Home CATATAN KAKI Tradisi itu bernama “Pesta”

Tradisi itu bernama “Pesta”

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Kita tahu masyarakat kita adalah masyarakat yang gemar berpesta. Pesta nikahan, pesta sunatan atau pesta menyambut panen”.

Itulah sepenggal orasi cagub Jasmera, salah satu tokoh dalam film “Kentut” garapan sutradara Aria Kusumadewa. Sebuah film yang menampilkan dua orang dengan dua ideology dan cara berpikir tentang kepemimpinan yang sangat kontras. Satu mewakili visi dan misi yang dianggap masyarakat baik (Pattiwa); menolak lokalisasi, perjudian, poligami dan sangat religius. Figure satunya, (Jasmera) mewakili orang yang justru berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pe-legal-an lokalisasi dan perjudian untuk pembiayaan pembangunan dan poligami sebagai antisipasi dari banyaknya wanita simpanan yang dimiliki oleh para pejabat. Duo tokoh film ini ingin menampilkan dua cara perspektif masyarakat dalam melihat realita yang ada. Melihat dengan apa yang ditangkap indra (baku dan kaku) ataupun melihat dengan mata batin dengan cara “memperkosa” isi dan makna realita yang ditangkap indra. Begitu juga dengan pesta. Kita dapat menafsirkan ia sebagaimana realitanya, atau menafsirkan dengan melihat jauh ke dalam maknanya.

Pesta, telah menjadi semacam tradisi, begitu kami menyebutnya. Kenapa tradisi? Apa tidak kita sebut saja sebagai budaya? Pertanyaan yang akan menjadi focus pembahasan kali ini. Kita akan mulai dari budaya. Budaya merupakan bentuk jamak dari kata budi, suatu hal yang dijelaskan, diinterpretasikan, filosofis dan diperdebatkan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Budaya terdiri dari dorongan insting, perasaan, pikiran dan kemauan. Budaya lebih konkritnya kemudian didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa dan karya manusia. Budaya lahir sebelum ada tradisi. Tradisi, merupakan budaya yang diturunkan nenek moyang secara turun temurun kepada generasi sesudahnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Abed Al Jabiri dalam At Turats Wal Hadatsah, tradisi adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, baik yang berasal dari diri kita sendiri maupun dari orang lain. Tradisi merupakan bagian esensial dari kehidupan manusia yang turut mengembangkan apa yang ada pada individu. Contoh konkrit dari tradisi adalah lebaran di saat Idul Fitri dan sungkeman kepada orang yang lebih tua. Dari sini, tradisi bisa dikatakan sebagai identitas dari sebuah budaya.

Tradisi Pesta Mahasiswa UIN

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwasannya tradisi adalah bentuk sub dari sebuah budaya. Dia “anak” dari budaya, yang artinya, bagian terkecil dari budaya. Pesta, bentuk terkecil dari cara menjamu orang disekeliling kita. Perjamuan yang dilakukan sebagai ungkapan kesenangan dan kepuasan. Pesta seperi menjadi semacam hal yang wajib dilakukan setelah melakukan tindakan dan tindakan tersebut membawa kesenangan pada pelakunya. Tentunya, tindakan atau pekerjaan tersebut berada dalam skala yang besar dan bukan dalam kategori pekerjaan rutinitas.

Jika kita tarik ke konteks mahasiswa UIN saat ini, pesta besar baru saja dilaksanakan dan mungkin akan terus berlanjut. Ungkapan kepuasan karena telah melakukan yang baik, membebaskan, menentukan nasib lewat diri sendiri dan sebagai ekspresi diri. Pesta itu tidak lain tiddak bukan adalah pesta demokrasi (pemilwa). Aneh memang, demokrasi dikatakan sebagai sebuah pesta (dalam konteks pemilwa).

