Home T E R K I N I Peniadaan PR III, Status Mahasiswa Bidikmisi UIN Suka Terancam

Peniadaan PR III, Status Mahasiswa Bidikmisi UIN Suka Terancam

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

 

Setelah terdengar kabar perampingan struktur jabatan ditubuh rektorat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni posisi Pembantu Rektor (PR) III dan PR IV yang ditiadakan, status mahasiswa Bidikmisi UIN Suka terancam. Hal ini disebabkan posisi  PR III yang awalnya khusus menangani bidang kemahasiswaan kini dihapuskan.

Padahal sejak munculnya program Bidikmisi, PR III merupakan ‘Bapak’ dari mahasiswa penerima Bidikmisi di UIN Suka. Berubahnya posisi jabatan pada Selasa (23/4) lalu yang disertai dengan pelantikan Wakil Rektor (WR) I dan II, secara jelas menyebabkan mahasiswa penerima Bidikmisi UIN Suka kehilangan Bapaknya.

Secara struktural, barangkali perampingan jabatan tidak begitu bermasalah bagi mahasiswa pada umumnya. Hal yang terpenting  bagi WR I yang mula-mula hanya menangani bidang akademik kini merangkap menangani bidang kemahasiswaan adalah dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Namun, berbeda dengan mahasiswa Bidikmisi. Ketika menghubungi mantan PR III, Beliau angkat tangan terhadap mahasiswa bidikmisi setelah pelepasan jabatan tersebut.

Sementara itu, WR I pun mengatakan tidak sanggup mengasuh mahasiswa bidikmisi yang berjumlah sekitar 250 mahasiswa di tengah jabatan rangkap yang diterimanya.

Beriringan dengan hal itu, kondisi mahasiswa Bidikmisi sejak 2013 ini telah mengalami banyak problematika. Beasiswa yang menjadi program pemerintah di bawah naungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) selama 8 semester ini ternyata dipindah tangankan kepada Kementrian Agama (Kemenag).

Terkait hal itu, belum ada kejelasan secara pasti penyebabnya. Bahkan, beasiswanya pun belum dapat dicairkan selama 4 bulan terhitung sejak Januari 2013. Dalam kondisi demikian, peran Bapak sebagai orang tua mahasiswa Bidikmisi UIN Suka sangatlah penting. Akan tetapi, faktanya mahasiswa Bidikmisi UIN Suka bukan dibimbing bagaimana mencapai solusi, justru harus diterlantarkan dengan dipenggalnya ‘Bapak’ yang selama ini membantu mengasuhnya.

Lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas keadaan yang mereka alami?. Selayaknya Rektor mampu mempertimbangkan hal tersebut, atau paling tidak mengganti “bapak asuh” untuk membimbing mahasiswa Bidikmisi yang telah berumur  6 semester (pada angkatan pertamanya).

Namun apabila yang terjadi kemudian Rektor tak mau turun tangan, maka UIN Suka akan turut mencetak sejarah kelam di bidang pendidikan dan sosial atas penelantaran Mahasiswa Bidikmisi yang menimba ilmu di kampusnya. [el-Qie, Mahasiswa UIN Suka, Penerima Bidik Misi 2010*],

*Data Diri Penulis Ada di Redaksi