Oleh : Muh. Syaiful Ashari*)
Tubuhku adalah sawah yang mencintai musim hujan.
Sebab, butir- butir hujan adalah benih yang tumbuh.
Bahu dan pematang jalan nan rindang akan pepohonan.
Menjadi harapan tempat resapnya sumber penghidupan.
Matahari membuat aku hijau bagai birahi seorang ibu
yang memekarkan bunga dan semak.
Juga membuatku jingga dengan campuran kicau emprit, derik jangkrik
dan desah lumpur atau geliat kodok sawah.
Disaat begini, aku sering tertawa walau tak sempat terbahak.
Atau mungkin sedikit menyisakan bahagia meski tanpa gelak tawa.
Karena pepohonan menjelma menjadi pertokoan dan hunian.
Tanpa resapan yang jadi harapan.
Ah…. aku mungkin ingin jadi petani saja.
Aku menikmati bersenda bersama pematang.
Serta bercumbu dengan cangkul dan pangkur.
Aku ingin menjadi petani saja.
Karena aku begitu mencintai hasil bumi.
Dan bahagia membawa padi.
Sebab pada padi aku bisa mencipta.
Sekaligus padanya aku dapat rebahkan raga
yang mengemis ampun pada jahatnya zat berbahaya.
Masih adakah rawa yang bisa kutaklukan?
Agar mampu kuselami bibit kehidupan dan penghidupan yang lain.
Masih adakah pohon yang dapat kusadap?
Agar aku bisa mencuri air surga.
Untuk mengaliri pematang liarku yang beralur licin dan melingkar.
Seakan seolah mengerti ada siklus yang tak boleh putus dan terhapus.
Aku memang ingin jadi petani saja.
Petani dengan hasrat sabar membimbing kerbau pikun dan lupa jalan.
Petani yang menanam diri sendiri.
Di sawah sendiri.
Meski terkadang memanen lukanya.
Juga dengan sendiri.
*) Penulis adalah mahasiswa Semester II, jurusan Agroteknologi, Universitas Merdeka Madiun. Tinggal di Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi.