Home - Andai Dia Seorang Muslim

Andai Dia Seorang Muslim

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Esa*)

Inilah kali pertama aku bertemu dengan Erik. Waktu itu Erik menolongku dari tiga pemuda mabuk yang mengganggu. Aku takut sekali. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku terus beristighfar, semoga segera terhindar dari bahaya ini. Untunglah, Allah mendatangkan Erik. Ia muncul secara tiba-tiba dan menolongku. Awalnya Erik bicara baik-baik, namun ketiga pemuda mabuk itu sama sekali tidak menggubris. Erik pun sempat baku hantam dengan mereka.

“Apa lu terluka?” Tanya Erik.

“Ti.. tidak. Terimakasih telah menolongku.”

“Gue Erik,” katanya sambil mengulurkan tangan.

“Noura,” jawabku sambil menangkupkan kedua telapak tangan.

Erik kembali menurunkan uluran tangannya. Sebisa mungkin aku tidak menatap matanya. Semoga dia mengerti dengan sikapku.

“Mau gue antar pulang?”

Deg! Seumur hidup, baru kali ini ada laki-laki yang bukan muhrimku menawarkan diri mengantarku pulang. Selama ini aku hidup di lingkungan yang sangat agamis. Tidak ada laki-laki dan perempuan bergaul tanpa hijab. Aku menikmati hidupku. Justru dengan pembatasan seperti ini membuatku lebih tenang menjalani kehidupan.

Aku masih berpikir tentang tawaran Erik. Apa yang akan tetangga katakan ketika aku pulang saat gelap begini diantar seorang laki-laki yang bukan muhrimku? Terlebih apa yang harus aku katakan kepada Allah? Hatiku bimbang.

Hari ini aku terpaksa mengajar les lebih lama karena menggantikan pengajar lain yang kebetulan tidak bisa mengajar anak bimbingannya. Awalnya aku menolak. Tapi aku kembali berpikir, apa salahnya memberikan bantuan yang itu artinya aku harus pulang agak malam.

Sebenarnya saat aku pulang, ada yang bersedia mengantarku, tapi aku menolak tawaran kakak laki-laki dari anak yang aku bimbing hari ini. Angkutan umum yang biasa membawaku sampai rumah tidak kunjung datang. Aku pun memilih untuk jalan kaki saja daripada terus menunggu dan sampai rumah kemalaman.

Setelah kejadian tadi aku sedikit takut pulang sendiri.

“Baiklah.”

Aku naik ke boncengan motor gede Erik. Pertama kali aku duduk di belakang seorang laki-laki yang jelas bukan muhrimku. Selama perjalanan, aku terus beristighfar. Erik membawa motornya pelan. Mungkin dia paham kenapa aku lebih memilih berpegangan ke sisi motor.

“Terimakasih. Assalamu’alaikum,” kataku begitu turun dari motor Erik.

Aku tidak menatapnya lagi. Hatiku benar-benar tidak karuan. Bukan hanya karena merasa bersalah, tapi juga perasaan lain yang.. jangan-jangan.. Apa? Cinta?

[]

Setelah kejadian itu, aku kembali bertemu dengan Erik. Perlahan, kami mulai akrab. Sikapku sudah tidak kaku lagi terhadapnya, tapi tetap aku membatasi diri bergaul dengannya. Aku lebih sering menolak ajakannya pergi berdua. Beberapa kali penolakan, Erik seperti paham dan hari-hari selanjutnya dia menghormati prinsipku.

Suatu sore saat aku baru selesai shalat ashar di masjid dekat kantor mengajarku, Erik tiba-tiba muncul di depanku. Aku cukup terkejut dengan kedatangannya. Biasanya dia selalu memberitahuku terlebih dahulu saat akan bertemu.

Aku lihat kalung salib yang menggantung di dadanya. Erik memang non Muslim. Aku berusaha berteman dengan siapapun sepanjang itu tidak mengganggu iman masing-masing.

