Oleh : Nurul Ilmi El-Banna *)
Ketika Hujan
Gerimis jatuh sakit
mata langit ikut menangis
Pipimu makin basah
Sembab air mata merambat kemana-mana
Ke kali kecil
Ke selokan
Ke sungai
Gajah Wong yang tangguh mulai gaduh
Riuh darah bumi-menghanyutkan
Awan berkabung atas kematian matahari
Orang-orang masih tak peduli
Sampai angin menikahi dingin; bersekutu di udara
Kita terpenjara di kain selimut
Seperti Ikan-ikan kolam kedinginan
“hai orang-orang yang berselimut”
Sapa Jibril
Aku pura-pura tak memasang telinga
Yogya, 08 Juni 2013
Solo
Solo dari mataku yang jauh
Adalah kota asing-persinggahan pulang dan pergi-
Udara dan tanah ber kongkalikong menipu sunyi
Tapi bagi penyair itu
Solo adalah hatinya yang beku
Tentang takdir melafad kata-kata
Tembang jawa; menggugah
Solo, bagiku dan baginya
Adalah angin musim yang tak searah
Satu amat perkasa
Yang lain merana
Solo,
Stasiun Balapan di hadapan; kupandang
Jalan-jalan tak berpintu dalam ingatan
Stasiun Balapan, 11 Mei 2013
Penjaja Kopi
Supardi, si tukang kopi
Orang lebih mengenal baju kumal dari pada namanya
Tubuhnya kekar renta oleh asap yang senantiasa mengepul
Langkah panjang tapi pelan di tengah lalu lalang
“tinggal pilih mau yang panas apa dingin” katanya
Api menyala dari mata itu
Menghangatkan serbuk kopi di tanganku
Kubeli dengan semangat menghijau
Usailah kemarau yang mengering di dada
Supardi, bapak kopi
Bulan temaram memantulkan peluh, tak kau sadari
Surga-surga telah kau gadaikan pada rupiah
Kau aduk-aduk Malioboro dalam gelas
Makin malam; sudah setumpuk gelas kau aduk
Malioboro segera mencair
Membunuh malam-malam kemarau
Supardi, berwajah Kopi
Aku titip kesunyian dalam gelas
Biar api yang menjilat-jilat di matamu mematangkan jarak
Malioboro, 15 Juni 2013
Kereta Pertama
Pernah terlintas kupasang badan untuk pulang dengan kereta
Sampai tangan kekar menjumput debu-debu tubuhku
Ditiupkan bersama udara yang bising oleh puisi.
Di sudut stasiun mimpi mengalir
Menyesakkan ruang tunggu yang sepi
Kujabat erat tangannya dan kusebut sebuah nama
Perkenalan pertama untuk kereta pertama pula
Bukan untuk pulang, melainkan mencari sisa kata-kata ke kota tua
Lantas,
Dimana tiket untuk kereta pertama ini?
apakah dalam detak jantung rel?
Menggelepar
Nyaliku ciut, kubayangkan besi-besi karat itu menggemeretakkan gigi-giginya
Sepanjang jalan
Kuputuskan berangkat saja
Menggelayut di gerbong prameks
;yang telah menelan dan memuntahkan ribuan orang
Berdialog dengan pohon-pohon yang berkejaran
Yogya-Solo, Mei 2013
Pulang Ke Jogja
Gereja di samping hotel mematung
pucat; beku lantaran dingin
Sepanjang jalan orang-orang berseliweran
Menutup luka-luka lama aspal yang menghitam
“kita harus bergegas mengejar kereta”
Ucapmu
sedang bulan terlambat pulang ke peraduan
Wajahnya tak lagi penuh cahaya sebab terbangun di pagi buta
Yogya di depan mata
Menjelma lautan
Siap menenggelamkan musim
lampu-lampu redup di taman
Tualang pulang ke peraduan
Perlahan gesekan rel menjahit luka
menanggalkan jejak tak sempurna
Solo-Yogya, 12 Mei 2013
*) Penyair kelahiran Sumenep, Madura. Menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisinya dimuat di beberapa media: Radar Surabaya, Minggu Pagi, Radar Madura, Kompas.com, Buletin Jejak FSB dll. Karyanya terkumpul di Antologi Bersama Sebab Cinta “Lomba Penulisan Puisi Jogja II” (2013), 7 Dalam Memoribilia (2011) dan Simfoni Rindu (2012). Kini tekun menulis puisi untuk antologi dengan judul langit hijau di Banuaju (dalam proses). Email: nurul.ilmi21@gmail.com