Home SASTRACERPEN ll Gerhana Menelannya

ll Gerhana Menelannya

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

 

Bulan tak lagi muncul setelah malam itu. Dan aku disergap kesunyian mengelam perlahan dicekam malam yang juga merangkak tanpa aku sadari. Bulan milik Bumi memang indah, namun ternyata dia tak akan pernah indah tanpa cahaya matahari, sebab semua hanya pantulan cahaya matahari semata. Ia tak akan pernah indah, bahkan mungkin menyeramkan, sebab liang di sekujur wajahnya. Ilmu Fisika menjelaskan bahwa permukaan Bulan berlubang-lubang, tidak rata dan juga gersang. Berbeda dengan bulanku.  Bulan begitu indah sepandanganku di setiap malamnya.  Kau tak tahu, begitu indahnya bulanku. Bulan bagai satu-satunya ratu yang menguasai malamku seutuhnya. Bulan menyimpan pesona yang menggetarkan hati dan seketika menghidupkan perasaanku. Bulan yang mengajariku bahwa hidup membutuhkan hati, sebab begitu dahsyatnya ia.

Segalanya berjalan, namun ternyata keadaan itu tak seterusnya. Pemandangan, getar hati dan kebahagiaanku saat melihatnya menguap ketika mendapatinya menjauh dariku, memilih untuk nyaman dalam kesunyiannya. Dulu Bulan masih seringkali muncul menghias malam dan mimpiku. Tapi sungguh, setelah malam itu Bulan tak lagi muncul. Bulan tak pernah hadir menemaniku, yang ada hanyalah aku sendiri yang masih dicekam sesal yang tak kunjung bermuara. Sesal sebab kelemahanku sebagai makhluk yang ternyata gampang terkuasai. Seperti teori Berger mengenai proses dialektis yang menyangkut eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Aku melakukan obyektivasi yang terbatas. Belum bisa seperti Einsten dengan E=MC2 –nya atau Alfa Edison dengan lampunya. Namun pada ujungnya eksternalisasi yang merupakan ekspresi diri tetap saja terkalahkan oleh internalisasi, yakni konstruk dari ciptaan manusia itu sendiri. Tak diminta, waktu memberiku ruang untuk kembali mengenang yang lalu.

***

Sepoi angin membuat siapa saja yang menemuinya di siang itu akan mengucap kata syukur. Matahari seakan mengamuk, lebih dari amukan massa yang diambil haknya oleh sang penindas. Lebih dari kemarahan rakyat yang masih juga bergejolak terlindas kemiskinan sebab hukum rimba yang masih saja diberlakukan. Ia menjadi energi terbesar siang itu. Menunjukkan bahwa dialah yang paling perkasa merajai siang. Pepohonan dan rerumputan terlihat lemas, tak bertenaga menahan serangan panas, ibarat pasukan perang yang dibombardir lawan dari segala arah. Lemah, tak berdaya dan pasrah. Mereka menanti pertolongan senja dengan gelisah.

Di siang yang begitu terik itu aku kembali melanjutkan kisahku kembali bersama Bulan, sejak ikrar untuk menjalin persahabatan kami mulai. Bulan, gadis yang telah menjadi sahabatku sejak kami bersama menginjakkan kaki di Yogyakarta, 3 tahun silam. Kami seangkatan dengan fakultas yang sama, hanya berbeda jurusan. Seringkali hari-hari kulalui bersamanya. Meski tak penuh dalam satu minggu. Seringkali tak ada hari tanpanya. Karena entah sejak kapan, Bulan telah menjadi bagian dari hidupku dan menguasai dinginnya malamku bahkan juga terik siangku. Kami mengerjakan makalah bersama, meski aku lebih sering menitipkan namaku jika aku sekelompok dengannnya. “ Surya, kalau begini terus, aku justru membuatmu tak bisa,” omel Bulan sembari menaikkan alisnya dengan cibiran yang khas. Celoteh yang selalu aku anggap angin yang justru menyejukkan hatiku seperti oase di sahara, tanpa sadar bahwa yang ia katakan adalah benar.

Sabtu yang menjadi siang terakhir aku bersama Bulan. Siang itu aku menepuk bahu Bulan perlahan. Ia masih saja terlihat mengantuk, katanya dia tak bisa tidur semalaman. Matanya terlihat sayu dan kosong, tak seperti biasanya yang penuh dengan gairah hidup, tapi kesemuanya tak aku lihat hari itu. Aku coba hibur dia dengan berbagai humor yang mungkin agak alay, tapi tak mempan sedikitpun. Ia membiarkan ujung jilbabnya yang liar terkibar didera angin. Membungkam diri dan tak berkata sepatahpun juga seharian itu. Membuatku kelimpungan dibuatnya, sebab hanya kesunyian dunia yang kurasa jika Bulan tak membersamaiku. Tanpa Bulan, maka aku bagai Bumi tanpa satelitnya. Atau malah seperti Saturnus tanpa cincinnya.

