PEMILWA, perhelatan dua tahun sekali akhirnya rampung juga. Kecemasan banyak pihak terkait pelaksanaan PEMILWA yang sangat berpotensi ricuh, akhirnya terjawab. PEMILWA terlaksana dengan ‘lancar’ dan ‘biasa saja.’ Karena saking lancarnya, para mahasiswa yang mengalami PEMILWA pada tahun-tahun sebelumnya, pasti merasa ‘kecewa’ dan hambar setelah mengikuti pelaksanaan PEMILWA kali ini. Soal ini, saya pribadi mendapatkan penuturan dari seorang mahasiswa yang duduk di semester yang sudah ‘senja’. Dia mengatakan bahwa PEMILWA kali ini tidak seru sama sekali.
Tapi ternyata ‘kelancaran’ itu tidak berlaku dalam peliputan yang dilakukan Persma, khususnya Persma yang menerjunkan awaknya untuk memantau pelaksanaan PEMILWA dan melakukan reportase soal itu –dalam hal ini, lebih spesifik pada Arena. Karena sejauh yang saya tahu, Persma yang melakukan pemantauan penuh tentang pelaksanaan PEMILWA dari awal hingga akhir pada hari H, hanya Arena. Tapi tentu saja Persma lainnya juga melakukan peliputan bahkan menjadikan PEMILWA sebagai suatu pembahasan khusus pada media yang diterbitkannya. Hanya saja mereka tampaknya tidak seintens Arena dalam melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan PEMILWA sebab barangkali fokus yang diambilnya berbeda.
Banyak sekali hal-hal yang menyulitkan pihak persma dalam PEMILWA kemarin. Mulain dari TPS yang ada dalam ruangan, pintu ruang TPS yang ditutup rapat, sulitnya menjumpai pihak-pihak pelaksana pemilwa, hingga sulitnya memperoleh data-data tertulis tentang pemilih tetap.
Namun yang lebih sulit adalah soal pengambilan gambar pelaksanaan PEMILWA. Meski akhirnya diizinkan untuk mengambil gambar, tapi itu dengan perdebatan panjang yang penuh ketegangan antar pihak Persma dan panitia pelaksana. Bahkan hampir di setiap TPS, pengajuan dan pemberian izin pengambilan gambar terkesan dilempar-lempar antar pihak yang memiliki wewenang.
Yang lebih ironis lagi, sebuah TPS melarang sama sekali para wartawan kampus untuk mengambil gambar. Bila panitia di TPS-TPS lainnya tidak membolehkan wartawan kampus untuk mengambil gambar di ruang TPS, panitia di TPS yang satu ini bahkan melarang pengambilan gambar apapun yang berhubungan dengan pelaksanaan PEMILWA di TPS-nya. Bahkan mengambil gambar apa yang ada dan terjadi di luar ruangan TPS-pun tidak boleh. Meski dalam hal ini saya tidak menafikan sebuah TPS yang memberi keleluasaan pada wartawan kampus untuk mengambil gambar. Namun di TPS-TPS lainnya, pembatasan pengambilan gambar di luar batas kewajaran itu terjadi.
Pertanyaannya kemudian, mengapa hal itu terjadi? Mengapa regulasi peliputan khususnya pengambilan gambar dalam pelaksanaan PEMILWA ini demikian susahnya? Mengapa pelaksanaan PEMILWA terkesan ‘bukan untuk publik’? Bukankah PEMILWA adalah hajat semua mahasiswa, apapun backgraund organisasinya, apapun partainya, dan dari manapun dia berasal?
Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di atas sudah diajukan secara diplomatis oleh pihak Persma saat melakukan lobying soal regulasi peliputan kepada panitia pelaksana. Dan jawabannya adalah alasan-alasan normatif yang kurang mendasar dan tidak jelas. Ada yang mengatakan, itu demi melindungi privasi pencoblos. Tapi bukankah pemilu-pemilu yang dilaksanakan oleh negara –di tingkat apapun itu- justru dilaksanakan di lapangan atau ruang terbuka lainnya? Bukannya pers juga tidak mengintip –lewat kamera dan indranya- siapa dan apa yang dicoblos para pemilih? Pers hanya mau melihat pelaksanaan dan situasi dalam TPS. Itu saja.
Panitia lainnya mengatakan, hal itu adalah kebijakan panitia. Dan memang begitulah peraturannya. Namun setelah pihak Persma bertanya apa dasar pembuatan kebijakan tersebut, peraturan itu ada di mana, pasal nomor berapa dalam UU Pemilwa jika memang itu tercantum di sana, tidak ada jawaban yang jelas dan logis. Semuanya mbulet. Saya pribadi menjadi bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan PEMILWA tempo hari? Mengapa semua pihak pelaksana tampak risih dengan kawan-kawan dari Persma? Sebagai clue untuk menjawab rentetan pertanyaan ini, saya jadi teringat tagline sebuah kampanye iklan yang dibuat oleh sebuah instansi yang dulu sering tayang di televisi: kalau bersih, kenapa risih?
Oleh : Noer Hasanatul Hafshaniyah
Penulis adalah staf PSDM
LPM ARENA