(Memperingati 100 Hari Wafatnya Kiai Ahmad Warson Munawwir)
Kiai Haji Munawwir sengaja memberi nama putra-putrinya dengan huruf awal sesuai tahun kelahiran dalam kalender Jawa. Kiai Ahmad Munawwir misalnya, diberi nama dengan awalan huruf ‘A’ sebagai pengingat tahun ‘Alif’ ketika beliau dilahirkan. Kiai Dalhar Munawwir, lahir pada tahun ‘Dal’, sementara Kiai Warson Munawwir di tahun ‘Wawu’. Pentingnya mengingat tahun kelahiran adalah untuk memupuk sifat bakti kepada orang tua. Yaitu dengan tidak melupakan jasa orang tua yang telah melahirkan, mendidik dan merawat kita. Begitu penggalan mauidhoh hasanah yang disampaikan Kiai Aly As’ad pada peringatan 100 hari wafatnya Kiai Haji Ahmad Warson Munawwir di PP. Al-Munawwir Komplek Q Krapyak Yogyakarta, Kamis (25/7)petang.
Begitu pentingnya sikap berbakti, Kiai Aly pun mengutip sebuah hadis “Birrû âbâakum yabirrû abnâakum”, berbaktilah pada orang tuamu, maka keturunanmu akan berbakti pula kepadamu. Perwujudan rasa bakti, bisa dilakukan melalui banyak cara. Pembacaan tahlil sore itu menurut beliau, juga merupakan ejawantah sebuah bakti. Bagi ulama penerjemah kitab Ta’lim Mutaalim itu secara pibadi, pembacaan tahlil kepada almarhum adalah ekspresi rasa bakti seorang murid kepada gurunya.
Sosok mualim itu wafat di usia 79 tahun, meninggalkan ilmu dan keteladanan bagi orang-orang di sekitarnya. Ribuan petakziah membanjiri PP. Al-Munawwir Komplek Q Krapyak, hari itu, Kamis (18/4) hari ketika Kiai Warson dipanggil menghadap Allah. Isak tangis yang menyelingi alunan tahlil menjadi pertanda adanya rasa kehilangan yang mendalam.
“Tiga orang yang telah mampu melejitkan Krapyak adalah, Kiai Munawwir sebagai pendiri pondok qur’an pertama di Indonesia, Kiai Ali Maksum selaku bagian tim penerjemah qur’an Departemen Agama serta anggota konstituante dan Kiai Warson sebagai shohibul kamus Arab-Indonesia terlengkap di tanah air,” ucap Kiai Hilmy Muhammad, pada suatu kesempatan.
Kamus berjudul Al-Munawwir yang terdiri dari 1591 halaman tersebut, memang telah digunakan secara luas tidak saja di Indonesia tapi juga merambah mancanegara. Di balik ketenaran kamus yang konon paling lengkap itu, ada sosok Kiai Warson sebagai pengarangnya. Kamus yang disusun dalam masa yang tidak singkat itu menjadi wujud kongkret kristalisasi ilmu dari seorang yang alim.
Alkisah, adalah Kiai Ali Maksum yang meminta Kiai Warson mengarang sebuah kamus. Sepeninggal Kiai Munawwir, Kiai Ali Maksum lah yang kemudian mendidik putra-putri beliau, diantaranya Kiai Warson dan Kiai Zainal. Kiai Warson relatif tidak pernah berguru kepada selain Kiai Ali Maksum. Hal itu membuat Kiai Ali Maksum diistilahkan sebagai murabbi ar- ruh atau pembentuk karakter Kiai Warson.
Di mata Kiai Ali Maksum, Kiai Warson merupakan murid yang cemerlang. Seperti yang dituturkan oleh Nyai Husnul Khotimah, istri Kiai Warson, pada usia 13 tahun Kiai Warson sudah menjadi pengajar kitab Alfiyyah kepada santri-santri yang berusia jauh di atasnya. Sejak itu, transfer ilmunya tidak berhenti hingga akhir hayat.
Dengan hasil penjualan kamus, dan wakaf tanah dari Kiai Ali Maksum, Kiai Warson mulai mendirikan komplek pesantren putri yang kini dikenal dengan Komplek Q. Di periode awal berdirinya, Kiai Warson sendiri yang mengajar santri secara langsung. Beliau juga mengajar santri-santri putra yang kemudian banyak diantaranya menjadi penerus Kiai Warson menjadi bagian dari asatidz.
