Jauh hari Sigmun Freud-pendiri mazhab Psikoanalisis ilmu Psikologi modern-telah mengingatkan bahwa kemajuan peradaban yang dicapai manusia sejauh ini sesungguhnya tidak membantu apa-apa. Pernyataan ini dilontarkannya tahun 1930, dalam buku Civilization and Its Discontens. Disini ia banyak memaparkan persoalan kekecewaan dan kebahagiaan dalam peradaban manusia.
Boleh saja sebagian orang berasumsi, perkembangan peradaban dewasa ini telah banyak meningkatkan kualitas hidup manusia. Segala aktifitas dan kegiatan jadi lebih efektif dan teratur. Kebutuhan apapun bisa dipenuhi dengan mudah dan tuntas. Tapi, justru hal inilah yang masih dipertanyakan Freud.
Tanpa menutup mata, tentu saja kita setuju bahwa semua pencapaian peradaban dewasa ini layak dipredikati sebagai kemajuan, setidaknya dalam Sains dan Tehknologi. Hal konkretnya bisa kita lihat dari gaya hidup manusia sekarang. Guna memotong jarak, beragam kendaraan ditawarkan. Dari yang tradisional seperti becak dan sepeda, bermotor hingga  mesin canggih kereta listrik dan pesawat.  Belum  fasilitas lain, media komunikasi dan informasi.
Meski Freud tak sempat melihat langsung, penemuan internet pada awal 1970 yang telah merubah wajah dunia. Prestasi besar Sains-sebagai pasangan setia tehknologi- membawa banjir informasi pada seluruh dunia, hingga membuat “mabuk“seisi planet. Bagaimana tidak, seluruh kegiatan manusia kini tertumpu padanya. Dari perdagangan, komunikasi, belajar hinga yang remeh seperti ngobrol dan sekedar “iseng”-googling biasa orang meyebutnya-menjelajah dunia maya.
Persoalannya, benarkah segala kemajuan serta ketersediaan segala fasilitas penunjang memberi kebahagiaan pada manusia? Atau sebaliknya, hanya aspek sekunder  yang  membelenggu dan mengamputasi potensi manusia.  Ketika kaki  diganti roda, daya ingat ditukar mesin penyimpan berwujud micro- chip.
Patut diingat, maksud utama penggunaan alat transportasi ialah membantu aktifitas manusia. Lebih tepatnya, hal-hal yang tak mampu dilakukan oleh tubuh atau sekiranya berat untuk dilakukan. Tapi, kebiasaan menggunakan fasilitas ini menjadikan ketergantungan hingga mensubordinasikan organ tubuh.
Tinjauan secara psikologis, ini berakibat buruk pada emosi dan dorongan libido seseorang. Freud mengatakan, olah tubuh adalah salah satu wahana libido dipuaskan. Minimnya olah tubuh akan mengakumulasikan libido seseorang,  wahana pemenuhan dorongan dasarnya diputus.  Mengendapkan  keresahan yang diistilahkan Freud “penderitaan”, karena tak dipenuhinya kebutuhan pemuas dorongan, libido.
Dalam ranah lebih kompleks, kemajuan tehknologi komunikasi memasang jerat “candu” manusia modern. Fenomena terdekat bisa dilihat dalam dunia pendidikan. Dalam ranah akademik, komunikasi hingga rutinitas harian.
Candu internet kian kentara tatkala dijadikan wahana berekspresi. Menuangkan keluh kesah, ide serta spontanitasnya. Internet menyediakan wahana untuk ide bisa segera dituangkan, juga ruang bertukar fikiran, meskipun tidak semua. Berdasarkan beberapa penelitian, tulisan dalam internet cenderung dangkal.
Efek dominonya, subjek pengakses info dan gagasan di internet menyerap pengetahuan instan tersebut, tanpa penelusuran lebih lanjut. Ini menjadi masalah, kinerja otak menumpul dalam meyaring dan menghasilkan ide. Kebiasaan melontarkan persepsi sepatah-patah dijejaring sosial, tak berpangkal-ujung.
Kebiasaan menggunakan dunia maya untuk bersosialisasi juga member dampak. Kini, melihat orang duduk bareng ditempat umum dan masing-masing sibuk menyimak gadgetnya bukan hal aneh. Internet sebagai wahana sosialisasi malah membuat manusia asosial disatu segi.
Lebih jauh pengaruh internet merambat pada instrument yang digunakan-biasa disebut gadget. Disamping kemudahan akses data, gadget menjadi alat penyimpanan berwujud kartu memori  dalamnya. Daya ingat manusia ditumpulkan bermacam gadget yang tak lepas  kita genggam setiap harinya. Kemajuan yang kita sebut anugerah seolah menjadi sebaliknya. Sebab daya otak terdegradasi fungsinya.
Atas segala-yang dianggap-perkembangan peradaban ini tampaknya harus direnungkan kembali. Sebagai manusia; mahkluk yang berfikir, bekerja dan berperadaban. Mengutip anekdot yang digunakan Freud  “ bagai menjulurkan kaki keluar dari selimut di malam musim dingin dan menariknya lagi.” Jangan-jangan, semua perkembangan peradaban ini semu belaka, malah  “meloloskan” kebutuhan dasar manusia.
@jamaludin_ahmd