Home - Mencari Solusi Konflik TNI-POLRI

Mencari Solusi Konflik TNI-POLRI

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Menyikapi maraknya pemberitaan diberbagai media tentang konflik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisi Republik Indonesia (POLRI) di Sumatera Selatan (7/03/2013), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka)  Yogyakarta menyelenggarakan Diskusi Publik dengan tajuk Konflik TNI-POLRI: Upaya Mencari Akar dan Solusi Konflik, di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga pada Kamis, (21/3), kemarin.

Berdasarkan keterangan Muchtar, Koordinator Komisariat HMI UIN Suka, kegiatan tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan HMI terhadap konflik TNI-POLRI yang berdampak pada kepercayaan publik terhadap mereka. “Kami berharap akan adanya solusi sehingga konflik terselesaikan dan kepercayaan masyarakat terhadap TNI dan POLRI kembali pulih,” ujarnya.

Hadir dalam diskusi publik sebagai pembicara, Syamsudin Nursaha, Praktisi Hukum dan Zully Qodir, Sosiolog UGM.

Syamsudin mengatakan konflik terbaru antara TNI dan POLRI merupakan sebagian kecil dari banyaknya kasus kekerasan di Indonesia. Ia mendasarkan pada data Kementrian Dalam Negeri yang memaparakan setidaknya pada 2012 tercatat terjadi 128 aksi kekerasan.

Selain itu berdasarkan data Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan menunjukkan kekerasan yang melibatkan aparat TNI dan Polri mencapai 657 kasus sepanjang 2011. Ia berasumsi bahwa kekerasan seolah sudah menjadi budaya. “Kekerasan telah berproses dari kebiasaan menjadi budaya,” tutur Syamsudin..

Lelaki yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta tersebut berpendapat bahwa problem struktural sebagai akar kekerasan di Indonesia. Struktur yang menciptakan kesenjangan sosial dimasyarakat menyebabkan ketidakadilan sosial. Sebagai solusi ia menawarkan perlunya dorongan kepada Negara untuk menciptakan keadilan sosial yang meliputi kesejahteraan ekonomi semua kalangan, budaya partisipatif masyarakat dan terjaminnya demokrasi dalam politik. Selain itu, diperlukan juga penegakan hukum yang tegas terhadap  para pelaku kekerasan supaya ada rasa jera terhadap mereka.

Sedangkan Zully Qodir memaparkan bahwa setidaknya secara konkrit ada empat hal yang menjadi akar konflik TNI-POLRI. Pertama, adanya kesenjangan ekonomi antara TNI dan POLRI. Kesenjangan ekonomi tersebut lantaran alokasi dana untuk kesejahteraan POLRI dan TNI yang berbeda, sehingga menyebabkan kecemburuan sosial antar kesatuan.

Kedua, kultur elitisme TNI dan POLRI yaitu adanya penanaman pikiran dalam diri mereka bahwa mereka lebih hebat dari masyarakat sipil. Hal tersebut menyebabkan adanya rasa egois dan jumawa dalam diri mereka.

Ketiga, kewenangan antara TNI dan POLRI yang tumpang tindih. Sedangkan keempat, adanya ketimpangan gender dalam kesatuan. “Untuk menggantikan kegarangan dan kegagahan polisi di mata masyarakat, selama ini para polisi wanita sering ditempatkan sebagai polisi lalu lintas, termasuk yang sering nongol di media televisi,” tuturnya.

Berdasarkan hal tersebut Zully mengajukan solusi pendekatan kultural daripada struktural. Pendekatan secara kultural dirasa lebih ampuh karena sebagian besar memang problemnya di ranah kultur.

Acara yang didukung oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, mendapat respon positif dari para peserta, meski jumlah peserta diskusi kurang maksimal. Terbukti dari banyaknya peserta yang banyak mengajukan beberapa komentar dan pertanyaan.

Wildan, mahasiswa Fakultas Adab dan Ilmu Budaya cukup mengapresiasi positif presentari para pemateri. Menurutnya para pembicara cukup kompeten sehingga diskusi terasa menarik.

Berbeda dengan Wildan, Dilla justru merasa tidak puas dengan diskusi tersebut. Mahasiswi Aqidah & Filsafat ini menilai solusi yang ditawarkan oleh para pembicara kurang mengena jika dikaitkan pada peran mahasiswa. “Secara konkrit, kita sebagai mahasiswa masih belum tau harus ngapain. Solusinya hanya diarahkan pada pemerintah maupun TNI dan POLRI sendiri,” Sanggahnya. [Muhammad Arif Setiawan].

Editor: Taufiqurrahman