Home SASTRACERPEN Sebuah Parodi

Sebuah Parodi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Cerpen Andhy Kh

Semakin teriakan keras terdengar, memekakkan telinga, semakin keras, semakin keras! Suara-suara tak jelas arahnya, bising mesin-mesin kendaraan, gejolak kehidupan, dan kegilaan zaman. Tak jelas arahnya, tak tentu kadarnya, segalanya terbingkai sedemikian rupa, orang lupa pada dirinya, orang lupa pada kesejatian, kebenaran dicari-cari seakan-akan tersembunyi di balik palung paling sunyi, keadilan ditegakkan seperti sedang roboh entah sebab apa, orang-orang tak tahu cara untuk hidup dengan kebahagiaan, dengan kedamaian, dengan kesejahteraan! Hidup keadilan! Hidup kedamaian! Hidup kesejahteraan! Hidup kebahagiaan! Hidup kebenaran!

Siang itu, seorang perempuan sedang duduk di sebuah kedai tak jauh dari pertigaan jalan tempat segerombolan mahasiswa yang tampak khusyuk melakukan demo menuntut keadilan, kejernihan seorang pemimpin negara, kebijaksanaan pemimpin negara terhadap rakyat yang mengangkatnya, seakan tak ada lagi hal-hal yang diperbuatnya menyentuh keadilan dan kebenaran untuk kebahagiaan serta kesejahteraan rakyatnya. Dia duduk bersama seorang lelaki, mungkin kekasihnya, yang baru saja jatuh cinta padanya, serta baru saja menyatakan cintanya di kedai itu, duduk-duduk sambil menyimak suasana udara di sekitarnya dengan gejolak suara-suara gegap gempita mahasiswa yang melakukan demo terhadap pemimpin negaranya, meskipun sebenarnya entah kepada siapa, sebab kuping pemimpin negara telah begitu tuli, sangat tuli, pun matanya buta, sangat buta, sehingga tak lagi dapat membaca mana dirinya yang asli, mana dirinya yang palsu, mana kebenaran mana kebatilan, mana keadilan mana ketimpangan sosial.

“Hidup negara! Matilah yang busuk pemimpinnya. Hidup rakyat! Matilah yang busuk pemeritahnya! Hidup mahasiswa! Hidup…!” teriak pemimpin demo.

“Negara yang baik berada di tangan pemimpin yang baik! Tapi, lihatlah pemimpin negara ini yang tak tahu diri, yang hanya tahu bagaimana makan sendiri, sedang rakyat menderita lapar tak berkesudahan! Lihatlah tangan-tangan panjang semakin merajalela dibiarkan begitu saja. Di mana kebenaran, di mana keadilan, di mana kesejahteraan yang mereka janjikan! Politik busuk, janji busuk, janji busuk…!”

“Tingkatkan korupsi di saku sendiri! Tingkatkan! Tapi tidak di saku rakyat! Rakyat telah lama melarat, jangan ambil saku darinya! Jangan kau jadikan alat untuk membayar pajak kalau untuk dicatut sendiri! Pemimpin-pemimpin tak punya nurani!”

“Negara ini terbakar bukan oleh siapa, selain pemimpinnya sendiri, orang-orang parlemen yang busuk, membusuklah, membusuklah, terbakarlah api yang kausulut pada gairah nafsumu! Melenyaplah, lenyaplah, lenyaplah di sini!”

Mereka lebih mirip tengah bermonolog naskah daripada sedang berdemo, tapi itulah demo yang sesungguhnya, barangkali sebagai demo yang baik, demo yang ada di kalangan para manusia yang punya hati dan nurani, sebab itulah yang membedakan dirinya dengan hewan. Keterasingan! Kesunyian! Orang-orang dininabobokan zaman, ideologi ‘zona nyaman’, telah hilang perpaduan akal dan hati dalam kesempurnaan. Di mana lagi manusia yang tahu diri dan berpegang teguh pada kebenaran? Kebenaran yang tersaput debu-debu, tertimbun kebusukan-kebusukan sampah peradaban masa sekarang!

