Home EDITORIAL Pemilwa Sudah, Lalu Apa?

Pemilwa Sudah, Lalu Apa?

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Setelah beberapa kali mengalami penundaan akibat sengkarut konflik, pelaksanaan Pemilwa 2013 akhirnya terlaksana pada Senin (03/06) lalu. Berbeda dengan pelaksanaan pemilwa sebelumnya yang selalu diwarnai aksi kekerasan, kali ini pemilwa berjalan damai. Meskipun masih ada beberapa catatan kecil yang perlu diperbaiki, seperti kurangnya kertas suara, minimnya sosialisasi, hingga konsep pemilwa tertutup –yang jelas tidak selaras dengan logika demokrasi yang semestinya terbuka dan transparan.

Lalu, apakah pemilwa sudah berjalan sesuai asas demokrasi? Apakah pemilwa sudah mewadahi semua golongan? Apakah pemimpin yang dihasilkan merepresentasikan keinginan mahasiswa? Dan masih banyak pertanyaan yang mungkin digelisahkan banyak orang dikampus ini.

Tapi kayaknya bukan itu yang harus kita permasalahkan. Ini bukan karena kita pemaaf atau malas, tapi Nasi Sudah Menjadi Bubur, begitu orang dulu bilang. Belajar dari pengalaman, pertanyaan atau bahkan gugatan sekalipun tidak akan bisa mengulang waktu yang telah berjalan. Kalaupun menggugat, kepada siapa kita mengadu? Jadi biarlah sejarah yang mencatat dan generasi selanjutnya yang akan menilai, atau bahkan mengungkap –kalau perlu menghakini perilaku kakak-kakak mereka. Yang jelas, setelah pemilwa, lalu apa?

Euforia kemenangan pasangan Saefudin-Badriyanto sebagai Presiden dan Wakil Persiden mahasiswa seyogyanya tidak dilakukan berlarut-larut. Karena ada setumpuk pekerjaan yang tengah menanti mereka. Baik ditataran internal DEMA, maupun segudang permasalahan mahasiswa -yang juga perlu mendapat perhatian khusus.

Untuk itu, pemilahan siapa yang duduk dalam jajaran kabinet Saefudin-Badri juga harus tepat dan proporsional. Artinya tidak hanya didasari pada kesamaan golongan atau partai. Tapi perlu juga menggaet kader-kader golongan lain. Bukan hanya untuk sebatas merangkul “kerenggangan” yang sudah akut, tapi yang lebih penting membuat dinamika DEMA lebih berwarna dan menarik. Walau bagaimanapun, konflik antar mahasiswa bukanlah hal yang produktif. Karena musuh mahasiswa yang sesungguhnya adalah kebijakan pemerintah yang kontra produktif dengan kepentingan rakyat dan bangsa. Dan kita tahu itu.

Tidak hanya itu, gerakan Turba (turun ke bawah) ala SBY atau blusukan ala Jokowi juga menjadi hal yang perlu dilakukan Presiden mahasiswa(Presma), tanpa harus mengurangi peran DEMA dalam mengontrol permasalahan negara. Selain untuk mengubah citra “eksklusif” DEMA, hal itu juga sebagai bentuk riil Presma “menjemput bola” terhadap aspirasi mahasiswa. Persoalan akar rumput mahasiswa sudah seharusnya menjadi prioritas utama Presma. Karena selama ini, Presma lebih pro aktif menanggapi hal-hal yang sifatnya politis, adapun persoalan mahasiswa seperti KRS, Jadwal dan administrasi lainya nyaris luput dari perhatian Presma. Sehingga wajar, banyak mahasiswa yang tak kenal siapa presiden mereka. Apalah artinya dikenal orang luar tapi terasing di rumah sendiri. Jujur, itu sangat konyol bung!.

Hal yang tidak jauh berbeda juga perlu dilakukan eksekutif-eksekutif kecil di tataran BEM-J, maupun BEM-F. Jangan sampai BEM menjadi bentuk perwujudan lain dari sekumpulan mahasiswa yang berbendera sama. Buka pendaftaran BEM secara terbuka dan lakukanlah seleksi secara adil. Sehingga akan melahirkan komposisi BEM yang ideal.

Sebagai lembaga yang paling dekat dengan mahasiswa, BEM memiliki posisi strategis dalam membantu mahasiswa mengembangkan bakat sesuai dengan semangat keilmuanya. Caranya tidak melulu dengan melakukan seminar yang masuk telinga kanan bablas telinga kiri. Melakukan pelatihan yang bermuara pada lahirnya karya menjadi opsi yang perlu di coba.  Selain membantu akreditasi jurusan yang menjadi kegelisahan mahasiswa, itu juga penting bagi pribadi mahasiswa. Karena rasa enggan mahasiswa bergumul dengan BEM bukan terletak pada minimnya minat mahasiswa, tapi akibat “semu”nya peran dan kerja BEM dimata mahasiswa.(Redaksi)