“Kuliah di UIN Suka itu bayarnya paling murah di dunia akhirat!” Itulah yang sangat sering kalian lontarkan pada kami, saat kami menuntut tambahan/perbaikan fasilitas maupun kualitas. Entah tuntutan itu lewat demonstrasi, atau bahkan baru berupa “harapan” dalam hati. “Lha wong bayarnya murah kok minta macam-macam!” begitu tambah kalian dengan seringai. Dan kami pun kalian paksa bungkam, dan harapan kami mati.
Kami tidak tahu, sesungguhnya, berapa banyak biaya operasional yang kami butuhkan disini. Setahu kami, membayar SPP yang jumlahnya “hanya” Rp 600.000 persemester itu cuma menutupi ±20% biaya operasional kami pertahun. Artinya, selebihnya (±80%) dari subsidi pemerintah (sebenarnya rakyat) lewat APBN, juga dari “sedikit” dana BLU. Artinya juga, tiap mahasiswa secara tak langsung sudah membayar ke kalian ± Rp 7.200.000 pertahun.
Itu sesungguhnya mahal, cuma kami dibantu pemerintah (baca: rakyat), sehingga jadi seperti yang kalian katakan paling murah di dunia akhirat itu. Cuma, memang kebanyakan kami bodoh (atau dibodohkan) sehingga tidak tahu. Dan nampaknya kalian sengaja memelihara atau minimal menikmati kebodohan kami. Sebab, selama ini sangat jarang ada dosen atau TU yang menjelaskan demikian. Dalam “indoktrinasi” SOSPEM sekalipun! Bukankah lebih baik kalian ungkapkan bahwa kami ini lebih banyak dibiayai rakyat, sehingga dengan begitu kesadaran sosial dan tanggungjawab sosial kami tertanam?
Kenapa misalnya, saat kalian bilang SPP UIN termurah di dunia akhirat, tidak kalian ucapkan juga bahwa mahasiswa di UIN juga termiskin di dunia akhirat?! Bukankah Rp 600.000 itu sangat mahal bagi kebanyakan kami? Kalian tahu sendiri berapa banyak diantara kami yang tiap semester kalian paksa DO atau cuti karena tak bisa bayar SPP?
Kami ini mahasiswa. Dengan kesadaran yang masih telanjang, kami mencoba meraba. Tentang bagaimana kalian saat mau membangun fasilitas ini itu kalian mengatasnamakan kami, menjual nama kami. Bahwa fasilitas yang kalian bangun itu untuk kepentingan kami. Padahal jarang pula kami nikmati karena harus bayar biaya sewa—yang juga mahal—sementara uang kami pas-pasan.
Sering kalian gembar-gemborkan, kalau sistem di kampus ini mengikuti pola good governance yang sangat menjunjung transparansi. Tapi saat kami ingin tahu apa saja sih yang kami “butuhkan” menurut kalian, juga berapa biayanya, bagaimana rinciannya; kalian tak pernah mau terbuka. Kata kalian, kami tak berhak tahu karena kami masih mahasiswa. Ini logika macam apa?
Maaf, jika tulisan diatas frontal, oposisional, dan sangat tidak sopan santun. Kami memang sudah muak dengan kesopanan yang menipu, yang hanya topeng dari nurani yang kian membusuk. Dan lewat tulisan ini, kami mencoba “membaca dan menulis” kalian. Lalu menyuarakan apa yang kami lihat, kami baca tentang kalian, juga tentang diri dan posisi kami. Dan maaf, jika teriakan kami ternyata subversif belaka!
Opik
feeq.peace@live.com