Jika hal besar seperti demokrasi dianggap pesta, maka ia dapat dimaknai sebagai sarana untuk bersenang-senang dan pada akhirnya dia tidak dapat disebut sebagai sebuah proses, melainkan perayaan. Perayaan karena proses yang dijalani telah berjalan lancer. Wajar saja bila sebagian mahasiswa UIN masih ada yang menyebut demokrasi kampus itu tak jaun beda dengan tirani mayoritas. Siapa yang punya banyak suara, ya dia-lah yang menjadi acuan/sumber referensi utama. Pemilwa yang seharunya dijadikan pembelajaran, justru dijadikan ajang berebut “kue”. Kue eksistensi, kue kekuasaan. Dengan kata lain (jikalau mau ekstrim), pementasan drama itu lebih baik daripada demokrasi versi UIN. Bagaimana tidak, dalam drama, naskah (teori) dan aplikasinya, sama-sama bagus. Kalau demokrasi versi UIN ? Kami persilahkan kepada pembaca untuk menjawabnya sendiri.

Setelah pesta demokrasi itu usai (pemilwa), mahasiswa kampus UIN pun masih “ketagihan” dengan yang namanya pesta. Jelas, setelah capresma terpilih, para awak partai yang menang pun akan mengadakan pesta. Kami tidak tahu, bentuk konkrit dari pesta itu. Yang jelas, kami yakin saja pasti ada pesta. Lha, pemilwanya saja sudah disebut pesta demokrasi, apalagi jika pemilwa tersebut berhasil. Atau, jikalau tak ada pesta, tradisi “bagi-bagi kue” adalah hal yang harus terjadi. Apa etis, jika kita tak membagi “kue” yang didapat kepada orang yang telah mendukung keberhasilan kita ? Sekali lagi, kami tak tahu jenis “kue” apa yang dibagikan oleh pihak yang berhasil kepada para pendukung dan simpatisan-nya.

Kalau sudah begini, intelektual-intelektual mahasiswa semacam ini, bisa kita katakan sebagai intelektual “tradisional”, begitu sabda Antonio Gramsci. Kok tradisional ? Ya, dikatakan tradisional karena intelektual semacam ini menjadikan sitem sebagai penindas, bukan sebagai pembebas atau sebagai pembelajaran untk menuju taraf yang lebih baik. Pemilwa yang harusnya dijadikan pembelajaran dan pembebas, malah dijadikan ajang pertunjukan eksistensi. Ini aku, itu bukan aku, itu mereka, kami seperti ini, mereka seperti itu. Pemilwa di UIN semakin hari semakin menjadi “biang kerok” perekat hubungan antar mahasiswa.

Sudah saatnya kita hidup modern. Modern dalam hal pemikiran dan materi. Kemodernan harus berimbang antara otak dan materi. Jika hanya materi yang modern, maka sebenarnya kita masih hidup tradisional. Bukankah materi yang ada berasal dari kinerja otak kita ? Selanjutnya, lupakan pertikaian kemarin lusa. Saling sinis, saling melotot, ejek-mengejek, olok mengolok, hanyalah pementasan drama kita. Dan hasilnya, “100% sukses”. Sudah saatnya kita berpesta. Bukankah momen ini yang kita tunggu. Momen saat merayakan keberhasilan kita. Mari saling merangkul dan mengakrabkan diri kembali.

Pada akhirnya, kami dapat menyimpulkan bahwa pesta sebenarnya tak jauh beda dengan “dopping”. Ia akan menjadikan ketagihan dan tidak ada lelah. Tidak ada lelah untuk kembali melakukannya. Semoga saja, pesta ini hanya sebagai tradisi, tidak sampai ke taraf budaya. Kalau jadi budaya, kapan kita kerja ? Yang ada mungkin hanya bersenang-senang, tertawa tanpa ada proses kerja. Proses berdemokrasi yang sesungguhnya. Mari, sebelum melakukan proses demokrasi sesungguhnya, kita kembali ke kondisi pesta kita. Kita masih dikeadaan pesta. Untuk itu, kami himbau kepada seluruh mahasiswa UIN, gabung bersama kami, kita berpesta bersama ! (Puji Harianto)