islam dengan dangdut tak terlepas dari bahasannya.
Buku ini mengajak pembaca kepada permasalahan di mana sebenarnya posisi masyarakat Indonesia dalam memandang dangdut sebagai kebudayaan asli. Untuk apa sebenarnya musik dangdut ini ditampilkan di depan umum. Mengapa dalam setiap kampanye partai politik, musik dangdutlah yang menjadi pilihan untuk disajikan? Pembaca akan dibawa ke ranah yang lebih dalam lagi ketika Andrew membahas tentang ciri-ciri musik dangdut jika dipandang dari nada dan makna yang terkandung dalam liriknya.
Namun demikian, terdapat beberapa kekurangan yang perlu menjadi perhatian bagi yang hendak membaca buku ini. Terlepas dari segala hal yang bersifat teknis, buku ini belum mencakup tentang apa yang seharusnya lebih didalami oleh penulis. Andrew memberi judul buku ini, Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Akan tetapi, sebagian besar isi buku ini belum mengarah ke judul. Andrew terlalu asik dengan pembahasan mengenai dangdut dalam arti yang harfiah, sementara lupa dengan urgensi yang semestinya menjadi titik tekan, yaitu hubungan antara dangdut, identitas, dan budaya Indonesia.
Konsep identitas dan budaya Indonesia masih terlihat setengah matang dalam pembahasan buku ini. Di tengah banyaknya buku yang membahas tentang identitas dan budaya Indonesia, misalnya saja buku ‘Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia’ (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), Andrew seharusnya bisa lebih menerangkan dan memberi sesuatu yang baru dalam pembahasannya mengenai identitas dan budaya Indonesia.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, buku ini tetap pantas untuk dibaca dan dinikmati sebagai sarana penambah wawasan. Terlebih bagi mereka yang mengaku penggemar musik dangdut, wajib untuk memiliki. Kerena dengan adanya buku ini, merupakan tamparan keras bagi kita sebagai masyarakat sebuah negara yang berbudaya. Penulis adalah orang luar yang tidak disangka menjadi pemerhati dan serius membahas budaya bangsa ini.[Januardi]
Judul : Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia
Penulis : Andrew N. Weintraub
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal buku : X + 320 hlm