Home EDITORIAL UIN, Ayo Bersikap!

UIN, Ayo Bersikap!

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Penerimaan mahasiswa baru telah dibuka. Berarti akan ada ribuan mahasiswa baru lagi yang akan “mempersiapkan nasib” dikampus UIN Suka. Benarkah saat ini pendidikan kita katakan sebagai tempat mempersiapkan nasib? Idealisme dunia pendidikan mungkin “tersinggung” mendengar ungkapan itu. Tapi, mari kita membaca masyarakat, kemudian melihat bagian mana yang menyebabkan ini menjadi “keruh”. Lantas, kita dapat memposisikan diri di antara banyaknya tawaran posisi untuk dunia pendidikan, terkhusus untuk UIN Sunan  Kalijaga.

Di dalam masyarakat, kita mengetahui, di sana ada persaingan. Persaingan untuk hidup yang lebih layak. Di samping itu kemiskinan terus menghantui. Jika ‘hantu’ itu menjerat, amat sukar untuk lepas darinya. Dan kebanyakan juga, khususnya generasi muda telah terlebih dahulu  takut untuk hidup miskin. Akibat buruk dari itu, generasi muda yang akan mengenyam pendidikan menjadi pragmatis.

Dalam dunia pekerjaan, juga demikian halnya. Meskipun saat ini kita belum hidup di masyarakat kapitalistik total, tapi jelas kita sedang menuju ke arah itu. Kehidupan masyarakat jelas telah terbagi ke dalam beberapa kelas. Kelas-kelas tersebut “menghamba” kepada kelas yang mempunyai modal, yaitu kelas kapitalis. Yang dibutuhkan oleh kelas kapitalis adalah reproduksi kondisi produksi. Dan salah satu wujud reproduksi itu adalah butuhnya orang-orang yang langsung siap dan kompeten menggunakan alat produksi. Untuk bisa menjadi demikian, banyak calon mahasiswa menganggap pendidikan sebagai sarana mempersiapkan diri untuk disesuaikan dengan keinginan dunia pekerjaan-yang dikuasai kelas kapitalis.

Lantas, dengan kondisi seperti itu, bagimanakah UIN memposisikan diri sebagai salah satu bagian dari dunia pendidikan? Sejauh ini, memang UIN belum pernah menyelogankan diri sebagai kampus yang mencetak lulusan yang siap bersaing dalam pekerjaan. Tapi jelas, menyikapi kondisi ini, UIN harus tegas memposisikan diri. UIN tidak dapat lagi seolah-olah tidak ambil pusing dengan kondisi yang ada. Sampai saat ini, kita telah bagus “diatas kertas” saja. Kita dapat mengatakan bahwa kita mengedepankan keilmuan dengan basis integrasi-interkoneksi dalam aplikasi pembelajaran. Namun sayang, dalam aplikasinya tidak seindah teorinya. Bahkan maksud dari integrasi-Interkoneksi saja banyak sekali tenaga pendidik yang tidak benar-benar memahami. Akibatnya, yang terjadi hanya formalitas saja. Seperti mencantumkan kata “Islam” dalam judul skripsi atau hanya membubuhkan ayat Al-Qur’an dalam tugas dan karya tulis.

Program-program kerja-pun belum ada perbedaannya. UIN masih disibukkan dengan persoalan-persoalan yang telah menahun dan tak kunjung usai. Tridharma perguruan tinggi yang sering dikaitkan dengan universitas hanya isapan jempol belaka. Mengabdikan diri kepada masyarakat hanya menjadi formalitass dalam KKN. Begitu juga dunia akademik yang semakin menjauh dari persoalan masyarakat  akhirnya kebablasan ketika dikembangkan.

Diranah akademik, mahasiswa membutuhkan sarana kompetisi dengan mahasiswa lain di dalam dan luar kampus. Namun hal itu dipersulit. Bahkan ada mahasiswa UIN yang terpaksa menggunakan dana pribadi dan nama instansi lain guna menyalurkan kreativitasnya. Dan tak jarang kreativitasnya itu memajukan nama UIN Suka. Inikan ironi.

Dan tak kalah peliknya, jurnal yang seharusnya menjadi sesuatu yang akrab dengan mahasiswa dan dunia pendidikan masih menjadi angan-angan. Mengkonsumsi jurnal sebagai jendela khazanah isu dan wacana kontemporer masih jauh dari mahasiswa apalagi menulis disana. Pantas saja, kita acapkali terkejut dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.

Selanjutnya, mungkin wajar saja kita kebingunan menentukan sikap diri dalam kondisi masyarakat yang demikian. Persoalan demikian berbelit-belit. Tapi tolong, jangan sampai kita akhirnya terpaksa bertanya pula kepada mbah Google. Karena pasti ia akan bingung dan balik bertanya. Ia tidak akan bisa menjawab kegelisahan ini walaupun internet kita sekarang demikian lancarnya. [Redaksi]