Oleh: Dhedhe Lotus *)
Aku bosan berkali-kali mendengar isak tangis dan iluh yang berleleran. Selalu saja aku yang di cari ketika ada kejadian yang seperti ini. Berulang kali aku digunakan dan selalu disimpan ketika semua urusan usai. Apakah aku digunakan jika hanya ada kematian? Gak adil, kenapa yang lain di gunakan untuk menghangatkan badan ketika tidur, atau yang lebih mewah lagi dikenakan sebagai baju kebesaran para abdi dalem dan sultan, sedangkan aku selalu digunakan hanya jika ada kematian. Apa tak ada yang lain? Terkadang jijik kalau yang mati penyakitan, tapi meski begitu toh aku selalu ikut berpartisipasi menyumbang kesedihan. Benar-benar sebuah ironi.
Mungkin ini sebuah kutukan, seperti kutukan yang dirasakan oleh para penyair ketika harus menikmati kepedihan. Bersahabat dengan kematian adalah sesuatu yang mengerikan sekaligus suatu hal yang bikin hati trenyuh. Tapi kenapa mesti aku? Sejujurnya aku hanya merasa tak tega membaca kesedihan mereka. Yang meninggalkan, yang di tinggalkan, atau yang hanya bersimpati melihatnya, semua sama saja, menangis dan hanyut. Kecuali Izrail, malaikat pencabut nyawa. Dialah satu-satunya makhluk tak berekspresi ditengah gaduh duka suasana kematian.
Aku tak berkeberatan dengan semua orang yang menghindar menggunakan aku karena rasa takut, jijik atau apalah. “ih, jangan pakai jarik itu, itukan jarik bekas penutup mayat!!” kata bocah kecil gundul itu. Sesuatu yang tak penting.
***
Dalam hidupku, semua hal yang berkaitan dengan profesi akan membuatku menjadi barang hidup yang paling menyedihkan. Tapi inilah takdirku, menjadi barang yang hanya digunakan ketika ada kematian, tapi karena itulah aku hidup, sebab setelah itu aku disimpan dalam kardus bersama kain-kain lusuhan dan seketika itupula aku menjadi barang lain; barang mati.
Yah, sebagai selembar jarik yang terkena kutukan menjadi jarik penutup mayat, aku hanya digunakan jika ada kematian. Sehingga tubuhku masih mulus dan seksi seperti sedia kala, saat aku baru diproduksi. Kini Aku memiliki ciri khusus yang berbeda dari jarik lainnya; wewangi kematian, kembang melati dan aroma-aroma aneh yang mereka katakan sebagai wewangian adat jawa itu terasa begitu melekat dalam tubuhku.
Aku tak tahu apa yang ada di fikiran mereka, aku sendiri muak dengan wewangian seperti itu, tapi mereka terus memperkosaku dengan segala macam wewangian yang mereka semprotkan di lembaran tubuhku.
Tuhan tolong. . .matikan aku!
***
Gadis itu, aku masih ingat betapa lebam tatapan matanya. Mata yang selalu sembab tiap pagi sebab malamnya ia selalu menghangatkan tubuhku dengan pelukan karena mengenang kematian bapak ibunya. Atau sebaliknya, mungkin aku satu-satunya penghangat tubuh dan hati yang dikepung kehilangan. Benar memang, tak ada seorangpun yang bisa mengukur perasaan seseorang, begitupun ketika kita mendengar kata “kematian,” siapa yang tak bergidik ngeri mendengar kata-kata itu. Siapapun akan mengatakan bahwa kesedihanlah yang kemudian dirasakan. Lalu gadis itu, bayangkan seberapa lelahnya ia menahan kesedihan kala sosok ibu sebagai satu-satunya daging yang tertinggal harus pula mengikuti jejak sebelumnya.
