”Kalau bisa, akan saya bangkitkan kembali hantu pak Harto.” Tak sengaja saya mendengar obrolan penjual dengan istrinya, kala membeli rokok eceran di sebuah kios kecil di tepi jalan. Dari lanjutan pembicaraan, lalu saya faham ihwal yang diobrolkan adalah rencana kenaikan harga BBM yang sedang gencar menjadi bahasan semua kalangan.
Beberapa bulan terakhir memang marak wacana pembangkitan sosok presiden kedua republik ini, Soeharto. Hingga mudah kita temu beragam poster dan pamflet gambarnya tersebar di berbagai sudut kota dan dunia maya. ”Piye kabare le? Penak jamanku tho?” Begitu bunyi tulisannya, dengan background presiden terlama Indonesia itu melambaikan tangan.
Dari sini saya menangkap “sebentuk” keresahan masyarakat bawah atas keadaan tak menentu seperti sekarang. Keruwetan dalam pengelolaan Negara dan perdebatan terkait kenaikan BBM sungguh melelahkan masyarakat yang menyimak, pun tak kunjung diputuskan. Masyarakat menunggu dalam ketidakpastian. Sementara wakilnya (DPR dan elit politik) seoalah sibuk dalam perdebatan yang “awam” tak faham pangkal-ujungnya.
Tak dapat dipungkiri, tatkala keresahan telah memuncak, manusia akan mencari sandaran. Melihat watak dasar sebagian masyarakat kita yang primordial, peredam keresahan yang paling dekat dan mudah adalah mistisme. Tempat orang awam bisa menumpahkan keluh kesahnya dengan “merdeka” dan tanpa ditagih konsekuensi kerja.
Dalam khasanah jawa ada istilah “Ratu Adil”, sosok yang dirindukan untuk memimpin masyarakat Nusantara kepada kemaslahatan dan keadilan. Keluar dari kemelaratan, lolos dari zaman “edan”, zaman dimana kalau “ora edan, ora keduman.” Dan yang dianggap Ratu Adil –tebakan saya- adalah wujud pemimpin seperti alm. Soeharto, sosok yang pernah membawa “ketentraman” dan “kestabilan” di bawah pemerintahan absolutnya.
Kritik agama Feuerbach, seorang filsuf ateis Jerman abad XVIII memperoleh relevansinya di sini. Kritik diarahkan pada agama yang menurutnya hanya sebuah proyeksi diri manusia, cerminan harapan dan keinginan kesempurnaan mahluk bernama manusia. Tapi bukannya mengusahakan kesempurnaan melalui kerja nyata, kaum beragama malah menyembah dan mempersonifikasikannya dalam bentuk Tuhan, sosok adiluhung, sosok di atas manusia yang punya kuasa tak terbatas. Bedanya, kritik Fuerbach mengacu pada Tuhan, sedang dalam konteks ini masyarakat mengacu pada hantu gaib yang bernama Soeharto, dengan harapan ia hadir dan memperbaiki keadaan.
Di sisi lain persaingan adalah satu hal yang tak dapat dihindarkan dalam perdagangan. Akan selalu ada persaingan. Itulah hukum yang diundangkan bapak ekonomi dunia, Adam Smith. Tak luput juga si pemilik kios ini.
Sekilas, terlihat kaca etalase kios tersebut mengusam. Beberapa bungkus roti dan snack tampak berdebu. Pertanda sirkulasi barang dagangannya seret, minim pembeli. Meski kalau diperhitungkan, sebenarnya letak kios itu cukup strategis; di pinggir jalan, kiri-kanan Rumah Makan, ditambah banyak kos-kosan mahasiswa disekitarnya. Tempat yang strategis untuk berjualan barang eceran kebutuhan harian.
Tapi tampaknya bukan ia saja yang melihat kesempatana ini. Sujurus jalan sekitar 30 meter kemudian, berdiri sebuah Indomart, bersih, benderang, dan menyediakan kebutuhan yang lebih lengkap. Dalam jarak yang sama, disebelah kanannya berdiri sebuah Alfamart, dengan kondisi tak jauh beda dari pesaing pertama.
Kiosnya sepi, di tengah lalu-lalang orang yang seharusnya bisa mampir barang sebentar untuk berbelanja kebutuhannya. Tapi, seolah tangan-tangan gaib pun telah menuntun mereka pada pintu toko yang lebih terang, sekalipun mahal. Menguras seisi rak yang ada di sana yang sedia 24 jam.
Akhirnya, sebatang rokok saya nyalakan. Sambil menerka-nerka apa yang mereka fikirkan ketika penghasilannya berkurang, sedang harga barang dagangan melonjak seiring naiknya harga bahan bakar.
@Jamaludin_ahmd