Oleh: Dhedhe Lotus*)
Malam telah larut, aroma kehidupan desa telah sedari tadi menguap, tapi mataku tak kunjung terpejap. Nyanyian jangkrik, kucing berahi, dan sesekali suara tikus mencricit semakin mempertegas suasana kampung halaman. Diluar sana, jalan telah lengang sejak berjam-jam yang lalu. Ini memang di desa bukan daerah perkotaan yang tak pernah terhirup sepi deru kendaraan. Hingga ayam berkokok, mataku baru menampakan kelelahannya dan terlelap.
***
Suatu siang di sebuah bus, aku duduk berdampingan dengan seorang supir yang membawa samurai di tangan kirinya. Nampak dua orang penumpang seumuranku yang duduk di belakang, mereka nampak takut dan gemetaran. Aku sendiri tak tahu dari mana aku dan hendak kemana, seusai bus berhenti, aku beriringan jalan dengan sang supir yang aku tak pernah lihat bentuk mukanya. Dia memakai kemeja merah, celana jins dan bertopi hitam, sedang kedua gadis remaja yang ketakutan itu mengendap-endap dibelakang mencoba melarikan diri. Begitupun tiba-tiba aku berfikir untuk melakukan hal yang sama, ikut lari dan mencari tempat aman untuk bersembunyi. Seperti adegan pada masa kecil, lari kejar-kejaran dan bermain petak umpet.
Saat itu aku merasakan keringat mengguyur sekujur tubuh, bertabuh genderang jantung yang saling menghentak “dag-dig-dug-dag”. Kemudian dengan cepatnya, aku dipertemukan dengan seseorang berpakaian putih, mengajakku masuk ke dalam ruangan luas yang didiami beberapa pasien terbungkus, semacam mumi. Mataku tertuju pada sosok wanita tua terbalut kain perban pada sebagian kepalanya, aku melihat pula lingkaran darah besar di jidat sebelah kiri. Dia, dia tak pernah berpaling untuk tidak menatapku.
Aku trenyuh mendapati keadaannya, berulang kali aku mengajaknya berbicara, menanyainya dan menyerbu dengan segala kekhawatiranku, tapi dia hanya menatapku, tak ada jawaban dan sanggahan, bahkan sepatah kata sebagai dua orang yang lama tak berjumpapun tidak. Hanya matanya, menerawang. Aku tahu, seperti sebuah kekosongan yang menggambarkan kehilangan teramat dalam.
Tiba-tiba aku terjaga, mendapati diri seolah tak bertenaga. Butuh beberapa menit untuk mengatur nafasku yang memburu. Di luar jendela, nampak matahari seolah tersenyum nakal mengejek keterlambatanku menyapa.
***
-Hari kedua-
Lagi-lagi aku mengalami hal serupa. Aku terburu-buru mencari tempat untuk berwudhu, aku menemukan mushola tapi sumur telah lama mengering. Akhirnya kakiku melangkah entah ke arah mana hingga aku menemukan tempat itu, tempat dimana aku bisa berwudhu dan sholat. Setelah itu, ku dapati seorang bocah lelaki kecil berbaring dengan kaki terbalut perban putih dan seorang ibu disampingku. Kenapa aku tiba-tiba sholat di samping mereka?
Di sebuah rumah sakit yang lengang mewah namun remang semacam tak berpenghuni, aku melihat sepasang anak ibu dimana aku sholat tadi, tak ada siapapun. Aku tak menjumpai seorang dokter, seorang perawat, atau para pasien serta orang-orang yang menunggui layaknya rumah sakit. Kemudian dengan gamblangnya kepada anak-ibu tadi aku berpamitan untuk menjenguk seseorang-seseorang yang entah siapa aku tak tahu.
Hanya butuh beberapa langkah saja, kakiku berhenti di depan pintu, tak terkunci. Aku terus melenggang masuk. Kudapati wanita tua itu lagi, ia sedang berbaring di sebuah ruangan luas dengan peralatan oksigen di hidungnya, infuse di lengan kirinya dan beberapa peralatan medis yang aku tak ketahui namanya. Aku datang, membawa setangkai melati yang ku taruh disebelah kanan pembaringannya.
