Home EDITORIAL Jelang Pemilwa di Segi-Tiga Sengkarut

Jelang Pemilwa di Segi-Tiga Sengkarut

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Aksi mahasiswa pada Jum’at (17/5) lalu sontak mengagetkan kita semua. Bukan perihal bakar ban dan bentrok dengan satpam, melainkan semangat sekelompok mahasiswa untuk tak hentinya menuntut. Sekelompok mahasiswa itu adalah gabungan dari beberapa partai politik mahasiswa. Mereka menamakan dirinya Aliansi Partai Mahasiswa untuk Perubahan (APMP). Dan aksi itu bukanlah aksi pertama mereka. Setelah tidak bertemunya kata sepakat dengan pihak rekrotat, dengan beberapa kali audiensi, APMP merasa perlu mengambil langkah demonstrasi. Menunjukkan keseriusan permasalahan menjelang pemilwa ini.

Masalah itu adalah tidak adanya transparasi pembentukan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) untuk Pemilwa ini. Partai politik mahasiswa yang bergabung dalam APMP ini merasa ‘dikesampingkan’ dalam proses pembentukannya. Pasalnya komposisi KPUM sekarang berbeda dengan komposisi KPUM dalam pemilwa-pemilwa lalu.

Syarat profesional dan tidak bergabung dalam partai politik menjadi hal utama untuk anggota KPUM, setelah pemilwa-pemilwa lalu di gawangi oleh KPUM yang berasal dari utusan partai-partai politik. Namun dengan adanya perubahan ini, keraguan mengeruak disetiap benak para peserta pemiwa ini. Apakah orang-orang KPUM benar-benar profesional; lepas dari kepentingan partai mahasiswa. Apalagi dengan tidak adanya transparasi Dema –sebagai pihak yang bertanggung jawab menyeleksi dan membentuk KPUM-  pada seluruh peserta pemilwa, tentu saja membuat hati panas.

Sebenarnya ini tidak akan terjadi jika Dema dan Sema dipercayai oleh mahasiswa. Selain itu, tanggapan dari Dema dan rektorat-pun perihal ini sungguh tidak memuaskan. APMP tidak diajak berdiskusi dan didengar pendapatnya. Pihak Dema pernah menyatakan; tidak akan tunduk pada partai politik mahasiswa, namun ini lagi-lagi sungguh disesalkan. Benar, bahwa Dema tidak boleh tunduk pada Partai Mahasiswa, namun bukan berarti Dema jua tidak harus mendengar pendapat mereka. Dema seharusnya melakukan langkah-langkah solutif untuk menghindarkan konflik ini dan bentrokan-bentrokan lagi menjelang pemilwa. Namun sayangnya pihak Dema belum sebegitu cerdas melihat jalan keluar konflik ini. Malah sungguh memalukan, Dema tidak hadir dibarisan depan-untuk merespon tuntutan Aliansi- ketika konflik itu terjadi.

Rektorat, APMP dan Siapa ?

Mengesahkan KPUM pada awal April lalu setelah sebelumnya berjanji dengan pihak aliansi untuk tidak mengesahkan pemilwa jika APMP membaikot, sungguh telah menciderai kepercayaan APMP pada rektorat. Rektorat sebagai penyuplai dana KPUM telah turut andil membuat kisruh pertentangan antar mahasiswa menjelang pemilwa.

Tercatat ketiga tawaran yang dijanjikan rektorat sendiri telah didustai dengan sengaja. Membentuk Tim Independen, Membentuk MKM dan Tidak mengesahkan pemilwa jika APMP membaikot. Namun dengan disahkannya KPUM, terang menunjukkan bahwa rektorat tidak menghiraukan tuntutan APMP. Begitu juga dengan aksi yang terakhir ini, rektorat tetap tidak mengkaji ulang tuntutan aliansi.

Dan saat ini, ketika massa telah terlanjur anarkis, akan sulit rasanya mendapatkan jalan keluar atas permasalahan ini dari pihak rektorat. APMP-pun sudah kepalang-tanggung dan tidak surut dalam tuntutannya. Tuntutan untuk membubarkan KPUM hendaknya benar-benar dikaji ulang oleh kedua belah pihak.

Rektorat sebagai pihak yang mengeluarkan SK harusnya jangan ‘ketakutan’ untuk merevisi ulang keputusan itu. Begitu juga seandainya jika ada intervensi dan tekanan dari oknum tertentu, rektorat harusnya tidak melupakan bahwa keputusan yang tidak berasal dari kompromi antar mahasiswa, akan mengundang aksi dan mungkin juga kerusakan yang lebih besar lagi.

Bagi APMP hendaknya tetap membuka jalan kompromi antar mahasiswa untuk mencegah konflik berkepanjangan. Karena walau bagaimana-pun, dalam proses pemilwa ini -meskipun yang didemoi itu pihak rektorat, akan tetap dirasai konflik ini sebagai konflik horizontal mahasiswa. Hal ini tentu akan memperuncing ‘kecurigaan’ antar golongan mahasiswa. Tentu saja, ini merugikan kita sesama mahasiswa.

Namun jika tuntutan itu telah dikunci mati, hendaknya tetap dalam gerakan-gerakan cerdas sebagai bentuk perpolitikan mahasiswa -yang intelektual. Karena gerakan ini tentu hendaknya tidak dapat benar-benar disamai dengan gerakan semisal menumbangkan rezim. Gerakan partai politik mahasiswa sebagai resistensi hendaknya tetap menawarkan pilihan politik. Ini untuk menunjang model dan format baru yang dapat di-dialektika-kan dalam student government kedepannya.

Bagi KPUM akan sangat memalukan jika berlindung diketiak rektorat. Ditengah konflik ini, dengan menyatakan diri profesonal dan bertugas dengan SK, APMP terang tidak mengakui KPUM. Bagaimanakah KPUM akan sukses menyelenggarakan pemilwa jika tidak diakui demikian oleh calon peserta pemilwa. Seandainya KPUM professional, kepada siapakah loyalitas keprofesionalan itu dihaturkan.

Lagi-lagi dalam konflik ini -jika seandainya KPUM itu professional, hendaknya para mahasiswa yang berada di dalamnya menuntut kestabilan kondisi menjelang pemilwa kepada Dema/Sema sebagai pihak yang membentuk mereka. Bukankah dengan sikap masa bodoh demikian juga akan merusak kerja  dan capaian pemilwa itu sendiri. Hasilnya-pun juga tidak akan melahirkan Pemimpin dari proses demokrasi -dalam artian partisipasi politik.

Begitu juga untuk partai-partai yang telah mendaftar ke KPUM, sikap kedua partai yang mendaftar ini jangan seperti kontestan naif saja. Dalam politik ada yang ditarik dan ada jua yang harus diulurkan. Sebagai partai pendukung Dema, partai yang mendaftar ini akan dipandang bersebrangan dengan semangat APMP. Peluang adanya kompromi politik tentu akan banyak lahir dari kedua partai ini. Tentu saja kompromi politik yang berimbang –bukan dengan maksut mengakali pihak lain. Kompromi politik ini akan memperkecil konflik yang akan terjadi –begitu juga konflik fisik.

Dengan tidak adanya kompromi atau tidak putusnya kata sepakat, pemimpin Dema yang lahir kedepan jelas miskin apresiasi mahasiswa. Sangat disayangkan sekali, UIN yang berisi mahasiswa lintas gerakan yang berwarna, mempunyai Presiden Dema yang seperti itu. Seberharga apakah kepemimpinan ketika itu. (Redaksi)