“Dengan Nasionalisme yang ditopang dengan agama, Iran mampu bertahan di tengah-tengah tekanan yang dilancarkan oleh Barat”
Menurut Survey Royal Society of United Kingdom dan Matrix of Canada, rating kemajuan ilmu pengetahuan Iran selama kurun 34 tahun terakhir pasca revolusi Islam mencapai peringkat 16 dunia. Hal tersebut merupakaan prestasi yang gemilang bagi Iran ditengah tekanan negara-negara luar.
Begitulah paparan Furqon Hidayat dalam International Dialogue “Menakar Nasionalisme: Perbandingan Praktek Penyelenggaraan Negara Antara Indonesia dan Iran” Minggu, (24/03), kemarin. Acara yang berlangsung di Kampus Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Yogyakarata tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Iqtishady dan organisasi Lingkar Nusantara.
Menurut Furqon, ada kesamaan antara Revolusi Islam Iran dengan berbagai gerakan revolusi di Eropa. Kesamaan tersebut ialah kenyataan bahwa gerakan revolusi keduanya sama-sama ditopang oleh background intelektual terutama filsafat. “Ada benang merah antara Renaisance Prancis, Aufklarung Jerman dan Revolusi Industri Inggris dengan Revolusi Islam di Iran, yaitu kesemuanya dilatarbelakangi oleh gerakan intelektual terutama filsafat,” tuturnya.
Background intelektual tersebut yang didukung semangat agama membentuk rakyat Iran bangga dengan jati diri mereka sebagai sebuah bangsa yang berdaulat.
Berkaca dari sikap Iran yang tidak sudi tunduk terhadap embargo asing atas pengayaan uranium, Peneliti IHSAN dan Jurnalis Teheran, Iran ini berpendapat bahwa itu mencerminkan keyakinan rakyat Iran atas kemampuan bangsanya. Keyakinan mereka pun terjawab dengan tekanan asing yang mulai melemah terhadap mereka. “Mereka (bangsa Iran, red) berpendapat dengan kita tidak mau tunduk, justru mereka yang akan tunduk atau mundur,” ujar lulusan Al-Musthafa International University tersebut.
Furqon menambahkan Indonesia bisa jauh lebih sukses dari Iran karena memiliki wilayah yang luas dan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah. Namun karena keberanian dan kepercayaan diri bangsa Indonesia yang kurang, maka kita tak berdaya berhadapan dengan tekanan luar. Hasilnya, SDA Indonesia tidak bisa menjadikan rakyat kita sejahtera, bahkan justru dieksploitasi oleh corporate asing. Ia mencontohkan kasus PT. Freeport yang kontrak kerjanaya dinilai sangat merugikan Negara Indonesia.
Berangkat dari keberhasilan Iran, Harianto selaku pembicara kedua berasumsi bahwa Indonesia bisa berkaca dari semangat dan mental bangsa Iran. Indonesia dinilai memiliki mental tempe. “Fungsi tempe itu bukan untuk tempenya, jadi tempe itu jelek, tapi fungsinya bagus bagi yang memakannya. Begitulah Indonesia yang fungsinya tidak jauh dari tempe yaitu membuat bangsa lain menjadi besar namun bangsa sendiri tetap kecil,” ungkap Direktur Lingkar Nusantara dan Sekjen Nahdhlatul Muhammadiyin. [Muhammad Arif Setiawan]
Editor: Taufiqurrahman