Home - Bercumbu Dalam Sosial Media

Bercumbu Dalam Sosial Media

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: A Taufiq*

Pada hakikatnya, kata Jurgen Habermas, tiap orang butuh ruang publik. Tepatnya ruang publik dimana tiap orang bebas berinteraksi, tanpa tekanan, dominasi atau intimidasi. Dan memasuki milenium ketiga ini, dunia maya menawarkan hal itu. Terutama dengan situs-situs jejaring sosialnya seperti Facebook (Fesbuk) dan Twitter.

Begitu juga dengan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Ketika ruang publik “nyata” dirasa semakin menyempit, dunia mayalah yang menjadi alternatif. Sebab, hanya dunia maya yang masih menjamin kebebasan seluas-luasnya. Apalagi “Kampus Orange” kita sedang gandrung dengan “digital campus” sebagai salah satu pilar menggapai predikat World Class University. Maka, “klop” lah jadinya.

Kita bisa melihat bagaimana situs-situs jejaring sosial atau social media (sosmed) semacam Facebook dan Twitter adalah yang paling banyak diakses mahasiswa. Tidak peduli waktu dan tempatnya. Jangan kaget jika tengah malam nampak beberapa mahasiswa yang bergerombol di beberapa tempat di kampus, di Panggung Demokrasi misalnya, sedang asyik mengakses jejaring sosial. Bahkan yang lebih parah lagi, hampir bisa dipastikan dalam tiap kelas dimana proses belajar-mengajar berlangsung, ada saja mahasiswa yang Fesbukan dan Twitteran.

Fenomena ini muncul tentu bukan tanpa alasan. Fesbukan dan twitteran di kelas saat pelajaran berlangsung, satu sisi bisa dipandang sebagai anomali, dan disisi lain merupakan sesutu yang secara alamiah pasti akan terjadi. Ada banyak alasan mengapa mereka masih ber-sosmed-ria dalam kelas saat pelajaran berlangsung. Bisa jadi karena proses perkuliahan tak menarik karena adanya dominasi dari Sang Dosen misalnya, atau bisa juga pelaku sudah kecanduan sosmed. Tapi yang pasti, sosmed memang menawarkan kebebasan kepada siapapun (tanpa peduli kelas sosialnya) yang mengakses untuk bersuara tentang apapun. Mau berdakwah, boleh. Mau diskusi serius, bisa. Mau membahas hal-hal yang porno, silahkan. Maka akibatnya bisa dipastikan, proses perkuliahan tidak berjalan maksimal. Mereka yang bersosmed, selain dirinya “tidak mengikuti” perkuliahan, juga mengganggu teman sebelahnya.

Fenomena ini adalah budaya baru yang timbul, dengan segi positif dan negatif sekaligus. Positifnya seperti kecepatan informasi, kebebasan bersuara, dialektika antara mahasiswa, dosen, dan pihak-pihak luar, menjadi semakin intens. Bahkan sekian persoalan yang ada hubungannya dengan pejaran bisa didiskusikan lebih lanjut tanpa harus tatap muka dalam kelas. Lewat Sosmed, kita juga bisa mengontrol kebijakan-kebijakan pendidikan yang digulirkan, dengan minimal mendesas-desuskankannya. Contoh mudahnya di Grup Facebook FKM UIN Sunan Kalijaga yang saat ini diikuti oleh hampir empat ribu peserta, sehingga dialektika antar mahasiswanya cukup intens.

Sementara sisi negatifnya, terkadang Sosmed mengganggu proses berjalannya perkuliahan. Seperti kasus orang Fesbukan di kelas tadi. Artinya, perkuliahan tidak optimal. Hal ini tentu menjadikan output (atau outcome) pendidkan kita adalah generasi yang tidak mutu. Maka, dari kacamata penyelenggara pendidikan, fenomena ini merupakan suatu penyimpangan atau semacam patologi sosial. Dan patologi sosial harus segera ditangani. Agar pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan maksud dan tujuannya.

Ada hal yang bisa dan perlu dilakukan menurut saya. Terutama menjadikan kelas sebagai ruang publik yang nyaman untuk berdialektika, dan bebas dari dominasi. Ini tentu memerlukan keahlian dosen sebagai pendidik, pemateri, fasilitator atau pendamping dalam jalannya perkuliahan.

Dosen yang tidak berkualitas dengan model pengajaran yang kuno, akan mebikin mahasiswa ngantuk, atau tidak menggubris jalannya perkuliahan. Ini sangat potensial mendorong mahasiswa untuk membuka laptop dan ber-sosmed-ria. Sapa sana, sapa sini, juga tak jarang curhat tentang perkuliahan yang membosankan. Tengoklah dimana ada perkuliahan yang membosankan, disana pasti akan banyak mahasiswa Fesbukan atau Twitteran.

Ini wajar dan sangat manusiawi. Sebab mahasiswa tidak menemukan ruang publik yang nyaman dalam kelasnya. Maka, dosen (khususnya yang merasa dirinya tidak bermutu), dianjurkan untuk kreatif dalam pengajaran. Biar mahasiswa tersedot perhatiannya pada proses pengajaran berlangsung. Hal ini akan mempersempit kesempatan untuk bersosmed-ria dalam kelas. Bukan malah dengan represif menghukum mereka yang ketahuan ber-sosmed-ria di kelas.

Terakhir, disadari atau tidak, digital campus, Sosmed, memang membentuk budaya baru yang perlu difikirkan dan ditangani secara serius. Agar sesuatu yang baru ini menunjang jalannya pendidikan, bukan malah menghambatnya. Agar generasi yang dilahirkan adalah generasi yang bermutu, bukan sebaliknya. Sehingga, mimpi UIN sebagai World Class University, tidak hanya bersarang dalam angan.

 

*)Penulis adalah Propagandis dan Gondeser          dalam Forum Persma (Gondes) UIN Suka.           Aktif di LPM ARENA. Sekarang berdomisili di     @opiksuka.