UIN Suka bergejolak. Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Partai Mahasiswa untuk Perubahan (APMP) lagi-lagi mengadakan aksi untuk yang kesekian kalinya. Yang dituntut sama, soal pembubaran Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan transparansi Pemilwa. Yang dituju pun tetap sama, rektorat.
Harapannya, rektorat akan mengabulkan keinginan mereka untuk membatalkan jalannya Pemilwa. APMP mungkin kesal. Kerena Pemilwa toh tetap akan dilaksanakan kendati hanya dua partai yang dinyatakan lulus verifikasi. Mereka juga mungkin bingung, ingin menggrebek langsung pada KPUM, mereka punya payung hukum, yang disahkan oleh rektorat. Audiensi dengan Dewan Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema) juga tidak pernah berhasil diadakan.
Akhirnya jalan satu-satunya tak lain ialah menuntut rektorat supaya mencabut payung hukum tersebut. Jadilah rektorat bulan-bulanan APMP. Rektorat sendiri kelabakan dengan aksi yang dilakukan oleh APMP, karena aksi sudah dua kali berkhir bentrok dengan Satpam. Tuntutan APMP pun merembet. Setelah meminta Ahmad Rifa’i, (yang saat itu menjabat sebagai Pembantu Rektor III) mundur dari jabatannya, kini mereka meminta Rektor Musa Asy’ari yang lengser. Mereka menganggap Rektor telah berkhianat, karena mengingkari janjinya yang akan mengapresiasi tuntutan APMP.
Tuntutan tidak main-main, karena APMP sempat menyegel rektorat dengan rantai. Satpam pun dibuat kesal oleh aksi mahasiswa yang dinilai terlalu berlebihan. Bukan boikot-membaikot yang mereka sesalkan. Namun perilaku merusak yang membuat mereka terpaksa turun tangan.
Karena yang selama ini bentrok ialah pihak keamanan kampus dan mahasiswa, tentu muncul pertanyaan. Yang diributkan sebetulnya masalah apa? Siapa yang dinilai terkait langsung dengan persoalan yang diributkan? Mahasiswa dengan rektorat? Tentunya bukan. Yang menjadi embrio keributan ialah Pemilwa. Pemilwa notabene ialah pesta demokrasi mahasiswa. Di Pemilwa tidak ada pemilihan Rektor dan jajarannya. Di Pemilwa yang dipilih ialah orang-orang yang dianggap sebagai representasi dari mahasiswa UIN, yang dapat mewakili aspirasi mahasiswa.
Aksi APMP pun tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka tentu saja kesal, sudah berkali-kali mengadakan audiensi, namun tetap tidak ada keputusan yang menguntungkan mereka. Rektorat juga tidak bisa dianggap mengabaikan. Kerena ada satu partai besar yang tidak termasuk dalam APMP, secara tidak langsung mendukung keputusan mereka, yaitu Partai Rakyat Merdeka (PRM).
PRM sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Yang dituntut APMP tentu bukan mereka. Namun kinerja Dema dan Sema. Sesungguhnya mereka tidak ada kepentingan. Yang menjadi keinginan PRM tentunya Pemilwa harus secepatnya diselenggarakan. Tidak ada yang salah dan ganjil. Semua sudah sesuai prosedur.
KPUM pun demikian. Mereka sudah tanggung dibentuk. Sudah disahkan pula. Yang KPUM tahu, mereka harus segera bekerja. KPUM lantas bekerja. Jadwal telah dibuat, prosedur telah diatur. Namun gangguan tak henti-hentinya datang. Beberapa kali baliho tentang Pemilwa yang mereka pasang dirusak.
Akhirnya, antar mahasiswa sendiri terpecah menjadi dua golongan. Yang tetap menginginkan Pemilwa berlangsung, dan yang ngotot memboikot pemilwa. Dua golongan inilah yang seharusnya bertemu, duduk bersama, dan menyelesaikan persoalan. Namun hingga sekarang kedua belah pihak tersebut tidak juga melakukan hal itu. Mereka masih saja terlibat perang dingin.
APMP kembali tertuju ke rektorat. Rektorat kembali kelabakan. Jika tuntutan massa aksi dipenuhi, mereka akan mendapat tekanan yang serupa dari golongan mahasiswa yang lainnya. Jika dibiarkan, anarkisme tak akan kunjung usai. Rektorat terjebak dalam pepatah “Simalakama”.
Rektorat sesungguhnya kaget. Dalam beberapa dekade terakhir, belum pernah ada keributan Pemilwa yang melibatkan rektorat. Selama ini, kisruh yang terjadi masih seputaran mahasiwa. Pemilwa di tahun 2005, 2007, 2009, dan 2011, memang selalu ada kisruh. Namun yang bertikai masih seputaran mahasiswa. Fenomena seperti yang terjadi tahun ini memang langka.
Bagaimana tidak? Pemilwa melibatkan pihak yang sesungguhnya tidak berurusan langsung dengan Pemilwa. Rektorat sesungguhnya bertugas dalam hal legalitas. Ya, lagi-lagi seputar legalitas. Inilah susahnya. Demokrasi di UIN Suka selalu digadang-gadangkan sebagai representasi dari demokrasi di tingkat nasional (Negara). Namun yang berkeyakinan seperti ini lupa terhadap fungsi rektorat yang masih sangat krusial. Hal ini tentunya tidak mungkin terjadi di tingkat nasional.
Begitulah sekelumit kisah Pemilwa UIN Suka saat ini. Mungkin hanya menunggu satu hal lagi yang terjadi, yaitu mahasiswa yang pro terhadap terselenggaranya Pemilwa melakukan aksi tandingan. Hal ini sangat dimungkinkan. Jika ingin mencari-cari dalih, tentu saja ada. Karena dengan adanya aksi dari APMP, maka Pemilwa yang seharusnya berjalan lancar, jadi terganggu terus prosesnya.
Pada saat itu, rektorat tambah kelabakan. Lantaran bukan simalakama lagi yang tengah dihadapi. Namun dua golongan mahasiswa yang saling ngotot. Aksi bukan hanya dari satu kubu. Bisa saja bakar-bakar ban bekas tidak hanya terjadi di depan gedung rektorat. Namun juga dibelakng dan sekeliling gedung. Bisa saja bukan hanya pintu depan yang disegel. Namun seuruh pintu dan jendela rektorat. Mudah-mudahan ini tidak sungguh akan terjadi. @januardi