Selama ini R.A Kartini menjadi icon dalam permasalahan gender di Indonesia. Pertama, karena adanya dokumentasi yang sistematis. Kedua, gerakan emansipasi yang berkesinambungan. Ketiga, keputusan politik (hegemoni budaya jawa, red) yang menguntungkan orang-orang tertentu.
Hal ini disampaikan oleh Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ketua Bidang HAM pada organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan mantan ketua Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Suka, pada seminar Islam, Gender, dan Ke-Indonesiaan yang di adakan PSW di gudung Rektorat lama lantai 2 UIN Suka, Rabu (24/04), kemarin.
Alimatul Qibtiyah, ketua PSW mengatakan acara seminar ini rencananya akan diadakan setiap bulan secara berkelanjutan selama setahun guna menggali pemikiran akademi kampus dari yang setuju dan tidak setuju dengan adanya gerakan feminisme. “Pematerinya sendiri masih berasal dari anggota PSW sendiri tapi nantinya kita akan mengundang pemateri dari luar seperti Amin Abdullah,” ungkapnya
Dalam wacana gender di Indonesia, Widya, mahasiswi jurusan Manajemen Dakwah UIN Suka menilai seharusnya dalam setiap peringatan Hari Kartini tidak hanya diidentikkan dengan kebaya, karena kebaya sebenarnya menggambarkan lemahnya perempuan. “Akan lebih relevan apabila diperingati dengan membuka kembali sejarah perjuangan Kartini”, ujar mahasiwi semester empat ini. [Anissatul Ummah]
Editor: Taufiqurrahman