Perempuan dan lelaki itu duduk saling berhadapan. Baru saja sebulan yang lalu, si lelaki melihat perempuan di depannya, muncul rasa cinta kasih sayang padanya, cinta pandangan pertama. Selama sebulan itulah hatinya dibakar api kerinduan, cinta kasih sayang hendak melahirkan bayi kebenaran bahwa sepasang cinta harus menyatu adanya, dan kebenaran cintanya mesti ditegakkan seperti kebenaran dunia secara universal.

Dan lelaki itu baru saja menyatakan cinta padanya. Kata-kata yang disampaikannya lebih halus daripada suara keadilan dan kebenaran yang diteriakkan para pendemo di jalan raya itu. Perasaannya benar-benar dicurahkan dengan lembut, seperti angin, seperti hembusan napasnya yang bertiup perlahan, seperti diangkatnya sehelai rambut dari air menggenang, begitu halus, hingga seakan tak ada lagi yang lebih halus selainnya. Dan para pendemo itu memadati jalan-jalan, selalu, dan selalu meneriakkan adanya keadilan, dihapuskannya penindasan dan menginginkannya sebuah kebijaksanaan besar untuk rakyatnya, memperjuangkan segala hal untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat! Seakan-akan sama baginya, kesejahteraan rakyat adalah segalanya baginya. Seperti cinta dan perasaan perempuan di depannya, bagi si lelaki adalah segala di atas segala-galanya, hingga dia pun bersikukuh untuk memperjuangkannya.

Mulanya, dia memang malu untuk menyatakan cintanya. Namun, hari itu tak lagi tidak! Dalam hatinya begitu berkobar-kobar, menyala-nyala sempurna, dan tak ada lagi yang perlu diperjuangkan selain cinta itu padanya! Seperti yang diperjuangkan para pendemo di jalan-jalan raya di bawah teriknya pancaran Sang Surya.

“Tak ada yang lebih menggairahkan dalam hidupku, sejak pertama kali aku melihatmu. Ada hatiku terbakar api tak henti-henti untuk menyuarakan nafasku padamu. Sebuah kebenaran bahwa cinta itu harus ditegakkan! Sepasang cinta yang sama dan senada harus bersatu padu. Dan cinta itu, hanyalah kamu. Aku mencintaimu, sayang.”

Begitu yang diucapkan lelaki itu padanya. Perempuan di hadapannya, menundukkan pandangannya, mungkin merasa malu dengan dirinya, ataukah ia malu dengan seorang lelaki yang telah menyatakan cintanya?

Seorang presiden, seorang pemimpin negara, seorang pejabat pemerintahan, akankah juga malu dengan dirinya, seperti perempuan itu, ketika baru saja si lelaki menyatakan cintanya? Di mana, lihatlah di jalan-jalan raya, para pemuda, mahasiswa-mahasiswa dengan begitu menggebu-gebunya menyatakan cintanya terhadap kebenaran, keadilan, untuk rakyatnya, untuk manusia, untuk dunia!

Perempuan itu tidak buta, dan akhirnya setelah beberapa menit berlalu, dia hanya diam, seakan-akan mencerna setiap kata-kata yang disimaknya. Namun, perempuan itu tak juga bicara. Dan si lelaki terus saja tanpa penuh canggung, mengajaknya berbicara.

“Makanlah,” ajak lelaki, setelah dipesannya dua porsi nasi beserta lauk-pauknya didampingi segelas es jeruk yang dingin dan menyegarkan.

“Ya,” jawab si perempuan dengan lirihnya.

Barangkali kata-kata itulah yang akan hanya didengar si lelaki hari itu, tapi percayalah, kata-kata itu akan berkembang nantinya, dan tentunya lebih kepada bertemunya sepasang cinta yang bersayap sama dalam nada yang sama pula.

Segala diperlakukan si lelaki untuknya, berhari-hari hingga saat itu, hari itu, seorang polisi waktu menjadi saksi atas pernyataan cintanya. Dan hari itu pula, puluhan polisi berdiri di tepi jalan raya, menjadi saksi atas pernyataan para mahasiswa terhadap diri para keadilan di negaranya yang harus dan terus diperjuangkannya.

 

Yogyakarta, 10 Desember 2012