Nama Sunan Kalijaga yang disandang UIN Yogyakarta sudah selayaknya dihayati dan dijadikan jati diri orang-orang di dalamnya. Perlu mengilhami ajarannya ke dalam desain kurikulum dan tidak sekedar menjadi “merek dagang” untuk menarik mahasiswa.
Hal tersebut disampaikan dalam Orasi Kebudayaan yang dilaksakan oleh UKM Kordiska UIN Suka (24/9/2012) dalam Kalijaga Creative Festifal yang menghadirkan Jadul Maula sebagai pembicara dengan tajuk “Kalijaga Sang Inspirasi”. Acara yang dimulai pukul 20.00 WIB dengan bertempat di depan halaman Poliklinik UIN Suka ini diawali dengan mendoakan Sunan Kalijaga. “Adanya anggapan bahwa Kalijaga bukan tokoh historis terbukti dengan tidak dimuat sejarahnya di ensiklopedi. Di UIN pun juga aneh, memprihatinkan ketika kurikulumnya tidak membahas kekalijagaan dan wacana lokalitas. Padahal fakta masjid Demak, kerajaan Mataram itu warisan Kalijaga,” ungkap sosok pria yang akrab disapa Kang Jadul ini.
Raden Joko Said atau Sunan Kalijaga lahir di Tuban, anak dari Wilatikta Bupati Tuban, masih keturunan Syaidina Abas tokoh sentral tentang perubahan penting di Tanah Jawa. Mulai zaman Majapahit, Demak, Pajang sampai era Mataram menjadi dasar nusantara, dengan pondasi kebudayaan yang tertanam.
Sejarah tentang Kalijaga muncul sejak ia menjaga tongkat Sunan Bonang ditepi sungai. Kalijaga berarti menjaga kali, dan kali disimbolkan dengan x, maka kalijaga diartikan juga menjaga x yang bermakna pendidikan karakter. Kita diajarkan tentang bagaimana mengenal diri sendiri dan mengenal Tuhan. Hal ini dinyatakan ada 10 unsur dalam diri yang tersirat di sebuah lagu ilir-Ilir yang diciptakan Kalijaga: bangunkan kesadaran mudamu tumbuhkan tunasnya seperti penganten baru yang menjaga lima unsur yang kelihatan dan lima unsur yang tak terlihat. Kelihatan seperti panca indra, pernafasan, pendengaran, penglihatan, pengucap dan peraba. sedangkan lima yang terlihat seperti nafas, pikiran, rasa, keseimbangan, dan ruh. Sepuluh unsur harus dikendalikan, dikenali, dan dikelola agar bisa menjadi pribadi integritas yang memiliki ucapan dan tindakan berkualitas.
“Profesor dari Prancis mengatakan bukan bangsa barat yang membawa modernitas. Barat Cuma membawa senjata dengan motif kekayaan alam,” tambahnya. Marcopolo mencatat sejarah masyarakat nusantara masih bar-bar pada abad ke-13. Namun, pada saat negara barat ekspansi ke nusantara pada abad ke-15, nusantara telah menjadi kesultanan Islam, telah maju secara peradaban dan mengenal konsep tentang manusia, individu, dan adat-istiadat. menurut Kang Jadul, itu semua tidak terlepas dari peran para wali songo yang bekerja sama menyebarkan Islam dan berusaha keras membangun jati diri masyarakat.
Pada tahun 1511 Malaka dijajah Bangsa Portugis, para wali memiliki dua strategi yaitu perang militer dan kebudayaan. Perang militer yang langsung dipimpin oleh Adipati Unus, awalnya armada perang Portugis kocar-kacir. Namun strategi penjajah devi de et impera mampu mengalahkan hingga nusantara takluk olehnya. Sedangkan strategi kebudayaan yang dilakukan para wali masih tidak terkalahkan sehingga nusantara masih mengenal kebudayaanya seperti Jawa, Minang, Aceh, dan lain sebagainya. “Efektif sekali strategi kebudayaan yang dilakukan oleh para wali sehingga kita tidak seperti Bangsa Indian di Amerika dan Aborijin di Australia yang termarjinalkan oleh bangsa kulit putih anglo saxon,” ujar Kang Jadul.
“Harusnya Kurikulum UIN mengungkap kekalijagaan, mulai dari sosoknya, sejarah, dan ajarannya yang terimplikasikan lewat mata kuliah yang diajarkan mahasiswa, bukan cuma memakai nama Sunan Kalijaga sebagai brand atau lebel yang nantinya menciptakan local wisdom,” tambah Jadul.
“Sebenarnya orasi budaya mengundang pembicara dari pihak universitas untuk menjelaskan motif kalijaga yang tidak disertakan dalam kurikulum universitas hanya menjadi label universitas namun pihak universitas tidak datang,” kata Awan ketua UKM Kordiska UIN Suka. (Muhaimin)