“Noura, aku ingin ngomong sama kamu,” kata Erik yang sejak aku mengenalnya lebih dekat, dia mengubah gaya bicara gue-elo-nya.

“Ngomong saja.”

“Jangan disini. Aku ingin ngomong di tempat lain.”

“Katakan Erik.”

Dia tampak ragu. Sebenarnya apa yang akan Erik katakan? Aku penasaran dibuatnya. Dia menggaruk kepalanya dan melihat sekeliling. Keragu-raguan jelas terlihat dari air mukanya. Beberapa orang yang selesai melakukan shalat ashar berjama’ah melihat kami dengan sorot mata penuh tanya. Erik menelan ludah. Sepertinya berat sekali apa yang akan dia katakan.

“Aku.. aku mencintaimu. Maukah kamu menjadi pacarku?”

[]

Tiga hari ini aku bimbang. Hari ini aku harus memberikan jawaban kepada Erik. Aku tahu pacaran itu dilarang. Tapi entah kenapa saat Erik menyatakan rasa sukanya padaku, aku memberikan tenggang waktu tiga hari untuk menjawab perasaannya.

Seharusnya aku langsung menolaknya. Terlebih lagi dia bukan seorang Muslim. Keluargaku pasti menentang keras.

Aku sudah shalat istikharah, memohon petunjuk kepada Allah. Tapi aku belum menemukan titik terang. Aku masih buntu. Aku masih belum menemukan jawaban apa yang seharusnya aku berikan. Sejujurnya aku juga mencintai Erik. Tapi dia bukan seorang Muslim. Aku tidak bisa mencintai Erik sepenuhnya. Apa aku harus membohongi diri sendiri? Aku tidak ingin Erik pergi. Tapi menerima cintanya juga mustahil bagiku.

[]

Taman Kota selalu ramai setiap sore. Aku duduk di bangku taman bersama Erik. Aku lebih banyak diam dan menundukkan pandangan. Erik juga hening sepertiku. Matanya menerawang jauh ke awan-awan. Aku bingung harus memulai darimana.

“Bagaimana, Noura?” Tanya Erik memecah keheningan.

Aku menelan ludah. Selain bingung, aku juga harus mencari jawaban yang tepat. Aku tidak ingin menolaknya, aku tidak ingin dia pergi, tapi…

“Nikahi aku jika kau mencintaiku.”

Apa aku gila? Erik bukan seorang Muslim dan aku memintanya untuk menikahiku? Aku mungkin gila. Aku buta karena cinta. Perasaan tidak ingin kehilangan Erik begitu besar. Apa yang terjadi denganku?

Erik serius dengan perasaannya. Besok hari, Erik datang ke rumahku, bermaksud untuk melamarku, menjadikanku istrinya. Erik tidak menutup-nutupi dirinya. Dia bersikap jujur dan apa adanya. Dia bahkan tetap memakai kalung salib perak yang berkilau di dadanya.

Orangtuaku menolak lamaran Erik. Mereka bersikap bijak dan menjelaskan bahwa aku tidak bisa menikah dengan pemuda non-Muslim. Erik terus memohon agar bisa menjadikanku istrinya. Aku hanya melihat Erik dari balik tirai dengan berjuta perasaan.

“Apa kau mau memeluk Islam sebelum kau menikahi putriku?”

Erik terdiam. Dia tampak ragu. Erik, apa yang akan kau lakukan?

“Beri saya waktu untuk itu.”

“Pastikan kau masuk Islam karena keinginanmu sendiri, bukan karena Noura atau siapapun itu,” pesan orangtuaku sebelum Erik pulang.

Setelah itu, aku banyak diceramahi oleh orangtuaku. Aku tahu ini salah. Tapi perasaan ini… Aku hanya diam mendengarkan nasehat mereka.

Noura, ikutlah denganku membangun rumah tangga yang penuh cinta.