Sebenarnya aku tak tega menatap sosoknya yang lemas tak bertenaga. Berangsur-angsur kondisi fisiknya melemah, sakit-sakitan, padahal di usia yang masih belia seharusnya ia sedang merasakan indahnya masa remaja. Tapi justru ia dirundung duka berkepanjangan. Tubuh kurus ringkih, mata suram nan lebam, seperti tak bermasa depan. Aih, siapa pula yang tak tega melihatnya? Ia seperti anak ayam yang kehilangan induk. Betapa tidak, ibunya adalah satu-satunya orang yang masih tersisa untuk menemaninya. Tak ada yang lain, namun sejurus kemudian ia menjadi piatu.
Entah berapa lama aku hidup sesungguhnya namun yang pasti, aku telah menjadi saksi bisu perjalanan hidup sebuah keluarga yang tak mulus. Bahkan sejak ia menangis untuk yang pertama kali, aku telah ada untuk membalut tubuh mungilnya, begitupun saat ia untuk pertama kali di salawatkan sebagai prosesi pemberian nama. Setelah itu, aku disimpan untuk diistirahatkan, untuk dilupakan.
Waktu berselang dan terus melesat, tiba-tiba -seoalah di bangunkan dari peristirahatan yang nyaman- aku diambil dari lemari untuk dikenakan kembali, tapi bukan sebagai saksi sebuah kelahiran, tapi justru dikenakan sebagai saksi kepergian.
Aku hanya masih terkejut dengan apa yang terjadi. Aku tak bisa mengingat tragedi waktu itu, itulah kelemahanku, sebab aku hanya bisa hidup ketika aku dikenakan, ketika aku disimpan aku tak faham, tak bernyawa, mati suri.
***
Dengan sangat tergesa, seorang wanita mengambilku dan tanpa sengaja membasahi tubuhku dengan air mata, ia mengenakanku di tubuh suaminya yang telah mati. Kemudian aku tahu, bahwa ia adalah istri dari lelaki yang dahulu mengambilku dari toko baju, lelaki yang membawaku jadi saksi kelahiran putrinya.
Gadis itu? Aku tak tahu telah berapa tahun usianya, yang ku ingat ketika itu ia masih digendong wanita yang mengambilku dari lemari. Kasian sekali ia, di usia yang sedini itu telah kehilangan satu dari kedua orang tuanya. Malang nian nasibmu nduk.
Aku lelah, bosan memanggul beban takdir, entah kenapa Tuhan tak pula menyuruh Izrail untuk mencabut “kebermakhlukanku”. Dan aku lebih lelah untuk terus bercerita mengenainya, sebab luka justru kian menganga. Tapi hanya ini cerita yang aku punya untuk diceritakan sebab aku di hidupkan hanya untuk menghangatkan mayat yang terbungkus kafan, sebagai jarik penutup manusia tak bernyawa.
*****
Ratusan hari setelah kejadian naas itu. Aku tetap setia menerima tumpahan air matanya. Ia tetap seperti dahulu. “cah wadok sing senenge mewek”. Aku tahu semua akannya, karena kemudian aku hanyalah satu-satunya barang yang ia anggap kenangan dan ia ajak berbagi luka. Maka dengan itu aku tak mati suri lagi. “Kamulah saksi bisu yang tahu bagaimana rupa jasad orang tuaku yang membeku”. Katanya saat memberesiku sesaat setelah pemakaman ibunya.
Seandainya ia tahu, sesungguhnya akulah yang paling merasa sendirian. Barangkali aku memang di ciptakan bukan sebagai sesuatu yang memiliki kehidupan. Tetapi sesuatu (seandainya bisa dikatakan makhluk) yang selalu terasing dari kehidupan.
Atau justru aku yang seharusnya merasa bersyukur. Terlahir dengan keistimewaan tersendiri. Secarik kain jarik yang hidup sebagai penutup mayat.
Gadis itu tetap menangis kian menjadi begitupun aku terus hidup mendampinginya hingga mungkin sampai saatnya nanti aku digunakan kembali untuk menutupi jasadnyanya. Tuhan, kalau aku diizinkan lagi, aku ingin ini yang terakhir kalinya Kau menugaskankanku. Sebab akupun ingin selalu menemani gadis itu hingga pembaringan terakhir.
*) Mahasiswi jurusan Perbandingan Agama semester V. Kini aktif di LPM ARENA UIN SUKA Yogyakarta.