Oleh: Dhia Roesli Khaeza *)
Pada mulanya, Orang-orang Sophist selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar. Demikian pula, Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi kesan kebenaran itu sendiri (Deleuze, 1994).
Gambaran diatas, dirasa sangat tepat untuk melukiskan fenomena politik di Indonesia saat ini. Para elit bangsa negeri ini, seolah-olah telah ‘menjadi’ buta terhadap kebenaran, meski sebenarnya sangat paham dengan kebenaran. Misalnya, kasus korupsi yang selalu menyita perhatian dan selalu menjadi isu aktual di berbagai media. Ironisnya, adalah mereka tidak lagi meletakkan nilai-nilai kebenaran sebagai pijakan dalam melakukan tindakan. Akan tetapi, cenderung mengadakan perlombaan seni berbicara -retorika untuk melakukan “pembenaran” terhadap tindakannya yang nyata-nyata salah.
Nah, inilah realitas politik para elit bangsa saat ini. Sulit dibantah, para elit bangsa sudah tidak mengindahkan lagi nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari UUD 45 dan menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi pancasila. Sehingga yang terjadi adalah disorentasi nilai-nilai yang terkandung dalam dua dasar negara tersebut, yang sejak awal memang diharapkan menjadi landasan bagi tercitanya sistem pemerintahan yang ideal, yang diharapkan oleh seluruh warga negara.
Alih-alih berbicara persoalan kasus korupsi, maka yang akan terlintas dalam benak kita adalah ‘penyakit kronis’ yang menggerogoti negeri ini. Persoalan korupsi kerap kali menjadi perbincangan pelik dalam kehidupan politik dalam beberapa tahun terakhir ini. Sekaligus menjadi penyakit ganas yang lambat laun akan membunuh tugas negara yang menurut Sokrates untuk memajukan kebahagian warga negara dan membuat jiwa mereka menjadi sebaik mungkin (1994).
Sulit dibantah, kasus korupsi di negeri kita telah mewarnai sejarah. Artinya, seiring perjalanan negeri ini, tidak bisa dilepaskan dengan fenomena kasus korupsi yang pelik. Berangkat dari ini kemudian, kasus korupsi dapat dipetakan menjadi dua. Pertama, memang dari para elit bangsa yang tidak lagi sadar akan dasar yang melandasi sistem pemerintahan. Kedua, tindakan korupsi terjadi, karena faktor genetik. Yang notabene sejak pemerintahan orde baru, penyelesaian kasus korupsi tidak pernah tuntas dan senantiasa menjadi warisan permasalahan yang menuntut untuk diselesaikan.
Efek jerah
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengakhiri terjadinya kasus korupsi. Akan tetapi, para pelaku korupsi tidak kunjung jerah. Barangkali mental para pelaku korupsi tersebut sudah berada diposisi kesadaran naif. Sehingga nurani dan moralitasnya berada pada titik minus (di bawah nol). Mereka tidak peduli lagi dengan dampak dari perbuatan mereka yang sudah merugikan negara, yang mengakibatkan sebagian dari hak-hak rakyat tak terpenuhi atau tak terlayani (akibat dari kekurangan dana negara).
Hal ini, diperparah dengan hukuman yang tidak sepadan terhadap para pelaku korupsi. Artinya, sudah menjadi realitas yang tak terbantahkan, ketika para elit bangsa ini menjalani hukuman, maka tak jauh beda –seperti hidup dirimahnya sendiri—bedanya hanya tidak ‘ngumpul’ dengan anak dan istrinya. Betapa tidak! Segala kebutuhan terpenuhi, ruangan ber-AC kasur empuk menjadi tempat tidurnya. Akan tetapi beda dengan rakyat kecil yang menjalani hukuman, prosesnya super sulit, tempatnya tidak layak huni. Maka dengan ini, bisa dikatakan bahwa terciptanya pemerintahan yang bersih (clean government), masihlah sangat jauh dari harapan.
Nah, dengan ini tidak salah jika hukum di Indonesia terkesan bak pisau yang menancap ke bumi. Dalam kata lain, tajam ke bawah, akan tetapi tumpul ke atas. Hanya rakyat kecil saja yang ditindak sesuai hukum yang ada, sedangkan para petinggi negeri ini ditindak dengan uang. Pertanyaannya, apakah bisa kasus korupsi diberangus ketika penengak hukum masih doyan dengan uang suap? Tentu jawabnya tidak!
Atas dasar itulah, penulis merasa, sudah saatnya para elit bangsa ini, memikirkan tugas negara dalam persektif Sokrates tersebut di atas, terkait dengan membuat jiwa bangsa menjadi sebaik mungkin. Tentunya dalam hal ini, harus dimulai dari para elit bangsa dulu yang kemudian menjadi figur bagi rakyatnya. Logikanya adalah bagaimana bisa mewujudkan jiwa bangsa yang baik, jika watak para elit bangsanya masih tidak amanah dan amoral.
Juga hukuman yang menimbulkan efek jerah bagi para koruptor, dipandang akan lebih memungkinkan untuk menyelesaikan atau miminimalisir terjadinya tindakan koruptif. Seperti hukum yang dilakukan di China misalnya, para pelaku korupsi ditembak mati. Hal ini, akan menimbulkan efek jerah. Karena disadari atau tidak, para elit bangsa melakukan tindakan korupsi semata-mata untuk membuat jalan hidupnya tambah baik, dan tambah merasa nyaman sebab hidup dengan bergelimangan harta. Toh, hartanya yang banyak adalah hasil bertindak koruptif, akan tetapi mereka pura-pura tidak sadar. Ironis bukan!
*) adalah mahasiswa Theologi and Philosopy UIN
Sunan Kalijaga. Sekarang bergiat di LPM
Humaniush Fakultas Ushuluddin, Studi Agama
dan Pemikiran Islam.