Pesan dari Erik malam harinya. Apa yang dia pikirkan? Dia mengajakku kabur? Apa dia gila? Aku hanya menatap pesan itu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ponselku kembali berbunyi.

Aku menunggumu di Taman Kota.

Erik.. Dia menungguku. Apa yang harus aku lakukan?

[]

Noura telah memiliki satu anak yang begitu menggemaskan. Usianya baru dua tahun. Dia hidup bahagia bersama Erik, suaminya. Sejak dia memutuskan untuk kabur, dia menutup segala akses dengan keluarganya. Dia pergi jauh. Dia memilih jalan hidupnya.

Erik menikahi Noura di gereja dan untuk pertama kalinya Noura melepas jilbabnya di depan orang-orang yang bukan muhrimnya.

Noura tetaplah Noura walaupun dia rela menukar iman demi cinta.

[]

Noura memang telah berubah. Dia bukan lagi orang yang percaya bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Bertahun-tahun Noura hidup dalam jalan yang telah dia pilih. Kehidupan rumah tangganya bersama Erik selalu bahagia. Erik tipikal suami yang begitu menyayangi istri. Noura beruntung memiliki suami sebaik Erik. Suami yang tidak tergantikan.

Bertahun-tahun berubah belum tentu mengubah segalanya. Begitu juga dengan Noura. Hati kecilnya ingin sekali kembali ke jalan yang dulu. Dia rindu lantunan ayat-ayat suci. Dia rindu bermunajat dengan Ilahi Rabbi di sepertiga malam.

Noura selalu bangun saat adzan subuh berkumandang. Dia ingin menangis mendengar lantunan indah itu. Tapi begitu melihat sang suami yang tertidur damai di sampingnya, Noura memutuskan untuk menafikkan perasaannya sendiri.

[]

Kedua buah hati Noura mulai beranjak remaja. Anak pertama, seorang laki-laki yang begitu mirip sang ayah. Usianya 17 tahun, kelas 3 SMA. Sama seperti sang ayah yang penuh pesona, anak laki-laki pertama Noura juga menjadi idola di sekolahnya. Beberapa kali Noura memergoki buah hatinya berduaan dengan perempuan di rumah. Perempuan yang berbeda-beda.

Noura selalu menasehati anak lelakinya untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Beruntung, anak laki-laki Noura menuruti nasehatnya. Noura benar-benar bersyukur untuk itu.

Anak kedua Noura berusia 12 tahun, kelas 1 SMP. Cantik, secantik Noura. Dia ingin sekali memakaikan jilbab untuk putri satu-satunya ini. Saat pergi ke pusat perbelanjaan dan melihat berbagai model jilbab, Noura ingat putrinya.

Noura benar-benar menahan perasaannya. Pernikahan yang sudah berjalan bertahun-tahun dan selalu bahagia ini membuat Noura bimbang. Dia kembali tidak ingin membohongi diri sendiri. Selama ini Noura merasa hidup dalam kebohongan. Ini bukan dirinya. Ini bukan aku.

“Mas…”

“Ya?” Erik baru saja selesai mandi. Tampak segar setelah seharian lelah dengan setumpuk pekerjaan di kantor.

“Aku ingin ngomong sesuatu.”

“Katakan saja.”

Erik duduk di samping Noura. Aroma sabun menyeruak dari tubuh Erik. Noura tampak menimbang-menimbang. Dia tampak ragu. Kedua tangannya meremas-remas bantal di pangkuannya.

“Kenapa Sayang? Ada masalah?” Erik melingkarkan lengannya ke pundak Noura.

Keraguan-raguan Noura semakin menjadi. Dia pun memutuskan untuk tidak mengutarakan isi hatinya.

“Nggak apa-apa, Mas. Aku hanya rindu denganmu.”

“Setiap hari ‘kan kita bertemu, Sayang. Kelihatannya kamu memang begitu merindukanku.”

