Home OPINI Demokrasi yang Telah Layu

Demokrasi yang Telah Layu

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh : Nur Aris Shoim*)

Genderang pesta demokrasi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga sudah berjalan. Walapun sudah bergeming sejak bulan oktober, dengan adanya surat dari rektorat untuk menghentikan kegiatan DEMA. Selain tugas pembentukan tim penyeleksi pembentukan KPUM dan tim perumusan MKM itu sendiri. Mulai dari sinilah awal dari pesta demokrasi yang diagung-agungkan oleh mahasiswa seharusnya bisa dirasakan oleh mahasiwa. Tapi kenyataan yang ada, tim penyeleksi KPUM itu baru bekerja setelah empat sampai lima bulan berikutnya(oktober-maret).

Disini banyak permasalahan yang terjadi, seperti dari proses pengumuman seleksi KPUM yang tidak terlihat pada sudut-sudut kampus. Ternyata beberapa saat setelah penutupan pendaftaran KPUM, baru ditemukan pengumuman yang berada dikantor Dema (kantor Student Center lt.1). Yang tak bisa dijangkau oleh keseluruhan mahasiswa, bahkan mahasiswa yang sering ke SC pun tak pernah menyangka bahwa ada pendaftaran KPUM yang dilaksanakan oleh tim penyeleksi dema. Bahkan pengumuman itu pun baru ditemukan oleh temen-temen pada hari terakhir seleksi KPUM.

Seharusnya pengumuman pendaftaran KPUM itu harus dipasang ditempat-tempat yang strategis, agar setiap mahasiwa itu bisa mendapatkan info secara merata. Ataupun lewat media kampus semisal SUKA TV, Rasida FM, Lembaga Pers Mahasiwa, baik tingkat universitas maupun fakultas. Bahkan bisa melalui media online seperti web universitas yang setiap harinya dikunjungi oleh mahasiswa. Jika ini dilakukan maka akan lebih massif dan merata pengumuman yang bersifat penting tersebut.

Bukan hanya di KPUM-U, KPUM-F juga bermasalah. Dimana dalam undang-undang yang dibentuk oleh SEMA-U dikatakan yang berhak membentuk KPUM-F adalah KPUM-U. Tapi kenyataan yang membentuk KPUM-F adalah tim yang dibentuk oleh BEM-F yang diintruksikan oleh DEMA. Hal ini sudah terjadi kecacatan dalam menjalankan UU. Bukan hanya itu, cara perekrutan dari KPUM-F pun sangat tidak merata dan tidak jelas pengumumanya. Bahkan di Fakultas Syariah sendiri baru dibuka pendaftaran pada bulan awal April, padahal dilain fakultas itu sudah sejak awal maret. Memang sudah bermasalah, dan hal seperti ini terjadi karena ketidakseriusan dalam menjalankan pemilwa. Ditambah dengan ketidaksiapan bagi dema dan tim panitia penyelenggara pemilwa itu sendiri.

Disamping itu untuk menentralisir ketimpangan dalam putusan undang-undang yang dibuat oleh SEMA-U. maka seharusnya pembuatan Mahkamah Konstitusi Mahasiwa (MKM) guna menetralisir kebijakan UU yang tak berbihak pada kalayak umum. Dan  bisa diajukan peninjauan kembali atas undang-undang yang dibuat oleh SEMA-U kepada MKM. Jika hal ini tidak bisa dilakukan maka untuk menanamkan demokrasi dikampus tercinta ini akan menjadi sangat kacau. Yang terjadi hanya kesewenang-wenangan dalam pembuatan UU yang menjadi acuan bersama katanya.

Bahkan bukan hanya itu, untuk Laporan Pertanggung Jawaban(LPJ) DEMA sendiri masih belum jelas. Seharusnya ada transparansi secara menyeluruh ke setiap mahasiwa agar lebih jelas dan transparatif mengenai LPJ tersebut. Bukan hanya surat aja yang menunjukkan tentang agenda kegiatan, tapi juga laporan yang riil baik kegiatatan yang terlaksana maupun tidak terlaksana. Apa saja kendalanya, itu harus dipertanggungjwabkan di depan mahasiswa secara faktual. Selain permasalahan dana yang harus trnsparatrif, digunakan apa aja dana anggaran dema tersebut?

Dalam hal ini seharusnya rektor punya kebijakan yang tegas dalam permasalahan ini. Agar kedepanya pelaksanan pesta demokrasi khususnya dan pemerintahan mahasiswa UIN pada umumnya lebih aspiratif dan tidak ambigu dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang seharusnya tidak patut dikeluarkan. Ataukah memang kepemimpinan rektorat yang bermasalah sebagai bentuk pembiarkan yang mengindikasikan kecondongan pada salah satu golongan semata? Sehingga arus perjalanan demokrasi kampus kita ini menjadi rancau dan tidak stabil.

Memang ini adalah tanggung jawab rektor, tentunya jika rektor tegas dalam menjalankan kebijakanya pasti ketimpangan seperti ini tidak akan terjadi. Dan kita sebagai mahasiswa merasa sangat kecewa atas ketidakjelasan rektorat dalam memutuskan kebijakan, terutama kebijakan dalam hal kemahaiswaan. Contoh saja pada saat temen-temen aliansi partai (Pencerahan, PAS, PAD, dan Proletar) menuntut peninjauan kembali SK rektor tentang KPUM. Karena yang sudah digambarkan diatas bahwa SK KPUM perlu ditinjau kembali, karena dari perekrutanya saja sudah bermasalah? Tapi kenapa rektor sendiri tidak berani melalukan peninjauan kembali SK tersebut?  Bahkan rektor melimpahkan kewenangan tersebut pada Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan(Warek 1). Dan selanjutnya Warek 1 melempar hal tersebut pada reckor, karena dia memang tidak punya wewenang untuk itu.

Ini yang harus menjadi instropeksi kita selanjutnya. Bahkan data-data diatas, sudah direalisasikan lewat dua kali aksi dan sembilan kali audiensi. Tapi walhasil tak ada kebijakan rektor yang berpihak pada aliansi dan kebijakanya besifat ambigu. Apakah ini adalah simbol kebobrokan demokrasi yang ada di UIN Sunan Kalijaga? yang katanya kampus putih, kampus perlawanan. Apakah ini cuma sebuah hisapan jempol semata?

Penulis adalah Ketua DPP Partai Pencerahan