Beliau banyak melakukan aktivitas di luar pengajaran. Aktif di organisasi, pernah berkecimpung di partai politik dan masuk ke dalam parlemen, tidak membuat Kiai Warson lantas meninggalkan perannya sebagai seorang guru. Pada ramadhan 1433 H, di usia senjanya Kiai Warson bahkan masih tetap mengajar kitab Hujjah Ahlussunnah wal Jamaah karangan Kiai Ali Maksum kepada para santrinya.
Seperti yang tercantum dalam kitab Jawami’ul Kalim karangan Kiai Ali Maksum, Rasulullah dalam hadisnya menyuruh umatnya mengikuti seorang ulama karena merekalah pelita di bumi dan akhirat. Tidak heran apabila banyak orang merasa kehilangan atas wafatnya Kiai Warson. Karakter ulama sejati dalam dirinya membuat beliau selalu dihormati dan senantiasa dipatuhi.
Selain alim, bijak adalah salah satu sikap yang patut kita teladani dari sosok Kiai kharismatik seperti Kiai Warson. Sebagaimana yang diceritakan Kiai Hilmy, kebijaksanaan beliau terlihat antara lain ketika menghadapi problem dalam organisasi yang digeluti di masa mudanya. Di saat mencekamnya situasi politik organisasinya itu, beliau tidaklah bersikap emosional ataupun temperamental. Walaupun keadaan itu mengakibatkan pengaruh negatif baginya, beliau tetap bersikap bijak, tanpa marah ataupun resah.
Selain itu, Nyai Ida Fatimah yang tidak lain adalah kakak iparnya sendiri, istri dari Kiai Zainal, pernah tertegun dengan sikap Kiai Warson yang tidak memaksakan kehendaknya ketika Nyai Ida tidak menyetujui salah satu rencananya dalam suatu perkara dan beliau hanya berkata, “Ya sudah, terserah sampean sajamau ikut saya atau tidak,” jawabnya dengan tersenyum.
Bijak, tegas dan konsisten, itulah Kiai Warson.
Meski disibukkan dengan kepengurusan dalam organisasi tidak lantas membuat beliau melupakan keluarga. Beliau dikenal sebagai sosok sederhana penuh cinta dan perhatian pada keluarga serta kerabatnya. Kecintaan itulah yang membuatnya selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Hal itupun diakui Nyai Ida. Semasa hidupnya , Kiai Warson seringkali menawarkan diri untuk mengantarkan Nyai Ida atau putra-putrinya dikala ada keperluan. Ketika Kiai Zainal jatuh sakit, Kiai Warson sering menelepon untuk mengetahui keadaan kakaknya. Beliau juga menyempatkan diri untuk menjenguk serta menyuapinya, walaupun kenyataannya beliau juga dalam keadaan kurang sehat.
Salah satu bentuk perhatian yang hingga kini masih dikenang adalah kebiasaannya menelepon keluarga dan kerabatnya secara rutin. Tidak banyak yang dibicarakan dalam telepon, beliau sekedar menanyakan kabar saja. Seperti cerita Ustadz Yusuf Toha, santri beliau yang kini menjadi guru di MTs Ali Maksum, di malam hari sebelum kepergian Kiai Warson, telepon rumahnya berdering. Kiai Warson menelepon hanya untuk menanyakan kabar beliau dan keluarganya. Ustadz Yusuf pun bertanya, “Wonten perlu napa, Pak?,” Kiai Warson hanya menjawab , “Ra ana”, kemudian menutup teleponnya. Sikap perhatian itulah yang membuat banyak kalangan merasa kehilangan dan kesepian atas kepergiannya yang meninggalkan berbagai kenangan.
Alim, bijak dan penuh kasih sayang adalah tiga nilai yang dimiliki sosok Kiai Warson. Itulah yang membuatnya masih dianggap ada, meskipun jasadnya telah tiada. Barangkali, sebagian dari kita bukanlah orang beruntung yang sempat berguru secara langsung pada almarhum. Meski begitu, sebagai santri kita perlu meneladani sifat – sifat luhur yang kita ketahui melalui kisah – kisah semasa hidup almarhum. Sebab hal itu merupakan sebuah perwujudan rasa bakti kita sebagai santri kepada sang guru. Nafa’anâ Allahu bi ‘ulûmihifi ad-dâroini.. Aamiin.. Lahu al-Fâtihah..
Krapyak, 17 Ramadhan 1434 H / 26 Juli 2013
Oleh : Khalimatu Nisa dan Fahma Amirotulhaq (Santriwati komplek Q)