Noura tersenyum. Dia meraih Alkitab yang selalu berada di samping tempat tidur. Noura selalu membacanya sebelum tidur bersama Erik. Hanya membaca tanpa menghayati maknanya. Semua terasa kering.

Erik khusyu mendengarkan sang istri membacakan kisah Sang Juru Selamat.

[]

Pagi hari saat Erik telah berada di kantor dan anak-anak sekolah, langkah kaki Noura berhenti di depan masjid. Kalung salib perak yang semula milik Erik, menggantung di dadanya. Kalung salib yang sengaja Erik berikan untuk sang belahan jiwa dan itu adalah Noura.

Mata Noura berkaca-kaca. Ada semacam kerinduan menatap bangunan suci itu. Noura ingin masuk ke dalamnya. Tapi dia merasa dirinya begitu hina. Tidak pantas dia menginjakkan kaki di tempat suci ini setelah dia menghianati Tuhan hanya demi cinta sesaat.

Noura menitikkan air matanya. Bahunya berguncang. Dia tergugu lama di depan masjid. Air mata ini sanggupkah menyucikanku kembali? Ingatan Noura kembali ke masa lalu. Dia begitu rindu dengan kedua orangtuanya. Apakabar mereka sekarang? Dia juga rindu imannya yang dulu. Rindu yang sekarang menggunung dan tak tertahankan.

“Assalamu’alaikum. Ukhti, kenapa menangis?”

Noura memandang perempuan muda berjilbab yang menghampirinya. Begitu melihat kalung salib di dada Noura, perempuan itu sedikit terkejut. Namun ekspresinya tidak berubah. Tetap tersenyum hangat.

“Ada masalah?”

Noura tidak menjawab. Dia hanya menatap perempuan itu. Melihatnya seperti melihat diri Noura yang dulu. Air mata Noura semakin deras mengalir. Dia memutuskan untuk lari dari masjid dan meninggalkan perempuan berjilbab yang terus memanggilnya.

Noura berhenti sambil terisak. Batinnya tidak tenang. Dia gelisah. Segalanya terlihat kacau. Kebahagiaan rumah tangga, suami yang begitu baik, anak-anak yang penurut, semua menjadi tidak berarti.

Noura memandang sungai besar yang membelah jalanan. Angin memainkan rambut hitam panjangnya. Matanya terus basah dan tidak berhenti mengalir. Dia terus terisak. Tatapan matanya kosong.

Noura mengangkat kakinya menaiki jembatan besar.

[]

Jalanan yang macet membuat Erik kesal. Dia ada meeting pagi ini dan berkas-berkasnya tertinggal di rumah. Dia mencoba menelepon Noura tapi hasilnya nihil. Tidak ada jawaban. Erik berkali-kali menekan klakson mobilnya dengan kesal.

Saat itulah, di tengah kekesalan Erik, matanya melihat sosok yang sangat tidak asing. Rambutnya yang berkibar dimainkan angin.. Postur tubuh itu.. Noura?

Erik panik melihat sosok mirip Noura berdiri di jembatan. Jangan-jangan ini alasan Noura tidak mengangkat teleponku? Tanpa memikirkan berkasnya lagi, Erik keluar dari mobil dan berlari ke arah sosok itu.

Sebelum melangkahkan kaki terjun ke sungai besar yang membelah jalanan, Noura membalikkan tubuhnya ke jalan raya yang padat merayap. Matanya melihat Erik, sang suami, yang berlari tergesa dengan wajah panik.

“Noura…”

Noura tidak tersenyum melihat sang suami yang begitu panik melihatnya. Justru air matanya semakin deras mengalir. Noura melihat sosok hitam yang sangat menyeramkan mendekat padanya. Dia merinding. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhnya. Ketakutan yang teramat sangat.

“Jangan lakukan itu… Ampuni hamba… Maafkan hamba..”

Sia-sia karena semua sudah tidak lagi berguna.[]

Kota Beriman, 14 Juli 2013

*)Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi 2011

085-647-808-494