Home - PULAU IMPIAN

PULAU IMPIAN

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

nishanicha.blogspot.com

 

Oleh: Indria*)

Anak kecil berayun di senja mentari,

Membayangkan masa dewasa dengan yang di damba,

Saling memuji dan bergurau saat dewasa, terbayang indah dan berandai – andai,

Andai kita bersama, dan menjadi bersama selamanya.

 

Burung berkicau di pagi hari, kututup malam bersamanya  dengan pelukan indah yang kurasa. Disela keindahan aku menangis, dan menjerit ingin berteriak dan membungkam isi jiwaku yang busuk ini lalu kubuang ketepian. Tak akan aku ambil lagi dan kutimang timang, mungkin belum waktu atau takdir yang mengatakan itu, jelas aku tak mengerti. Sungguh aku terlahir bernama Muhammad Ilham Hadi, berkelamin laki–laki, iya aku laki–laki. Sekali lagi aku laki–laki 27 tahun lalu tepatnya di hari ini.

Jiwa meronta karena berjingkat sampai klimaks, merasa bodoh tapi jiwa tak dapat di bodohi, merasa rapuh tapi seakan sirna karena tatapanya. Aku merasa chaos yang luar biasa, tidak ada ucapan panjang umur dari wanita tua disana, dan bapak di surga. Aku bersama tulang rusuku ini sejiwa dan kata Tuhan inilah pendamping hidup yang senantiasa bercumbu setiap malam dan jangan bermimpi dengan buah hati di saat siang datang. Mencintainya adalah sebuah kesempuranaan, dan rindu melanda saat gerimis mengundang.

Sungguh luar biasa, kubuka mata dan yang kurindu disamping mendengkur, melihatnya menyisir rambut dan di tambah olesan minyak botol hijau nenek moyang yang harum aku melihat dari tempat tidur saat dia bersiap pergi bekerja. Aku pun beranjak bangun dan membuatkannya teh dari Cina kesukaannya, menyiapkan roti bakar.

Seakan tak terpikirkan di isi tengkorak kepalaku ini tentang apa yang kualami, hidup bersama dengannya 6 tahun dan kita bersama dan dengan takdir yang sama. Pilu rasanya, jika Tuhan mampu mengubah salah satu dari kami untuk di jadikan berbeda dan layak di sebut pasangan  jika keluar dari sangkar yang penuh dosa ini setiap malam hari.

Aku mengasihinya setulus jiwa, membelainya saat dia kesepian, menemaninya di kala gelisah dan menidurkannya di malam yang gelap. Aku ingin dunia membuka mata dan melihat pasangan yang sejiwa seperti aku dan kekasihku Gultom, seiring dengan baju yang rapi aku menggandeng tangannya lalu berteriak “ Kita akan selalu bersama, sejiwa dan saling setia”, tapi anak-anak Tuhan pasti menghujat kami karena kitab yang kau buat Tuhan telah membuat mereka membunuh jiwa kami, tapi bukan dengan cinta kami yang selalu abadi.

Aku termenung di teras belakang, membayangkan takdir dan isi hidup ini serta akhir kehidupan dunia, kutemukan jawabnya namun absurd dan membuatku mabuk dalam akal sehatku. Seketika menangis di kala membayangkan ibu disana dan masa depanku dengan Gultom Ilyas, menunggu–menunggu waktu yang tepat untuk bersandar dan membenahi tabiat  masa lau. Ini bukan lembah hitam yang aku jalani, bukan terpaan dan ujian yang ku alami seperti di bawah pohon yang tak bercela daunya, tetapi banyak sambaran mata panah jatuh dan melukai hingga bertubi–tubi, namun cintaku tetap membara, bergejolak dan takut kehilangannya. Andai mereka tahu, kubuat syair lagu untuk kekasihku.

