Home - “Suka-suka Gue”, Potret Germa Saat Ini.

“Suka-suka Gue”, Potret Germa Saat Ini.

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Reformasi 98 menjadi momen terakhir dimana semua gerakan mahasiswa bersatu. Foto diambil dari m.lensaindonesia.com


Semangat sektarian menjadikan gerakan mahasiswa kehilangan kekuatanya.

lpmarena.com, Panitia Ramadlan bil Jami’ah (RBJ) Lab. Agama UIN Suka menyelenggarakan lesehan ramadhan selama enm hari, yaitu mulai rabu (10/7) hingga Selasa (16/7) di taman Lab. Agama UIN Suka.

Pada Lesehan Ramadlan hari kedua kemarin, kamis (11/7) panitia RBJ mengusung tema Menyikapi Kidung Ideologi “suka-suka gue”. Sebagai pembicara, panitia mendatangkan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Himpunan Mahsiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), serta Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Namun dalam kesempatan itu aktivis PMII tidak hadir. Sehingga yang member ulasan tentang tema terkait hanya dari HTI dan HMI MPO.

“Teman-teman yang ada di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan di tempat-tempat lain mengalami kegelisahan yang sama. Gerakan mahasiswa hampir mati,” tutur Hasbi, aktivis HTI.

Menurutnya, hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, Tidak adanya kesatuan cara pandang. Kedua, Sistem pendidikan kampus yang mengarahkan mahasiswa untuk fokus menyelesaikan kuliah. Ketiga, Budaya bebas, khususnya dalam hal informasi yang cendrung menjadikan mahasiswa lebih suka mencari hiburan. Keempat, Mahasiswa tidak memiliki blue print atau desain yang jelas tentang penyelesaian persoalan-persoalan sistemik yang ada.

Pemuda kelahiran Makasar ini secara tegas menyampaikan, budaya “suka-suka gue” merupakan pengejawantahan dari budaya Barat lewat sistem kapitalisme yang mencengkram bangsa Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Kamal, pembicara dari HMI MPO. “Basik struktur masyarakatnya adalah kapitalis, maka masyarakat akan individualis,” ungkapnya.

Kamal menambahkan bahwa setiap organisasi memang pasti memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tapi hal itu jangan sampai membuatnya abai terhadap nasib masyarakat sekitar atau dengan kata lain terjebak pada budaya “suka-suka gue”. [Noer Hasanatul Hafshaniyah]

Editor : Folly Akbar