Home - Perdamaian dan Stereotipe Bangsa

Perdamaian dan Stereotipe Bangsa

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Hamdhani *)

Konon, bangsa kita -bangsa Indonesia, adalah bangsa yang cinta damai, dan mempunyai perangai yang santun, ramah dan peduli terhadap sesama. Disamping juga, negara Indonesia disebut-semacam- “cewek seksi” yang menjadi bahan lirikan oleh negara-negara lain. Hal ini, tentunya karena potensi bumi Indonesia yang gemah ripa loh jinawi. Dengan demikian, Indonesia kemudian mengundang keinginan banyak orang asing untuk datang berbondong-bondong, dalam rangka memperebutkan potensi yang dimilikinya.

Hal diatas, dalam satu sisi patut dibanggakan, di lain sisi dapat dikata sebuah kemirisan. Bisa dibanggakan sebab Indonesia menjadi negeri yang diistimewakan, miris karena potensi yang dimiliki Indonesia banyak direnggut oleh bangsa asing, dan dibawa pulang kenegaranya masing-masing. Dengan hal itu kemudian juga tidak menutup kemungkinan, kabar tentang cinta damai, keramahan sikap, dan santunnya bertindak mulai terdengar di seantero dunia, bahkan semua negara nyaris mengakui hal itu. Ini merupakan prestasi Indonesia tempo dulu, dalam membingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akan tetapi, ketika kita membenturkan dengan kenyataan saat ini, maka timbul keganjalan-keganjalan yang sulit untuk ditepis. Sehingga melahirkan pertanyaan sangat mendasar. Pantaskah saat ini bangsa Indonesia menyandang predikat yang telah disebutkan diatas? Jawabnya pasti tidak! Sebutan bangsa yang santun, ramah dan cinta damai, saat ini bagi bangsa Indonesia adalah sudah menjadi percik-percik sejarah yang tercecer dan menjadi sisa-sisa prestasi yang lampau.

Sudah menjadi realitas yang tak terbantahkan, kekerasan di Indonesia serupa berputarnya jarum jam, yang senantiasa berputar mengelilingi angka-angka dalam waktu. Dari fenomena ini, seakan-akan bangsa Indonesia sudah kehilangan jati dirinya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, salah satu ciri khas bangsa Indonesia adalah cinta damai, bukan cinta kekerasan. Akan tetapi budaya cinta damai mulai tergerus, tergantikan tradisi baru; tradisi kekerasan. Hal ini, membutuhkan penanggulangan serius atau sekurang-kurangnya diminimalisir.

Untuk mengembalikan jati diri bangsa yang sudah pudar, kata ke’damai’an menjadi pilihan yang tepat. Namun perlu diketahui bersama, masalah perdamaian tidak hanya menjadi solusi bagi terciptanya jati diri bangsa yang hilang seiring berjalannya waktu. Akan tetapi juga menempati posisi dari enam deretan persoalan global yang tengah berkembang saat ini. Terkait dengan enam isu global tersebut, diantaranya adalah masalah kemiskinan, peaceful (masalah perdamaian), population (masalah populasi penduduk), pollution (polusi), crime (kejahatan, kriminalitas) dan terkait masalah konflik sosial.

Dari beberapa persoalan global diatas, penulis akan lebih fokus membahas dan memberikan analisis terhadap persoalan peaceful an sich. Hal ini, berangkat dari hemat penulis bahwa perdamaian cukup urgen untuk dibahas dan digalakkan. Bukan hanya bagi bangsa Indonesia, melainkan juga bagi seluruh warga dunia, merasakan kehidupan yang damai, aman dan tentram menjadi cita-cita bersama. Dan tentunya, ini merupakan harapan yang tidak bisa diganggu gugat dan tidak dapat ditawar lagi.

Alih-alih negara kita, akhir-akhir ini, banyak menuai prblem, mulai dari sestem pemerintahan sampai pada pada tipologi kehidupan rakyatnya yang lebih mengedepankan otot dari pada otaknya. Sehingga ujungnya kekerasan menjadi bumbu pemanis media. Selalu saja persoalan kekerasan selalu menempati halaman terdepan di media. Ini tidak harus dibiarkan, apalagi bersikap skeptis dengan persoalan yang telah mengakar di negri ini.

Disadari atau tidak, problema tersebut sebenarnya dipicu oleh faktor ekonomi, politik dan kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama. Ekonomi menjadi titik sentral dari persoalan ini, sebab ekonomi seserang bisa melakukan apapun saja, bahkan menghalalkan segala cara. Selain itu juga faktor politik rentan memicu terjadinya konflik namun semua itu masih belum seberapa, dibandingkan persoalan agama. Agama kerap kali memicu terjadinya konflik yang berujung kekerasan. Misalnya beberapa bulan yang lalu Indonesia di gembar-gemborkan dengan konflik Cikuesik. Dalam hal ini, agama menjadi pemicunya. Akan tetapi jika ditelisik lebih mendalam tiga faktor itu seolah-olah menjadi mutualisme yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Jika kita mau merenung sejenak, betapa sangat lucu. Padahal semua agama tidak ada yang mengajarkan tentang kekerasan, akan tetapi mayoritas agama sepakat dengan kedamaian. Nah, berangkat dari hal itu kemudian maka dapat diambil kesimpulan sementara, bahwa pemahaman bangsa kita terhadap agama masih bisa dikata sangat minim. Artinya nilai-nilai yang terkandung dalam agama tidak sepenuhnya didapatdan diaplikasikan pada tindakan riil. Akan tetapi lebih mengedapankan sifat eganya masing-masing, sehingga yang terjadi adalah pertikaian dan permusuhan yang berujung saling intrik dan tindak kekerasan menjadi endingnya.

Disadari atau tidak, segala persoalan yang menimpa negri ini adalah tanggung jawab kita bersama. Tentunya membutuhkan uluran tangan untuk segera diakhiri. Untuk solusi sekurang-kurangnya ada tiga. Pertama, memulai dari diri sendiri. Artinya diri sendiri dulu menumbuhkan sprit perdamaian dengan diaplikasikan dalam tindakan nyata. Misalnya tidak saling memarjinalkan, tidak saling menyalahkan. Yang dengan hal itu kemudian penulis optimis akan menjadi kesadaran kolektif.

Kedua, dengan melalui pendekatan sosial. Sangat penting juga bagaimana membangun komunikasi yang erat. Karena dengan komunikasilah konflik dan kekerasan acap kali terjadi. Tentunya pendekatan sosial disini, dapat ditunjukkan dengan berbagai hal. Misalnya dengan melalui sentuhan-sentuhan sosial. Artinya pengayoman terhadap kaum minoritas, kaum yang dimarjinalkan.

Ketiga, dengan melalui pendekatan ekonomi. Mungkin ini yang sangat penting, pemerintah harus lebih respek terhadap masalah ekonomi bangsa. Lebih mengayomi dan menyediakan lapangan kerja yang layak, yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab ketika masyarakatnya kurang sejahtera maka tentu saja rawan terjadinya konflik dan kekerasan didalamnya. Dampaknya, masyarakat akan apatis dengan wacana-seruan tentang perdamaian.

*) Mahasiswa Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, sekarang

menggeluti taqdirnya sebagai PU LPM Paradigma.