Ia telah datang, sebagai “ruang”, sebagai “suasana”, Ramadhan. Lalu seperti tahun-tahun sebelumnya, masyarakat berebut tepat untuk berucap “Marhaban Ya Ramadhan”.
Mensiasati “perebutan” ini, pemerintah mengusahakan sebuah “jalan tengah”. Beberapa hari lalu melalui Kementrian Agama, mengadakan sidang Isbat penentuan jatuhnya tanggal 1 Ramdhan 1434 H. Dari pertemuan tersebut didapat sebuah keputusan, awal Ramadhan jatuh pada hari Rabu, 10 Juli 2013. Meski pada kenyataannya juga tak semua elemen yang hadir menjalankan.
Seperti tahun-tahun yang lalu, beberapa elemen masyarakat menjalankan ibadah puasa ada yang mendahului dan mengahirkan dari hari yang ditentukan. Melihat gempita sambutan masyarakat atas datangnya Ramadhan (disertai berubahnya menu masakan, jadwal, Media hingga perilaku keseharian) bisa ditarik satu kesimpulan, Ramadhan adalah istimewa, adalah suci, adalah penuh ampunan seperti ceramah para ulama.
Setiap hati terasa longgar, ringan mengucap-menerima maaf, demi moment yang penuh ampunan ini. Orang berharap kembali suci, dalam bulan yang suci. Setiap shoim-orang yang menjalankan ibadah puasa-berusaha menahan hawa nafsu, emosi dan entah menahan apalagi. “Pokoknya bulan ini harus spesial” begitu kira-kira, berbeda dengan hari-hari biasa.
Hal ini menakutkan. Kalau benar ketika menjalankan puasa para shoim bersikap berbeda dari biasa, fenomena ini bisa jadi menyerupai sebuah Kamuflase. Suatu upaya untuk menjadi lain, berbeda dan tidak dikenal. Orang berubah dari perilaku biasa keseharian, menjadi “spesial”-kita biasa menyebutnya sholeh– meski paling lama cuma sebulan.
Ramadhan datang membawa segala “suasana”, kelapangan, kesakralan dan sebuah sisi lain, Kamuflase. Sebuah topeng yang menimbun wajah asli, menutupi perilaku apa adanya. Sebentuk ritus juga sebuah “ruang”, kosong dan miskin makna atasnya.
Seperti bahasa, ritus adalah wadah kosong. Sebuah “ruang” yang perlu kita isi dengan makna. Dalam hal ini ia adalah-meminjam teori Saussure-“penanda”. Wujud atau badan yang mewakili dan merepresentasikan suatu hal lain. Bentuk yang membutuhkan “petanda” sebagai isinya.
Bahasa juga mempunyai kemungkinan untuk menipu, melenceng dari makna asal dan kenyataan. Seperti lip service yang biasa digunakan para birokrat kita. Mungkin juga argumen yang dilontarkan oleh terdakwa KPK untuk memebela diri. Sebagai laku, ia ibarat sebuah pencitraan belaka. Tak lebih dari sedekah Parpol dan cover pakaian artis yang “mendadak” tertutup tatkala Ramadhan tiba, mendongkrak popularitas.
Ramadhan memang membawa “suasana”, kondisi yang mendorong untuk tenggelam di dalamnya.”Suasana” yang terkadang menghantar pada ketidaksadaran, terbatas dalam melihat realita. Dalam “suasana” ini orang cenderung ingin sakral, tak mau diganggu dengan hal-hal yang bersifat dunia. Warung makan dilarang buka siang hari. Tempat hiburan malam dilarang buka semasa Ramadhan, demi menjaga “suasana” khusuk muslimin berpuasa.
Bukan ritus secara fisik yang akan merubah perilaku. Menutur QS Al-Ankabut ayat 45, tentu bukan rukuk dan sujud dalam Sholat yang akan membuat manusia ber-“amar ma’ruf nahi munkar”. Bukan pula menahan haus dan lapar dalam puasa yang serta merta membuat manusia bertaqwa seperti tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 183. Senyata tahanan KPK,yang muslim dan rajin sholat serta puasa, mungkin juga terpidana dan PSK. Ada aspek dalam ritus yang tak terjamah, “petanda” yang bersifat substantif.
Mengutip dari sebuah puisi Gus Mus, Nasehat Ramadhan, “perut yang kosong dan tenggorokan yang kering barangkali hanya penunggu atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa.” Semua hal tersebut hanya ritus, sebuah “penanda.” Dan “petandanya”, “hanya kau yang tahu, hasrat dikekang untuk apa dan siapa.”
“Inilah bulan baik, saat baik untuk merobohkan berhala dirimu, yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi kau puja selama ini.” @Jamaludin_ahmd