Senja menjemput. Merayap perlahan tanpa aku sadari bahwa matahari telah tergelincir sedari tadi. Perkuliahan kami berakhir senja itu. Lewat sudut mata aku lihat raut wajah Bulan yang tak juga melembut. Sepertinya picingan mataku mengganggunya. Kami berjalan beriringan menuju peraduan masing-masing. Sejenak aku masih saja memandang bayang punggungnya yang perlahan menjauh dan hilang ditelan kegelapan di ujung jalan, tanpa aku menyadari bahwa itulah perjumpaan penghabisanku dengan Bulan. Bulan yang ditelan gerhana, bahkan untuk selamanya.

***

Dengan harap cemas aku berusaha menghubungi nomor handphone-nya, namun untuk sekian kali yang menjawab panggilanku adalah operator wanita dengan gaya setengah genit dan sedikit menggoda. Lagi-lagi wanita digunakan sebagai pelaris produk, atau bahkan sudah menjadi komoditi yang tak pernah disadari. Sebenarnya aku masih sedikit maklum jika wanita disuguhi dengan berbagai macam produk kecantikan yang namanya saja sulit untuk diucapkan, namun aku kurang setuju jika iklan mobil dan motor harus disandingkan dengan seorang wanita memakai rok mini, baju ketat dengan dada sedikit terbuka atau rok yang tersingkap diterpa angin. Sungguh menggoyahkan iman dan tentunya menjadi sedikit tidak rela jika kelak ia menjadi istriku walaupun itu juga tidak mungkin. “ Ah, aku sedang menunggu Bulan,” tukas batinku dengan sedikit seringaian dan garukan di kepala meski tak gatal.

 

Aku masih menanti dengan pekuran dan perasaan yang tak tentu. “ Apa aku menyinggung hatinya? Atau mungkin dia sedang sakit?, Kalau menyinggung sepertinya tidak, aku tak berkata apapun kemarin, mungkin sakit !,” kembali batinku berdiskusi. Kutatap langit-langit kamar Ahad siang itu. Entah mengapa aku malas melakukan apapun hari ini, lebih tepatnya lebih malas, karena biasanya aku sudah malas. Kantuk menyerangku hingga aku menyerah tanpa syarat padanya, meninggalkan dua waktu sholat yang membuatku menyesal setengah mati. Aku lihat jam dinding menunjukkan pukul 17.35 WIB. “ Masih sempat sholat Asyar,” pikirku. Dan dalam sekejap aku berlari menuju kamar mandi dan bergegas mengenakan sarung hanya dalam hitungan detik.

Salam terakhir pikiranku sudah melayang-layang. Sudah tentu isi pikiranku hanya Bulan. Entah mengapa aku berniat menyatakan perasaanku pada Bulan secepatnya. Dengan atau tanpa status. Kami sudah dewasa, dan tak begitu penting bagiku perihal itu. Cukup jika semua sudah memungkinkan dan waktu berpihak padaku tentunya, akan langsung aku minta dia dari orangtuanya. Aku hanya tersenyum membayangkan Bulan tersenyum karena memiliki perasaan yang sama. Lalu aku memoncongkan bibir saat membayangkan cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Sebab, itu tak akan berirama. Yang ada hanyalah sepi, seperti hidupku nanti jika tanpanya. “Ah, sepertinya aku benar-benar jatuh hati pada Bulan. Jika terus disimpan dalam hati, dia tak tahu dan semua berakhir tanpa aku sendiri yang tentukan akhirnya,” bisik batinku. Kalimah-kalimah tayyibah menjadi penutup sebelum kata “Amin” di penghujung sholatku.

Handphone menjadi sasaran tanganku setelah sholat, bahkan sebelum aku melepas sarungku. Ada tiga panggilan masuk dan satu buah sms, semuanya dari Bulan.  Aku melonjak kegirangan. Bagai seorang anak mendapatkan mainan baru setelah membantu ibu dan ayah. Namun kemudian aku menggelesot tak karuan setelah membaca sms yang masuk.

Ass. Maaf, ini dengan Surya? Ini Mirna, teman kos Bulan. Bulan kecelakaan tadi siang, dan meninggal ditempat. Orang tua dan keluarganya juga masih dalam perjalanan dari Semarang. Langsung datang aja ke kos gapapa. Makasih. Wass.

Aku hanya bisa menangis tanpa air mata dan terisak tanpa suara. Aku terpekur menyesali nasib yang tak berpihak padaku dan membuatku selamanya menggantung harapku setinggi Bulan yang kini telah hilang ditelan gerhana untuk selamanya. Bulan yang akan senantiasa indah dipandanganku, senantiasa mendapat tempat di hatiku. Seperti Bumi yang memilih Bulan sebagai satelitnya meski galaksi bukan di Bimasakti. [Ayu Usada, Pecinta Sastra, Mahasiswa KPI, Dakwah UIN Suka]