Dengan cemas aku membrondong pertanyaan untuk minta jawaban darinya. Pertanyaan yang aku tahu takan pernah ada jawaban. Pertanyaan yang akan aku jawab sendiri. Sekian detik aku berada disamping wanita itu, dengan lengang, dengan sunyi, dan dengan kebisuan yang mematikan hingga seolah aku tak merasakan denyut nadiku sendiri.
Aku kembali terjaga dengan berlumuran air mata, terisak. Terasa ada bagian hati yang teriris. Begitu Perih. Aku membayangkan sebuah keranda yang diangkat oleh beberapa pemuda dan aku persis dibelakangnya, mereka mengangkut keranda itu begitu cepatnya sampai ke liang lahat. Sebuah keranda dengan beberapa tangkai melati di atasnya.
Beberapa hari setelah itu, aku sakit. Sakit yang sama saat dia menjagaiku dirumah sakit beberapa tahun yang lalu. Ouh, inikah caranya memberitahuku. Atau bagaimana keadaan sebenarnya disana, sebesar inikah ia rindu terhadapku? Satu persatu kenangan itu terus melesat, memenuhi rongga batinku.
***
-Hari ketiga-
Suatu siang yang menyenangkan, rupanya aku berada dalam sebuah bus yang penuh dengan para penumpang berseragam putih biru. Seperti kala aku SMP dulu, tapi bus itu tak mau berhenti di depan sekolahku, dia terus melaju dan berputar balik hingga mengantarkanku pada suatu tempat yang asri, penuh bebunga semacam taman. Aku di ajak masuk ke dalam oleh salah seorang kerabatku yang darinya aku tahu, bahwa seorang wanita tua yang sangat dekat denganku berada di tempat itu, untuk dirawat.
Aku masuk, saat itu aku baru tahu bahwa tempat itu adalah rumah sakit. Tak sebegitu ramai memang, tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Dindingnya bercat putih, “kamar 29” aku membaca lirih kayu kecil yang tertera didinding pintu kamar yang ku masuki. Wanita tua dengan muka yang selalu pucat. Awalnya ada beberapa kolega disana, tapi kemudian hanya tinggal kita. Aku terdiam, dan untuk sekian kali harus terdampar dalam kesunyian. Tak pernah ada kata-kata, tegur sapa atau apalah. Kita berbicara dari hati ke hati lewat tatap matanya yang kosong. Aku tahu, kita sebenarnya sama-sama sedang menuntaskan rindu.
***
Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku kembali terkapar sakit untuk kedua kalinya dalam waktu beberapa pekan. Duhai, aku memang selalu menginginkan pertemuan bersamanya, tapi bukan pertemuan seperti itu. Sudahlah, aku lelah mendapatinya masih memikirkanku. Sekuat apapun hubungan kita, dunia kita telahlah berbeda. Tak seharusnya dia terus-terusan menjumpaiku meski itu yang aku inginkan. Lekaslah berdamai dengan sang pemberi kehidupan. Aku ikhlas. Aku masih memiliki seribu alasan untuk tetap melanjutkan hidup, bagaimanapun keadaanku sekarang.
Sejuta kali aku meneteskan air mata, sejuta kali aku mengenangnya, sejuta kali itu juga aku dapati ketiadaannya. Aku hanya ingin melepasnya dengan indah dan anggun. Aku ingin kita sama-sama damai dalam ruang dan waktu kita masing-masing. Cukupkanlah semua kunjungan itu dalam mimpiku.
***
Di suatu senja, aku tahu tak ada siapapun selain aku, tapi aku terus melangkah maju memasuki pemakaman para leluhur. Pelan-pelan kudapati sebuah pembaringan, nisan penuh ilalang dan berdebu. Aku menyapanya dengan iringan doa, aku berharap dia tak akan menemuiku lagi dalam keadaan sekarat.
Beberapa waktu kemudian setelah kunjungan nostalgia itu, aku sering mendapatinya menyelinap diam-diam dalam lamunan, dalam tidur atau saat-saat terjaga dan dimanapun saat perih rindu menghujam, saat itulah dia menemuiku, memberikan seuntai senyum yang paling anggun. Senyum seorang ibu untuk anaknya, untukku.
Penulis adalah Mahasiswa Perbandingan Agama, FUSAP Semester 4