Jelang adzan Ashar, beberapa pegiat kesenian dari Sanggar Nun dan Teater Eska sedang meluangkan waktu untuk beristirahat di selasar Teatrikal Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran UIN Suka, Minggu (24/03) silam. Sejenak melepas kesibukan dari proses ke-teater-an yang tengah dijalani.
“Beribicara panggung adalah memaknai panggung pementasan. Dan pentas itu bonus,” tandas Ilham lurah Sanggar Nun saat ditemui ARENA ditengah-tengah istirahatnya. Sambil menghisap sebatang rokok, ia menambahkan bahwa pementasan sesungguhnya terjadi selama kita menggeluti proses, agar terjaga seperti apa yang akan dibentuk.
Ilham memaparkan bahwa panggung merupakan sesuatu hal yang sakral, mengajarkan banyak hal. Kita dihadapkan pada sesuatu hal yang berbeda, namun tidak boleh termakan oleh peran. Di atas panggung kita melihat dunia yang kompleks dan mengajarkan bagaimana menghadapinya.
Senada dengan Ilham, Suryadin Abdullah dari Teater Eska mengungkapkan pementasan panggung hanyalah hadiah kecil dari sebuah proses panjang yang selama ini dilakoni seorang teater.
Panggung pementasan bisa menjadi media informasi yang menyuguhkan ruang gerak untuk berekspresi dihadapan penonton. Suguhan bersifat terbuka tanpa ada interfensi dari layangan konsep produksi. Hal tersebut membuat posisi penonton bukan hanya sebagai penikmat, konsumtor melainkan sebagai penilai. “Massa yang melibatkan diri sebagai penonton mempunyai kehendak bebas untuk menemukan sendiri maksud dari suatu konsep yang dipentaskan”, ungkap Abdullah.
Oleh karena itu, panggung pementasan bukanlah sebagai pelepasan dari segala proses yang selama ini dijalani. Misalnya, melepas tekanan dan tuntutan para penonton agar dapat tampil maksimal, melainkan merupakan awal untuk berproses kembali. “Hidup adalah proses,” ungkap Oong Seng dari Teater Eska. [Sabiq Ghidaflan]
Editor: Taufiqurrahman