Oh kasih.. kudekap erat cintamu, kau membuat aku mengerti dirimu, kau sungguh sempurna bagiku mungkin takdir kita ini sama, namun cinta ini besar, kuingin kita bersama dan mrnjadi bersama selamanya.. Oh dewa wholly ku Gultom yang di hatiku la..la..la..la “ .

Itu bukan lagu Ungu dan Iwan Fals, tapi itu syair laguku untuk Gultom pasangan hidupku, jiwaku, dan segalnya bagiku.

Dan malam itu Gultom tak pulang kerumah, biasanya dia jam 9 sudah pulang dari kantor, kutunggu di sofa depan ruang tamu hingga pukul 10 lewat 4 menit  juga tak kunjung  hingga ku tertidur dan terbayang wajah imajiner di mimpi aku bersama Gultom.

Dimimpiku aku bermain air dilaut, disana semuanya berpasangan seperti aku dan dunia seperti nyata yang seiring dengan pesanku untuk Tuhan. Lalu saat letih aku berbaring di pasir putih dan bersandar di bahu Gultom, dengan hempasan angin laut, sengatan si kuning maharaja alam semesta, ombak laut yang mengiringi langkah dramatika cinta serta kawan kawan disana yang bersahabat.

Itu adalah pulau Impian aku dan kekasihku yang sejiwa ini, aku bergurau dengan Gultom masalah monyet di kebun binatang, dosen–dosen yang lucu ketika masa kuliah dulu, dan ibu-ibu yang jatuh ketika memarahi anaknya bermain air.

Tiba–tiba aku merasa hanyut, jatuh dan kepalaku terasa berat sekali. Rasanya tidak enak yang membuat mataku terbuka dan tersadar dari mimpi. Mungkin itu ingatan Tuhan agar melihat realita dan diberi kenikmatan impian hanya sejenak dengan pulau impian. Tapi tak apa Tuhan aku hibahkan syukur setulus jiwaku ini kepada-Mu yang baik hati memberiku surga dalam mimpi.

Jam menunjukan pukul 12.00 tepat dan Gultom tak kunjung pulang, aku mencari di catatan memo di ruang tengah juga tak ada pesan, ku telfonya berkali–kali juga tak diangkatnya.

Pikiranku kacau dan seketika aku takut kalau Gultom meninggalkanku, dulu pernah seperti ini tapi dia meninggalkan pesan memo untukku kalau dia ada perayaan di puncak bersama rekan rekan kantornya. Tapi sekarang tidak ada pesan sama sekali, aku lihat keluar jendela gelap, sepi, sedikit mistik kubuka sedikit jendela angin berhembusangat dingin dan mencekik gelandangan di luar sana.

Akhirnya kuputuskan tidur dan berniat ke kantor untuk mencarinya esok hari. Ruang tidurku sangat sepi, tidak ada dengkuran Gultom yang capek di sampingku, kuraba sisi tempat tidurku terasa dingin dan sprei masih halus rapi, kemana kekasihku ? apa kau tidak tahu ujung rinduku adalah malam ini ?.

Tidurku tidak nyenyak malam ini hingga matahari terbangun Gultom tak kunjung datang juga. Akhirnya aku putuskan tuk mencarinya kekantor pagi itu, kutemui sekretaris Gultom dan menayakan.

” Sis, apa kamu tahu Gultom dimana ?”

Lalu Siska menjawab,” Pak Gultom sedang ada rapat dengan client di Bandungan, beliau akan kembali nanti sore, bagaimana pak apa ada pesan untuk beliau ?”

Lalu Ilham begitu saja pergi banyak pertanyaan di benaknya. Dan dia berusaha berfikir positif untuk menenangkan fikirannya.

