Home - Upacara

Upacara

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Hiduplah Indonesia raya ….

Begitu koor dirijen mengawali lantunan lagu kebangsaan iringi pengibaran bendera sang saka merah putih. Kemudian seperti yang biasa dilakukan dalam upacara, semua peserta mengangkat tangan, menempelkannya pada kening sebelah kanan, sebuah tanda kehormatan.

Samar-samar teringat, kita, sebagai bangsa, bulan kemarin tengah bersibuk menggelar upacara. Peringatan Hari Kemerdekaan Nasional 17 Agustus ’45. Sebuah tonggak sejarah eksistensi republik berusia 68 tahun ini. Kemarin, dimana-mana terlihat wajah antusias, semangat dan gairah menyiapkan sebuah perayaan. Jalanan penuh warna, upacara digelar mulai lapangan desa hingga kota.

Tak seorang manusia Indonesia menyangsikan, 17 Agustus adalah sebuah tonggak penting sejarah. Catatan yang menentukan kondisi yang ada hari ini. Bagian kebesaran yang termaktub dalam “Jas Merah”. Slogan besar yang slalu didengungkan bapak proklamator kita, jangan lupakan sejarah!.

Bagi kita, pandangan orang yang tak merasakan Proklamasi ataupun perjuangan kemerdekaan secara langsung, kemerdekaan mungkin hanyalah sebuah bayang kepahlawanan dan kebanggaan. Bayang yang senantiasa divisualkan dalam sebuah upacara dan perayaan. Sebuah perayaan yang dalam jangka waktu tertentu-setelah 68 tahun yang berarti telah berlangsung dalam angka kesekian-menjadi sebuah tradisi.

Kemudian sebagai tradisi, ia adalah ruang perayaan yang disakralkan dengan cerita-cerita. Dihiasi dengan ritus upacara dan persembahan. Dalam perayaan kemerdekaan akan tampil sebagai upacara bendera serta-yang lazim dalam masyarakat Indonesia -pengadaan berbagai pelombaan atau “kembali” ingatnya kita untuk menabur bunga di Taman Makam Pahlawan. Yang tak terelakkan, setelah perayaan dan jangka waktu kesekian, makna dan isi dari perayaan akan bergeser, sejalan dengan kandungan doktrin yang ditanam serta kondisi sosial masyarakat.

Ketika menjadi sebuah tradisi, tak pelak ia melebur menjadi bagian laku kehidupan personal dan masyarakat. Perayaan mengantri dalam daftar perayaan dan agenda yang dicatatkankan baik oleh personal ataupun masyarakat.

Dalam daftar, ia akan bersaing dengan perayaan-perayaan lain. Di buku agenda seseorang, ia menjadi agenda tahunan yang vis-à-vis dengan perayaan kelahiran atau pernikahan, mungkin juga Valentine. Sebagai agenda tahunan ia berjajar dengan agenda bulanan dan mingguan, harian juga.

Dalam benak masyarakat daftar ini akan menjelma dalam kontes yang kian riuh. Pada kolom catatan sejarah ia berbaris dengan Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Kesaktian Pancasila dan seterusnya. Sebagai agenda masyarakat ia berhimpun dengan perayaan hari besar agama, pemilu, mungkin juga bom Bali.

Ditengah himpit kemajuan peradaban yang menceraikan makna-makna. Sejauh kita berjalan meninggalkan tonggak sejarah. Dalam arus besar aktifitas modern yang terukur, teratur dan terjadwal. Tak tahu bagaimana pandangan sebagian besar manusia Indonesia yang senantiasa menggelar perayaan serta upacara yang tanpa mengecap sejarah ini seperti apa.

Perayaan Kemerdekaan baru saja lalu, beberapa waktu dulu-yang hari ini mungkin telah kabur lagi  “rasa” merdekanya. Dan kini, upacara kemerdekaan sebagai sebuah catatan sejarah satu sisi pun menjadi catatan pembangun sejarahnya. Mereproduksi makna dan isi baru. Bagi manusia disini yang berjarak dari tonggak sejarah, barangkali hanya bisa menjaga tradisi perayaan dan upacara peringatan kemerdekaan, sebagai sebuah tonggak penting sejarah bangsa.

Sejarah, adalah catatan mengenai hal-hal indah. Setidaknya bagi pencatat sejarah dan yang mempercayainya. @Jamaludin_ahmd