Suprihatin, sesosok perempuan yang ramah dan dengan tangan terbuka menyambut kami saat mengunjungi kantornya di desa Purwodadi. Ia menjabat sejak tahun 1996 dan tanpa lelah mengabdikan diri selama 18 tahun sebagai kepala desa yang dipilih langsung dengan pilihan rakyat. Perkembangan desa Purwodadi terus melaju dengan pesat, untuk pemilihan masa kerja yang ke-2, ada 2 dukuh perempuan dari 19 pedukuhan yaitu dusun jimatan dan dusun brongkol. Ia mendorong perempuan untuk terus berkarya dan memajukan masyarakat, ia tak hanya berteori tetapi langsung mengdorong perempuan untuk maju. Para bapak dan ibu disini saling bekerja sama untuk memajukan desa dan meningkatkan kesejahteraan.
Hampir seluruh masyarakat Purwodadi baik laki-laki ataupun perempuan ini bekerja sebagai petani, bahkan PNS pun ikut bekerja sebagai petani. Â Baik pertanian padi, jagung dan ubi ini sebagai penyangga kehidupan warganya. Hanya kadangkala saja jika kemarau berjalan panjang dan ladang-ladang mongering para bapak pergi ke kota sebagai buruh untuk mengurangi beban kerja sehingga kehidupan terus berjalan. Berikut adalah petikan wawancara dengan suprihatin, kepala desa Purwodadi.
Bagaimana peran perempuan dalam pertanian di desa Purwodadi?
ibu-ibu yang sudah tua setelah masak di dapur ini baru pergi ke tegalan (ladang-red) bekerja dengan para bapak, meski yang pokok bekerja adalah laki-laki. Selain itu dalam upaya meningkatkan taraf hidup di sini tak bisa hanya mengandalkan pertanian tadah hujan, maka para ibu ini punya usaha tak hanya mengandalkan pertanian, yaitu menjual hasil pertanian atau membuka warung.
Bagaimana peran pemerintah desa untuk meningkatkan pertanian?
Di desa Purwodadi ini ada beberapa perangkat dibidang pertanian, ada PPL (pegawai penyuluh pertanian), gapoktan (gabungan kelompok pertanian), selain itu ada sekolah lapang di masing –masing dusun. System pertanian pun semakin maju karena petani sudah tidak lagi monoton termasuk dalam pengolahannya. Karena tanah gunung kidul termasuk daerah kering dengan batu kapur, maka petani menanam dengan system tumpang sari dimana dalam satu ladang ada padi, jagung, ketela, kalau sebentar lagi ini akan menanam padi untuk lemah (tanah-red) yang banyak airnya. lemah ringan untuk tanah kemarau ya kedelai ato kacang, terakir kita panen gaplek kira2 bulan agustus ini panen raya gaplek, trus tanah kosong karehna musim kemarau dan ini di pupuk kandang – ketika sudah kering di bawa ka tegal dan di bajak / istilahnya d luku. Tanah itu kosong ya ada sebulan akan hujan, baru awu-awu keadaan panas, padi di tebar duluan karena ga mungkin akan hujan. Besok hujan tinggal tumbuh, setelah tumbuh baru nanam jagung, katela. Jadi dlm musim kosong tanah 4-5 bulan. Pertanian disini memakai pupuk organi dan kimia seperti urea.
Babagimana sejarah pertanian di zaman Pak Soeharto?
Petani dulu menanam padi local yaitu padi jowo untuk meningkatkan hasil petani. Pada zaman pak harto petani di beri bibit padi untuk mencoba tanah kering ternyata sukses, diberi cuma-cuma karena pak harto tau tanah kering di sini. Awalnya waktu itu warga masih menanam padi lokal kemudian ada serangan wereng dan beberapa tahun petani gagal sekitar 2-3 tahun dengan bantuan benih itu berhasil dan  masyarakat semangat dan berhasil.
Bagaimana perkembangan pertanian pasca soharto?
Sampai sekarang petani jarang memakai padi lokal karena hasilnya lebih meningkat dengan benih yang pemerintah beri dengan bantuan dinas pertanian. Masyarakat it sudah seneng kl makan murah. Pertama masyarakat ragu-ragu, trus ga semua menanam tapi tahu dr tetangganya itu kepengin, kemudian padi local tergeser karena di anggap sudah tak tahan hama. Dulu awalnya ga ada wereng, dulu adanya uret dan tikus, tapi tak tahu juga tb2 tahun it ada wereng maka dig anti it. Wereng it ada sekitar tahun 90-an. Dan masyarakat menganggap wereng ik penyakit dari kota, dan habis it padi. Masyarakat kami biasa It d makan 1 tahun, tak smua di jual hanya untuk makan dan sehari2. Ga ada yang menjual gabah, tapi simpan. Kl di arani belum tentu panen, kuning2 80 % maka yg di rumah d giling dan di simpan dan d jual. Jagung, padi, gaplek it untuk makanan sehari-hari dan masyarakat in punya simpenan.