Kembali kerumah, dan Ilham kembali duduk berdiam di teras belakang serambi menunggu Gultom datang, memang banyak batu sandungan antara hubungan aku dan Gultom, latar belakang keluargaku yang membanggakanku sekolah di luar negeri dengan beasiswa yang kuraih tapi aku masih tinggal di sini demi Gultom agar kita tidak terpisah. Dan di sisi lain Gultom pun demikian, dia sudah berumur hampir 34 tahun tapi belum juga mendapat calon pendamping wanita. Setahu keluarga Gultom aku adalah orang terpercaya dan  sahabat yang hangat di mata keluarga Gultom, tapi bukan sebagai kekasihnya.

Sore itu Gultom pun tak kunjung pulang, aku merasa carut marut tak karuan hingga malam pun ku nanti juga tak kunjung dia berpijak di lantai ini. Dan hingga ku tunggu sampai  haripun tak kunjung pulang, betapa aku seperti akar yang kehausan saat kemarau datang. Dan hatiku yang temaram bersama panasnya dahan yang kering tanpa embun dan setetes air.

Kucari Gultom hingga kemana–mana, kudatangi kantor berkali–kali, ku pijaki Bandungan, nihil semua. Dan nyaris membuat urat nadiku terputus saat aku menerima pesan singkat dari Nensi adik Gultom yang berpesan bahwa Gultom telah menikah di Bali. Remuk redam hatiku, benar–benar aku merasa seperti di terpa hujan meteor di kepalaku, puing puing tengkoraku runtuh dan siap diawetkan jadi mumi untuk kado pernikahan Gultom.

Pesan Nensi tak ku jawab, aku bergegas pulang dan berdiam di rumah, tak makan, minum, mandi, gosok gigi ataupun ganti baju. Aku di landa stress berat kuadrat 6 – 10 , pH memuncak melebihi basa ataupun asam, dan hujan meteor semakin deras di batas daur ambang, mungkin sebentar lagi akan longsor dan di terpa letusan gunung Jaya Wijaya.

Tak akan aku impikan lagi, pulau yang dulu aku bayangkan bersamanya, entah kemana pulau itu sekarang?. Dan lengkap sudah mendung yang berduka atas hatiku kini turunlah hujan di teras belakang. Aku menutup mata, merasakan sejuknya hujan dan aku membuka mata, seketika aku kaget dan kukira mimpi siang bolong karena aku gila. Di depan mataku terlihat Gultom yang duduk di depanku, mataku yang sembab sedikit berubah diameternya, namun aku seketika terdiam dan tertundu.

” Apa kamu baik baik saja ?, tanya Gultom kepadaku

Dan aku hanya diam saja. Mungkin Gultom mengerti dan dia pun menjelaskannya.

” Aku di jodohkan oleh ayah dan ibu sejak 3 bulan yang lalu, aku di paksa menikah di Bali. Namun asal kau tahu, saat malam hari aku bersama wanita itu sungguh aku tak melakukan apa–apa , dan aku berkata yang sesungguhnya”, dengan panjang pennelasannya, “

Jadi kau memilihku,Gultom?”, Tanyaku dengan tak sabar

” Iya, kurasa kita memang sama, tetapi kita sejiwa dan kebersamaan 6 tahun tak akan tergantikan”.

Setelah kita saling bertatapan dan saling menjalin kepercayaan kembali, dia pun menceritakan semua.

Malam rindu yang hangat, kita saling bergurau sembari menonton komedi tengah malam, bersama teh hangat dan selimut tebal di ruang tengah. Di luar hujan lebat, membuat kita semakin menambah selimut dan air panas untuk seduhan teh cina.

Aku terhanyut dalam surga yang nyata, tengkorak kepalaku mulai kembali normal dan meteor kembali ke sangkar angkasa raya. Gultom membuat perjanjian dengan istrinya, bahwa mereka akan hidup di luar negeri bersama aku, lalu selang 2 tahun mereka akan bercerai dan hidup terpisah, aku akan meneruskan S2 di Inggris, dan kita berdua akan membuat pulau impian bersama.

*) Penulis adalah Mahasiswa semester II Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga