Oleh : A. Rusliyanto)*
Kemarahan ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), Jeddah, Arab Saudi berujung ricuh. Peristiwa pada Ahad (9/6) lalu ini telah menelan satu korban tewas yaitu Marwah bin Hasan, TKI asal Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Kericuhan yang berujung aksi bakar di depan gedung KJRI Jeddah ini dinilai sebagai potret buruk kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan sekaligus menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah untuk mengurus dan melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kejadian ini tersebar ke seluruh dunia melalui media sosial dan Youtube. Insiden ini semakin memperburuk wajah Indonesia di luar negeri.
Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi tentang pemberian amnesti (pengampunan) terhadap Warga negera Asing yang melampaui batas waktu izin tinggal. Kebijakan ini, mampu menyedot kesadaran WNI dan TKI yang ada di Arab Saudi untuk bersegera mengurus surat izin imigrasi. Amnesti yang diberikan pada tanggal 11 Mei hingga 3 Juli memungkinkan pelanggar meninggalkan Arab Saudi dengan mandiri, tanpa didenda atau kena hukuman penjara. Kebijakan ini dimanfaatkan oleh WNI dan TKI yang melampaui izin tinggal, pekerja ilegal dan yang kehilangan paspor serta berikut kabur dari majikannya karena berbagai sebab.
Menurut data BPS pada tahun 2011, jumlah TKI di Arab Saudi mencapai 1,5 juta jiwa dan orang yang izin tinggalnya habis mencapai 124.000 jiwa. Jumlah itu tentu bertambah pada tahun 2013. Itupun belum terhitung jumlah mereka yang tetap berada di rumah majikannya tanpa paspor kerena hilang atau ditahan oleh majikannya.
Sebagian pihak mengatakan jumlah TKI yang ilegal mencapai 100 jiwa. Dari sekian banyak jumlah tersebut, yang melayani proses pemutihan ini hanya 200 orang. Jumlah pelayanan tidak seimbang dengan jumlah pemohon yang membludak. Lucu bukan?
Kelemahan inilah yang kemudian memicu emosi TKI. Puncaknya terjadi pada Ahad (9/6) lalu, ketika para TKI yang ngantre di Jeddah mencapai 12 ribu orang. Tak sulit membayangkan betapa kacaunya suasana proses pemutihan ini. Selain tanpa ada tenda untuk berteduh, TKI harus mengantre berjam-jam di bawah terik matahari yang mencapai 40 derajat celcius, berdesak-desakan menjadi keadaan yang pasti yang harus ditempuh oleh para TKI dalam mengurus surat pemutihan ini. Bertambah komplitlah penderitaannya. Wajar, jika emosi memuncak, berujung ricuh, menelan korban jiwa serta mengakibatkan banyaknya orang yang pingsan.
Ubah sudut pandang
Problem ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri memang sangat krusial. Bahkan sudah tak terhitung berapa banyaknya korban jiwa yang meninggal dunia akibat perlakuan tidak manusiawi para majikan di luar negeri. Ironisnya, pemerintah masih tenang-tenang saja. Ini karena pemerintah kita tetap melihat kondisi tersebut dari sisi keuntungan yang bisa diraup, bukan melihat dampak negatif yang terjadi. Pemerintah hanya memikirkan bahwa dengan banyaknya TKI yang bekerja di luar negeri, akan semakin memperbesar aliran devisa bagi Negara. Kehidupan perekonomian pun membaik. Dan itu berarti beban dan tanggung jawab pemerintah terkurangi.
Kasus demi kasus penyiksaan tenaga kerja Indonesia seharusnya menjadi cermin sulitnya para tenaga kerja kita untuk mendapatkan hak-haknya sebagai tenaga kerja. Kelemahan ini pasti bisa diatasi bila penguasa di negeri ini mau dan sungguh-sungguh membenahi masalah ketenagakerjaan kita. TKI diakui sebagai pahlawan devisa bagi negara, tapi nasib dan keberuntungan mereka di negeri orang tak diperhatikan. Bahkan tidak jarang terdengar ungkapan yang menyakiti hati para TKI: “Salah dia sendiri. Jika tak ingin susah, mengapa mesti mencari pekerjaan ke luar negeri.” Ini sebagai bentuk rendahnya perhatian pemerintah terhadap hak-haknya para TKI.Jadi, kalau persoalan yang menimpa tenaga kerja di luar negeri begitu ruwet dan tak pernah selesai, itu terjadi karena kondisi itu “dipelihara”.
Di satu sisi, keberadaan mereka di luar negeri bisa mendatangkan devisa bagi Negara. Tapi di sisi lain, nasib dan keberuntungan serta kisah-kisah pilu yang menyertai mereka tak dipedulikan. Mereka seperti sapi perahan. Setelah susunya diambil, nasib mereka lagi diperhatikan. Oleh sebab itu, pemerintah harus mengubah sudut pandang terhadap para TKI. Mereka jangan lagi dipandang sebagai sumber devisa bagi negara, tapi manusia yang harus terpenuhi hak-haknya sebagai seorang manusia. Para TKI adalah manusia ciptaan Tuhan yang sama derajatnya dengan manusia lainnya dan harus mendapat perlakuan yang sama pula di mana pun dia berada, tak terkecuali di Arab Saudi.
Langkah Prefentif
Celakanya pemerintah terkesan lambat menangani persoalan ini. Hal ini tercermin dari miskinnya apresiasi pemerintah akan tindak lanjut adanya pengumuman habisnya amnesti di Jeddah yang sudah diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Tenaga Kerja Arab Saudi Adeil Fakih sejak 10 April silam. Pemerintah lambat bersikap terhadap pengumuman tersebut yang meliputi amnesty atau pemutihan bagi seluruh warga asing tak terkecuali TKI. Inilah sikap setengah hati pemerintah dalam melindungi para pahlawan devisa. Implikasinya, TKI kerap kali menelan imbasnya.
Sesungguhnya waktu yang diberikan oleh pemerintah Saudi cukup longgar. Mestinya pemerintah dapat menyiapkan sistem pengurusan yang lebih baik. Tenaga pelayanan dilatih terlebih dulu, serta menyiapkan tempat yang layak. Mempersiapkan tenaga medis pula penting untuk dilakukan. Jika perlu, pemerintah menyediakan layanan antar jemput ke kantong-kantong tenaga kerja Indonesia. Sosialisasi juga dipandang penting supaya tidak terjadi kesalahan informasi tentang kebijakan amnesti yang digelontorkan oleh pemerintah Saudi.
Mengingat minimnya tenggang waktu tersebut, sekurang-kurangnya ada tiga langkah penting yang mesti dilakukan oleh pemerintah. Pertama, melakukan pelayanan darurat untuk mempercepat pengeluaran dukumen paspor. Hal ini dapat ditempuh dengan menambah loket pengurusan dan tenaga sukarelawan yang membantu masalah administrasi guna meminimalisir terjadinya antrean yang menjenuhkan. Selebihnya, menambah waktu pelayanan. Atau kalau perlu, pemerintah juga menyediakan layanan via online. Dalam arti pengisian formulir pendaftaran paspor dan surat perjalan laksana paspor ditempuh lewat online, upaya lebih meminimalisir terjadinya desak-desakan dalam antrean.
Kedua, pemerintah penting bersegera melakukan negosiasi perpanjangan waktu amnesti dengan pemerintah Saudi. Negosiasi dengan pemerintah Saudi ini dipandang penting sebab sebagai langkah diplomasi antarnegara untuk membantu WNI yang sudah habis masa izin imigrasi umumnya dan untuk para TKI yang tidak punya surat izin atau illegal khususnya. Setidaknya dengan negosiasi tersebut akan didapatkan kemufakatan diplomatif yang saling menguntungkan.
Ketiga, melakukan pembenahan internal, semisal mengusut sampai tuntas kasus suburnya TKI yang illegal. Membludaknya jumlah tenaga kerja Indonesia yang illegal tiap tahunnya, menunjukkan ada yang tidak beres dalam proses administrasi, pengiriman, dan pengawasannya. Fakta ini merupakan sebuah isyarah miskinnya evaluasi internal pemerintah terhadap mutu pelayanan dan profesionalitas pemerintah dalam masalah ketenagakerjaan. Perbaikan ini harus dimulai dari Tanah air. Namun kasus Jeddah harus tetap diusut dan mesti ada yang bertanggung jawab. Bukankah TKI adalah manusia sekaligus pahlawan devisa yang harus dilindungi?
)*Pemred LPM Humaniush, FUSAP. Penulis saat ini mengelola HumaniusH Institute UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.