Masyarakat ini punya lumbung untuk menjaga ketahanan pangan. Tegalan di Tanami ubi-ubian untuk persedianaan makanan dalam jangka panjang. Untuk kemarau panjang ini baru diambil, selain itu jika berasnya tinggal sedikit masyarakat memilih menjual ternaknya untuk membeli beras yang dikonsumsi. Sebenarnya saat dulu orang sini banyak menyimpan gaplek, Kalau sekarang tidak banyak yang punya gaplek. Gaplek ini untuk persediaan bulan Juni sampai November karena saat ini musim kering.
Sekarang program pertanian dari pemerintah seperti apa?
Program pertanian ini tiap tahun ada. Kalau tahun ini petani mencoba menanam ciherang, tapi ada juga yang menanam padi ‘64. Masyarakat di beri cuma-cuma, kalau pupuk beli dari kelompok. Selain itu kerja penyuluhan disini seperti member tahu jarak menanam dan menghalau hama. Bantuan jagung dari pemerintah ini juga membantu, namun jika tak ada bantuan maka masyarakat membeli.
Bagaimana dengan teknologi untuk pertanian?
Saat ini ada traktor untuk membalik tanah, tapi karena lokasi tegalan, masyarakat tak biasa dan traktor ini beda dengan bajak. Taktor ini ga membalik tanahnya, ternyata loncat-loncat bajaknya. Rumputnya juga ndak mati. Kalau menggunakan traktor in akibatnyai rumputnya tumbuh banyak dan ga bisa napis. Yang kemarin malah saya membutuhkan 80 orang utun mencabuti rumput, malah orang lain dusun karena pake traktor waktu itu. Kebanyak di sini punya tanah sendiri, tapi ada yang sewa, tapi punya tanah sendiri. Kalau di sini banyak bapak-bapak ini kerjanya pagi-pagi dan ibu-ibu yang ngirim ke sawah dan ibu-ibu ini ikut di sawah, menanam karena yang telaten ini ibu-ibu.
Kearifan lokal seperti apa yang ada dalam pertanian di daerah ibu ini?
Padi jowo ini disimpan dengan tangkainya, supaya tidak kekurangan tak seperti d kota yang padinya dijual. Orang sini eman-eman, kalau orang dulu berpesan ‘jo nganti nyuwungke lumbung’ (jangan sampai membiarkan lumbung kosong-red). Kalau ketela pendem, gembili ini di ambil jika sudah kehabisan makanan.
Selain itu untuk cara menanamnya ada prosesi-prosesinya. seperti saat padi meteng (hamil-red), Selapan/35 hari padi sudah didandani karena menurut orang jawa itu mbok sri sudah dandan ini di kirim bedak dan air dari kendi di taruh di bawah padi, air kendi di taruh daun talas di taruh pinggiran padi di beberapa tempat. Orang yang mengirim memakai jarit dan topi.
Ketika mau di panen maka di wiwiti (dimulai-red) padinya di potong beberapa di tali yang di taruh di beberapa bagian rumah, begitu juga dengan jagung. Selain itu saat menabur diberi  kunir, kemiri yang masih berkulit, bawang putih dan bawang merah—ini namanya labuhan, biar tidak ada hama.
Kalau mau memetik memakai topi dengan membawa nasi sekepal yang digiling kecil. Jika sudah dipetik, di tumpuk di taruh diatas kayu di atasnya di beri kaca. Kata orang tua biar tidak diambil tuyul atau setan dan diberi jarit atau kain di kemulke dan di beri labu untuk medeni tuyul.
Setelah panen ini membawa gorengan jagung , kacang, buah hasil masyarakat dan kenduri di petilasan sunan kalijogo, daerah gunung batur yang disana besar-besar kayunya. Ini sebagai ungkapan syukur atas kenikmatan yang diberikan. Bersih gunung batur, jadi ilmu titennya petani. Jadi jika Suwengnya ini ada lumutnya ini di sebelah mana ini kan melambangkan kesuburan. Ini selalu di bersihkan pake air dari tujuh sumber dengan daun yang khusus. Misalnya lumutnya di sebelah selatan maka yang makmur sebelah selatan. [Ulfatun Ni’mah]