Dari tanggal dimana saya membuat tulisan ini, 9 Mei, PEMILWA UIN Sunan Kalijaga akan dilangsungkan kurang dari 1 bulan lagi. Sedangkan gegap gempita seputar PEMILWA-nya telah sampai ke seluruh indera saya sejak dua bulan yang lalu.
Para elit politik kampus tanpak mulai bersiap, mulai dari persiapan fisik hingga mental, mulai dari persiapan individu hingga komunal. Beberapa aktivis yang biasa berpenampilan nyentrik ; rambut gondrong, celana sobek sana-sini, kaos lengan pendek kumal –kalau mau ditambahkan, tanpak beberapa hari tak menyentuh air, seakan disentuh tongkat ajaib tukang sihir, tiba-tiba berubah menjadi necis, klimis, dan dengan potongan rambut yang begitu rapinya. Demi memperoleh simpati dan meraup banyak dukungan untuk diri dan komunitasnya nanti di PEMILWA.
Seakan terjaga dari tidurnya, beberapa organisasi pun tiba-tiba melakukan pembicaraan serius siapa kader mereka yang akan dicalonkan, membanding-bandingkan, mempertimbangkan bagaimana jika si A, si B, si C dan seterusnya yang mereka usung. Bagaimana pula dampaknya terhadap masa depan partai, organisasi yang mengkadernya dan –mungkin juga- UIN Sunan Kalijaga serta elemen-elemennya sebagai singgasana yang akan mereka duduki, dan seterusnya.
Pengayoman terhadap kaderpun mulai digalakkan. Senior yang begitu pendiam, cuek dan tidak terlalu memperhatikan kadernya, tiba-tiba begitu murah senyum, perhatian, dan baik hati –serta bahkan sering ngegombali yang dampaknya tidak sedikit kader mereka yang terjerat cinta ‘semusim’ (PEMILWA). Demi memperoleh simpati dan meraup banyak dukungan untuk diri dan komunitasnya nanti di PEMILWA.
Proses dan usaha untuk mengumpulkan KHS sebanyak-banyaknya sebagai syarat ferifikasi partai juga bisa disoroti di sini. Dalam pengumpulan KHS, pihak partai ternyata menerapkan asas tidak pandang bulu. Mereka mengumpulkan KHS sebanyak-banyaknya tanpa peduli apakah itu milik kader/simpatisan mereka atau bukan ? Apakah pemiliknya menyerahkan KHS-nya dengan penuh kesadaran atau tidak ? Bahkan di sebuah majalah dinding salah satu fakultas, terdapat pamflet yang –kalau tidak salah ingat- isinya begini, “bagi semua partai yang membutuhkan KHS, kami siap menyediakan KHS. KHS siap diantar 24 jam. Silakan menghubungi nomor ini (tertera sebuah nomor HP).”
Iklim perpolitikan kampus yang sedemikian kuatnya ternyata nyaris persis dengan iklim perpolitikan Negara. Tingkah laku elit politik kampus tak ada bedanya dengan elit politik Negara. Mereka berdua sama-sama menjalankan politik pencitraan lewat hal-hal yang bersifat fisik. Partai politik di kampus ini tak ada bedanya dengan partai politik di lingkup Negara dimana kesejahteraan partai dijadikan salah satu pertimbangan utama melepas kadernya ke medan laga. Dukungan kepada seorang calonpun harus diperoleh dengan cara apapun. Itu berlaku di ranah politik kampus maupun lingkup Negara. Jika demikian miripnya, apakah berlebihan jika saya katakan bahwa wajah politik negara ini 5 sampai 10 tahun mendatang adalah seperti wajah politik kampus hari ini ?
hasanahhafshaniyah@yahoo.com